PENDAHULUAN
Sanad dan matan merupakan dua unsur pokok yang harus ada pada setiap
hadits. Antara keduanya memiliki kaitan yang sangat erat dan tidak bisa
dipisahkan. Suatu berita tentang Rasul SAW (matan) tanpa ditemukan rangkaian
atau susunan sanadnya, yang demikian itu tidak bisa disebut hadits. Sebaliknya,
suatu susunan sanad, meskipun bersambung sampai kepada Rasul, jika tanpa ada
berita yang dibawanya, juga tidak bisa disebut hadits.
Pembicaraan kedua istilah di atas, sebagai dua unsur pokok hadits, muncul
dan diperlukan setelah Rasul SAW wafat. Hal ini karena, berkaitan dengan
perlunya penelitian terhadap otentisitas isi berita itu sendiri, apakah benar
sumbernya dari Rasul atau bukan. Upaya ini akan menentukan bagaimana kualitas
hadits-hadits tersebut, yang akan dijadikan dasar dalam penetapan syari’at
Islam.
SANAD DAN MATAN HADITS
A.
Pengertian Sanad dan Matan
Hadits
1.
Sanad Hadits
Kata sanad atau as-Sanad menurut bahasa dari sanad, yasmudu, yang berarti
mu’tamad (sandaran/tempat bersandar, tempat berpegang, yang dipercaya, atau
yang sah). Dikatakan demikian, karena hadits itu bersandar kepadanya dan
dipegangi atas kebenarannya.
Secara terminologis, definisi sanad ialah:
سلسله
الرجال الموصلة للمتن
“Silsilah orang-orang yang menghubungkan kepada matan hadits”
Silsilah orang-orang maksudnya, ialah susunan atau rangkaian orang-orang
yang menyampaikan materi hadits tersebut, sejak yang disebut pertama sampai
kepada Rasul SAW, yang perkataan, perbuatan, taqrir dan lainnya merupakan
materi atau matan hadits. Dengan pengertian di atas, maka sebutan sanad hanya
berlaku pada serangkaian orang-orang, bukan dilihat dari sudut pribadi secara
perorangan, sedang sebutan untuk pribadi yang menyampaikan hadits dilihat dari
sudut orang-perorangnya, disebut dengan rawi.
Al-Badru Ibn Jama’ah dan ath-Thibi sebagaima disebutkan oleh as-Suyuthi,
mengemukakan definisi yang hampir sama, yaitu:
الاخبار
عن طريق المتن
“Berita-berita tentang jalan matan”
Yang dimaksud dengan jalan matan (thariq al-matn) pada definisi di atas,
serangkaian orang-orang yang menyampaikan atau meriwayatkan matan hadits, mulai
perawi pertama sampai yang terakhir. Dua definisi di atas dapat dipertegas
dengan definisi yang lebih terperinci, seperti berikut:
طريق
المتن او سلسلة الرواة الذين نقلوا
المتن عن مصدره الاول
“Jalan matan hadits, yaitu silsilah para perawi yang menukilkan
matan hadits dari sumbernya yang pertama (Rasul SAW)”
2.
Isnad, Musnad, dan
Musnid
Istilah-istilah isnad, berarti menyandarkan, mengasalkan (mengembalikan
ke asal), dan mengangkat. Yang dimaksudkan di sini ialah:
رفع
الحديث الى قائله او فاعله
“Menyandarkan hadits kepada orang yang mengatakannya” (Hasbi
ash-Shiddiqi)
Atau:
عزوالحديث
الى قائله
“Mengasalkan hadits kepada orang yang mengatakannya”
Menurut ath-Thibi, sebagaimana dikutip al-Qasimi, kata al-Isnad dengan
as-Sanad mempunyai arti yang hampir sama atau berdekatan, dalam hal ini lebih
tegas lagi. Menurut Ibn Jama’ah bahwa ulama muhadditsin memandang kedua istilah
tersebut mempunyai pengertian yang sama, yang keduanya dapat dipakai secara
bergantian.
Berbeda dengan istilah al-Isnad, istilah al-Musnad mempunyai beberapa
arti pertama, berarti hadits yang diriwayatkan dan disandarkan atau diisnadkan
kepada seseorang yang membawanya, seperti Ibn Syihab az-Zuhri, Malik bin Anas, dan
Amrah binti Abd ar-Rahman, kedua, berarti nama suatu kitab yang menghimpun
hadits-hadits dengan sistem penyusunannya berdasarkan nama-nama para sahabat
perawi hadits, seperti kitab Musnad Ahmad, ketiga, berarti nama bagi hadits
yang memenuhi kriteria marfu’ (disandarkan kepada Nabi SAW) dan muttashil
(sanadnya bersambung sampai kepada akhirnya).
3.
Matan Hadits
Al-Matn menurut bahasa adalah ma shalabu wa irtafa’a min al-ardhi (tanah
yang meninggi). Secara terminologis, istilah ini mempunyai beberapa pengertian
yang pada dasar maknanya sama, yaitu materi atau lafadz hadits itu sendiri.
Misalnya disebutkan bahwa matan ialah ujung atau tujuan sanad (gayah as-sanad).
Dari definisi ini memberikan pengertian, bahwa apa yang tertulis setelah
(penulisan) silsilah sanad, adalah matan hadits.
ما
ينتهى اليه السند من الكلام
“Suatu kalimat yang berakhirnya sanad”
Sedangkan ath-Thibi mendefinisikannya dengan:
الفاظ
الحديث التى تتقوم بها معانيه
“Lafazh-lafazh hadits yang di dalamnya mengandung makna-makna
tertentu”
Kalimat ujung sanad, tempat berakhirnya sanad, atau lafazh-lafazh hadits
yang di dalamnya menandung makna-makna tertentu, ketiganya menunjukan kepada
pemahaman yang sama, yaitu bahwa yang disebut matan, ialah materi atau lafazh
hadits itu sendiri, yang penulisannya ditempatkan setelah sanad, dan sebelum
rawi atau mudawwin.
4.
Rawi Hadits
Ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits (naqil
al-hadits). Sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang hampir sama, tetapi
yang membedakan antara kedua istilah itu adalah pertama, dalam hal pembukuan
hadits. Orang yang menerima hadits-hadits, kemudian menghimpunnya dalam suatu
kitab tadwin, disebut dengan rawi. Dengan demikian, maka perawi dapat disebut
mudawwin (orang yang membukukan dan menghimpun hadits). Sedang orang-orang yang
menerima hadits, dan hanya menyampaikan hadits kepada orang lain, tanpa
membukukannya, yang demikian disebut sanad hadits.
B.
Penelitian Sanad dan Matan
Hadits
1.
Perlunya Penelitian
Sanad dan Matan Hadits
Penelitian terhadap sanad dan matan hadits (sebagai dua unsur pokok
hadits) bukan karena hadits itu diragukan otentisitasnya. Hadits, secara kuli
merupakan sumber ajaran setelah al-Qur'an yang keseluruhannya. Penelitian ini
dilakukan untuk menyaring unsur-unsur luar yang masuk ke dalam hadits, baik
yang sesuai dengan dalil-dalil naqli lainnya atau yang tidak sesuai. Maka
dengan penelitian terhadap kedua unsur hadits di atas, hadits-hadits Rasul SAW
dapat terhindar dari segala yang mengotorinya.
Faktor yang paling utama perlunya dilakukan penelitian ini, ada dua hal,
yaitu pertama, karena beredarnya hadits palsu
pada kalangan masyarakat, dan kedua, hadits-hadits tidak ditulis secara
resmi pada masa Rasul SAW (berbeda dengan al-Qur'an), sehingga penulisan
dilakukan hanya bersifat individu (tersebar di tengah pribadi para sahabat) dan
tidak menyeluruh.
Dengan hadirnya hadits palsu ke dalam kehidupan masyarakat, yang kurang
diketahui oleh masyarakat awam, meskipun tidak semuanya dimaksudkan untuk
merusak agama, cukup mengganggu nilai kemurnian hadits dan dapat meresahkan
masyarakat. Apalagi jika maknanya benar-benar bertentangan dengan nash-nash
lain dan mengacaukan pemahaman, serta akidah masyarakat.
Tenggang waktu pembukuan hadits dari masa penulisan individu kepada
penulisan secara resmi yang agak lama, bagi kalangan orang-orang yang ingin
mengaburkan ajaran agama, juga cukup memiliki peluang untuk merealisasikan
keinginannya. Apalagi masih banyaknya hadits-hadits yang belum ditulis (yang
masih berada pada hafalan para ulama).
2.
Penelitian Para
Ulama tentang Sanad dan Matan Hadits
Penelitian hadits, baik terhadap sanad maupun matannya, mengalami
evolusi, dari bentuknya yang sangat sederhana sampai terciptanya seperangkat
kaidah secara lengkap, sebagai salah satu disiplin dalam ilmu agama, yang
dikenal dengan ilmu hadits.
Sejak wafat Rasulullah SAW pada khalifah terutama Abu Bakar dan Umar,
sangat berhati-hati terhadap periwayatan hadits, dengan alasan karena khawatir
terjadinya kesalahan dalam menerima atau meriwayatkan hadits, atau bercampurnya
kebohongan terhadap sunah yang suci.
Pada kurun tabi’in dan tabi’at-tabi’in, penelitian dilakukan dengan
mengacu kepada beberapa ketentuan, bahwa hadits dapat diterima jika: 1)
diriwayatkan oleh orang yang tsiqah, 2) baik dalam shalat dan akhlaknya, dan 3)
dikenal memiliki pengetahuan dalam bidang hadits. Sebaliknya, hadits tidak bisa
diterima jika: 1) perawinya tidak tsiqah, 2) suka berdusta dan mengikuti hawa
nafsu, 3) memahami hadits yang diriwayatkan, dan 4) orang yang ditolak
kesaksiannya.
Asy-Syafi’i dalam ar-Risalah mengemukakan bahwa hadits ahad dapat
dijadikan hujah, apabila memenuhi syarat: pertama, driwayatkan oleh perawi yang
1) dapat dipercaya pengalaman agamanya, 2) dikenal jujur dalam menyampaikan berita, 3) memahami dengan baik hadits yang diriwayatkannya, 4) memahami perubahan makna hadits jika terjadi perubahan lafazh, 5) mampu meriwayatkan hadits secara lafazh, 6) terpelihara periwayatannya, baik yang dilakukan melalui hafalan maupun tulisan, 7) jika hadits itu diriwayatkan juga oleh perawi lain, maka bunyinya tidak berbeda, dan 8) tidak ada unsur tadlis (menyembunyikan kecacatan) dalam periwayatan, kedua, silsilah sanadnya harus bersambung.
1) dapat dipercaya pengalaman agamanya, 2) dikenal jujur dalam menyampaikan berita, 3) memahami dengan baik hadits yang diriwayatkannya, 4) memahami perubahan makna hadits jika terjadi perubahan lafazh, 5) mampu meriwayatkan hadits secara lafazh, 6) terpelihara periwayatannya, baik yang dilakukan melalui hafalan maupun tulisan, 7) jika hadits itu diriwayatkan juga oleh perawi lain, maka bunyinya tidak berbeda, dan 8) tidak ada unsur tadlis (menyembunyikan kecacatan) dalam periwayatan, kedua, silsilah sanadnya harus bersambung.
Dengan munculnya buku-buku atau kitab-kitab dalam masalah ibadah, akidah,
dan akhlak yang menggunakan dalil-dalil hadits dewasa ini, dengan tidak
menyertakan sumber rujukan dan keterangan tentang kualitas-kualitas
hadits-hadits tersebut, ini juga merupakan persoalan yang harus diselesaikan.
Dengan demikian, meskipun sifat dan sasarannya lebih terbatas, akan tetapi
kajian-kajian berikutnya, seperti dengan melakukan takhrij al-hadits, merupakan
solusi perlu terus dikembangkan.
C.
Periwayatan Hadits dengan
Lafadz dan Makna
1.
Periwayatan Lafzhi
Periwayatan lafzhi, adalah periwayatan hadits yang redaksi atau matannya
persis sama seperti yang diwurudkan Rasul SAW. Ini hanya bisa dilakukan apabila
mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasul SAW. Periwayatan dengan cara ini
sangat tergantung kepada tinggi rendahnya kekuatan daya hapal. Siap yang
mempunyai kekuatan daya hapal tinggi akan lebih banyak kemungkinannya dapat
meriwayatkan hadits secara lafzhi. Sebaliknya siapa yang rendah daya hapalnya,
ia hanya dapat meriwayatkan hadits lafzhi dalam jumlah yang sedikit. Selain
itu, dalam periwayatan lafzhi ini perlu keseriusan atau kekhususan penghapalnya.
Kebanyakan sahabat pada dasarnya mengharuskan periwayatan hadits melalui
jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadits sesuai dengan redaksi dari
Rasul SAW, bukan menurut redaksi mereka. Bahkan, seperti dikatakan Ajjaj
al-Khathib, sebenarnya seluruh sahabat menginginkan agar periwayatan itu dengan
lafzhi bukan dengan maknawi.
Di antara para sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan hadits
dengan jalan lafzhi, adalah Ibn Umar. Ia sering kali menegur sahabat yang
membacakan hadits yang berbeda (walau satu kata) dengan yang pernah didengarnya
dari Rasul SAW, seperti yang dilakukannya terhadap Ubaid bin Amir. Suatu ketika
seorang sahabat menyebutkan hadits tentang lima prinsip dasar Islam dengan meletakkan
puasa Ramadhan pada urutan ketiga. Ibn Umar serentak menyuruh agar ia
meletakkannya pada urutan keempat, sebagaimana yang didengarnya dari Rasulullah
SAW.
2.
Periwayatan Ma’nawi
Periwayatan ma’nawi (periwayatan yang hanya maknanya saja), artinya ialah
periwayatan hadits yang redaksi matannya tidak persis sama dengan yang
didengarnya dari Rasul SAW, namun isi atau maknanya sesuai dengan yang
dimaksudkan oleh Rasulullah SAW tanpa ada perubahan sedikitpun.
Periwayatan dalam bentuk ini menurut sebagian sahabat dapat dibenarkan,
jika dalam keadaan darurat, karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan
Rasul SAW. Ini artinya, bahwa periwayatan maknawi dibolehkan sebagai rukhshah
atau keringanan.
Di antara para sahabat yang membolehkan periwayatan dengan cara in, ialah
Ali bin Abi Thalib, Ibn Abbas, Anas bin Malik Abu ad-Darda’, dan Abu Hurairah.
Kemudian dari jalan tabi’in yang berpendapat demikian, jauh lebih banyak. Di
antara mereka, ialah al-Hasan al-Bashari, asy-Sya’bi, Amr bin Dinar, Ibrahim
an-Nakha’i, Mujahid dan Ikrimah.
Di antara para sahabat dalam periwayatan seperti ini banyak yang
melakukannya. Hal ini terbukti, banyaknya para tabi’in yang menerima hadits
dari mereka dalam satu makna, dengan redaksi yang berbeda-beda. Di antara
mereka ada yang meriwayatkannya dengan sempurna (sesuai dengan yang disabdakan Rasul
SAW), ada yang meringkasnya, dan ada yang dengan maknanya saja.
Dalam periwayatan dengan cara ini para sahabat melakukannya sangat
hati-hati. Periwayatan hadits dengan maknawi akan mengakibatkan munculnya
hadits-hadits yang redaksinya antara satu hadits dengan hadits lainnya
berbeda-beda, meskipun maksud atau maknanya tetap sama.
D.
Kaidah Sanad dan Matan
Hadits
Dalam menentukan status hadits melalui pendekatan sanad, al-Hakim
menentukan kaidah-kaidahnya secara rinci sesuai dengan pendekatan yang
digunakan oleh sebagian besar ahli hadits. Kaidah tersebut muncul dalam istilah
teknis yang menjelaskan keragaman dan keberadaan sanad atau matan.
Seperti diketahui bersama, hadits yang dihimpun oleh ulama memiliki
keanekaragaman dan keberadaan sanad serta matan yang berbeda-beda. Dalam
keanekaragaman sanad, seringkali para penghimpun menggunakan sanad yang dekat
dan seringkali menggunakan sanad yang jauh.
1.
Kaidah Sanad Hadits
Sanad merupakan soko guru dalam menentukan status hadits. Atas dasar
itulah, ulama hadits menaruh perhatian yang sangat khusus dalam berbagai ragam
sanad yang menjadi transmisi hadits, kaidah-kaidah yang berkaitan dengan sanad
sangat beragam.
a.
Jauh dan Dekatnya Sanad
Al-Hakim menempatkan telaah ini pada bagian awal tulisannya
dengan ungkapan ali dan nazil. Istilah tersebut sebenarnya sudah dikemukakan
oleh al-Ramahurmuzi, ulama sebelumnya dan sudah dipraktikan oleh pelajar dan
ulama hadits dalam perjalanan mencari hadits dari kota
ke kota . Hadits
ali bersanad pendek dan dekat, sedangkan hadits nazil bersanad panjang atau
jauh. Telaah ali dan nazil tidak pernah dilewatkan oleh ahli hadits mana pun.
Ulama pasca al-Hakim, seperti al-Baghdadi, Ibn Shalah, al-Iraqi, dan
al-Asqalani mengupasnya dengan panjang lebar.
b.
Bersambung tidaknya sanad
Perkataan, perbuatan, dan pengakuan yang dinisbatkan
kepada Rasulullah, seringkali bersambung langsung kepada Nabi dan seringkali
bersambung langsung. Ulama hadits menelaah bersambung dan terputusnya transmisi
ini sampai kepada yang sekecil-kecilnya. Jika sanad itu bersambung, ulama juga
melakukan penelitian kepada siapa saja orang-orang yang tercantum pada sanad
tersebut. Dan jika sanad itu terputus, harus ditunjukkan di mana letak
terputusnya, pada tingkat sahabat, tabi’in, atau atba tabi’in. Istilah teknis
yang berkaitan dengan terputus dan tidaknya suatu sanad hadits ialah musnad,
mauquf, mursal, munqathi, dan mudlal. Al-Hakim membahasnya secara rinci dengan
berbagai rumusannya.
c.
Tercela atau tidaknya rawi
Dalam upaya menyelamatkan riwayat yang benar, al-Hakim
membahas secara khusus suatu bahagian yang disebut shidq al-muhaddits,
madzhahib al-muhadditzin, dan dalam bahagian lainnya al-jarh wa al-ta’dli.
Ketiga telaah ini, secara metodologis, sangat berkaitan dengan bisa diterima atau
tidaknya suatu hadits. Persoalan yang dibahas dalam masalah ini adalah muslim
tidaknya rawi, akidahnya, fasik tidaknya, maksiat tidaknya, bid’ah tidaknya,
bertemu tidaknya rawi dengan gurunya, catatannya baru atau sudah lama, dan
syaykh atau faqihnya si rawi.
2.
Kaidah Status Sanad
dan Matan Hadits
Meskipun al-Hakim tidak menyebut secara eksplisit keshahihan sanad dan
matan, tetapi ia membahasnya dengan memasukkan istilah yang biasa digunakan
ahli hadits.
a.
Hadits Ma’lul
Menelaah ilmu hadits jenis ini sangat penting sekali
karena akan dapat menunjukkan ma’lul tidaknya suatu hadits. Hadits ma’lul ini
seringkali berkaitan dengan sanad dan seringkali dengan matan.
Al-Hakim merinci hadits ma’lul menjadi sepuluh bagiaan
yang jika diringkaskan adalah sebagai berikut:
1)
Keadaan hadits itu bersanad dan
secara lahiriah shahih, tetapi sebenarnya ada yang tidak dikenal mendengar dari
gurunya ini.
2)
Keadaan hadits itu mursal dari
satu segi dan musnad dari yang lain.
3)
Hadits itu mahfuzh (yang lebih
rajah berbeda dengan yang kurang rajih) dari sahabat, tetapi diriwayatkan dari
yang lainnya, padahal rawi-rawinya sangat berjauhan, yang satu dari Madinah dan
yang lain dari kuffah.
4)
Keadaan hadits itu mahfuzh dari
sahabat, tetapi terjadi wahm, (ragu-ragu) bahwa tabi’in tertentu yang menyertai
sahabat itu, bahkan tidak dikenal menyertainya.
5)
Rawi menggunakan kata ‘an’anah,
dan tidak disebutkan saqith (jatuh) dari seorang laki-laki yang kemudian, baru
diketahui dengan melalui jalan lain bahwa dia itu harus melalui perantara.
6)
Seseorang diperselisihkan bahwa ia
bersambung sanadnya, padahal yang mahfuzh tidak demikian.
7)
Nama seseorang diperselisihkan
adanya, seperti tidak dikenal pula nama gurunya.
8)
Seorang rawi yang bertemu dengan
guru hadits, tetapi tidak mendengar hadits-hadits tertentu.
9)
Keadaan sanad hadits yang biasa
diterima orang itu berbeda dengan sanad hadits yang diriwayatkannya, sehingga
timbul keraguan.
10) Hadits yang diriwayatkan secara mawquf pada satu sanad dan pada
sanad lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran
Hadits: Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status Hadits (Seri Disertasi),
Jakarta Selatan: Paramadina, Januari 2000), Cet. ke-1
Drs. Sohari, M.M., Ulumul Hadits.,
Serang: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) “Sultan Maulana Hasanuddin
Banten” Serang, 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar