Rabu, 28 Maret 2012

IBNU SA’AD DAN SISTEM PENYUSUNAN KITAB ATH-THABA QAT


IBNU SA’AD DAN SISTEM PENYUSUNAN
KITAB ATH-THABA QAT

A.      Pendahuluan
Mengumpulkan Hadis, menemukannya, mengadakan perjalanan untuk mencarinya, dan membukukan hasil penyusunannya, merupakan dasar pertama kebudayaan Arab Islami, dengan segala ilmunya yang dikutip dan disandarkan pada periwayatan serta dipercayakan kepada sanad. Semua yang kita ketahui - seperti searah dan perilaku, peperangan dan penaklukan, biografi dan thabaqat (tingkatan, lapisan), sampai tafsiral-Qur’an dan ilmu-ilmu qira’at (bacaan) – timbul dan pengumpulan dan penwayatan Hadis. Karena, pada benak para rawi dan ingatan para penghapal, semuanya tercakup oleh Hadis dalam bentuknya yang pertama. Hanya saja, informasi-informasi yang terpisah-pisah ini sedikit demi sedikit mulai lepas - sesuai dengan nam dan topiknya - dan Hadis, dan sesudah itu masing-masing menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri.
Kitab-kitab thabaqat adalah satu yang mewamai budaya Islam pertama ini, yang muncul akibat adanya pembukuan Hadis dan pengumpulan riwayat. Di dalamnya kita dapat mengetahui biografi para rawi dan keadaan mereka masa demi masa, tingkatan demi tingkatan. Yang menjadi perhatian kami dalam pasal ini adalah apa yang harus diketahui dan tingkatan-tingkatan ini dan sumber-sumbernya yang pokok, serta kesinambungan para penekun studi ini.
Hampir-hampir kata thabaqat tidak pemah ditemukan, sampai kitab Ath-Thabaqat al-Kubra karya lbnu Sa’ad beredar dan menjadi buah bibir banyak orang. Karena kitab ini adalah kitab ilmu thabaqat terbesar.
Tak disangsikan, yang paling baik kita lakukan adalah menganalisis kitab ini. Dengan demikian kita dapat memahami benar-benar studi tentangny dan sistem yang digunakan oleh para pengarang yang disebutkan dalam kitab tersebut.
Marilah kita mulai dengan membicarakan tentang penyusunan kitab Ath-thabaqat itu


B.       Ibnu Sa’ad, Kehidupan dan Data-data Pribadinya
Nama 1engkapnya adalah Muhammad bin S’ad bin Manya’ Az-Zuhri. Ia seorang sahaya Bani Zuhrah. Ia juga disebut al-Hasyim, karena salah seorang moyangnya adalah sahaya milik Al-husain bin Abdullah bin Ubaidillah bin al-Abbag al-Hasyim. Lahir di Basrah pada tahun 168 H, hingga ia mendapat sebutan ibn Sa’ad al-Bashri. Kemudian ia berkunjung ke Madinah, Kufah dan Baghdad. Kepergiannya ke Madinah tentu sebelum tahun 200 H, mengingat di sana ia bertemu dengan beberapa orang guru besar dan menjadi murid mereka pada tahun 189 H. Di Madinah, ia telah bertemu dengan tokoh-tokoh ahli Hadis terkenal, karena memang Madinah dikenal sebagai “Negeri Sunnah” dan tempat asal periwayatan Hadis. Ia belakangan menetap di Baghdad sampai wafat pada tahun 230 H dalam usia 62 tahun.
Di Baghdad, semasa hidupnya, ia selalu menyertai sejarawan besar A1-Waqmd — pengarang kitab Ath-Thabaqat dan Al-Maghazi — dan menulis untuk Al-Waqidi, sehingga ia dikenal sebagai “Penulis al-Waqidi”. Menurut para ahli sejarah, peran ini adalah salah satu andilnya yang kekal. Dalam buku-buku biografi yang menerangkan peri kehidupannya, hanya ada tiga kitab yang dinisbatkan kepadanya, yaitu: Ath-Thabaqat al-Kubra, Ath-Thabaqat ash-shaghir- dan Akhbar an-Nabi yang oleh lbn an-Nadim dalam kitab. Filsasat hanya dinisbatkan kepadanya (Ibn Sa ‘ad).
Sebagian peneliti berpendapat — dan menyetujuinya — bahwa tiga kitab yang disebutkan itu pada hakekatnya hanya satu. Karena isi kitab Ath-Thabaqat ash-Shaghir dan kitab Akhbar an-Nabi telah disebutkan dalam dua juz pertama dan kitab Ath-Thabaqat al-Kubra. ini tidak berarti bahwa lbnu Sa’ad tidak mempunyai karangan lain kecuali kitab ini. Namun, ini hanyalah penjelasan umum yang diberikan oleh kitab-kitab biografi mengenal ibnu Sa’ad dan karangan-karangannya. Kalaupun sekiranya ia hanya memiiiki karangan Ath-Thabaqat al-Kubra, itu sudah cukup menunjukkan penguasaan ilmunya yang luas, hapalannya yang kuat dn hubungannya yang erat dengan sumber-sumber riwayat serta sejarah pada masanya.

C.      Sumber-sumber Pokok
Dalam menyusun kitab Ath-Thabaqat, ia menggunakan dua macam sumber:
1.      Sumber musyafahah (dan mulut ke mulut) dan mendengar, seperti kebanyakan ahli Hadis dan ahli sejarah pada masanya.
2.      Sumber tulisan, yang sangat terbatas.
Kalau kita berbicara tentang Ath-Thabaqat, amanat keilmuan mengharuskan kami mengatakan bahwa pada tingkatan pertama Ibnu Sa’ad mempercayakan pada penukilan langsung dari mulut para guru besar. Dan sebelum memperoleh manfaat dan kitab Ath-Thabaqat karya Al-Waqidi, ia juga telah mengambil dan gurunya itu secara lisan, disamping mengutipnya dan catatan-catatan. Kami pun menandaskan bahwa tak seorang pun selain Al-Waqidi yang mendahului Ibnu Sa‘ad menulis karangan yang jelas dengan memakai judul Ath-Thabaqat.
Ibnu Sa’ad hampir tak pemah menyia-nyiakan kesempatan menerima langsung dan para tokoh ahli Hadis terkenal pada zamannya. Sebagai contoh, sederetan nama gurunya akan kami sebutkan berikut ini, yang kiranya bisa menunjukkan tingkatan penguasaan ilmu Ibnu Sa’ad. Ia bertemu dengan Waki’ bin al-Jarrah, Sulaiman bin Harb, Husyaim bin Basyir, Abu Nu’aim al-Fadhi bin Dukan, Sufyan bin Uyainah, al-Walid bin Muslim, Abul Wahid Ath-Thayalisj dan Muhammad bin Sa’dan al-Muqri’ adl-Dlarir. Itulah yang perlu diketahui oleh para kritikus Hadis sebelum dan sesudah dia, agar mereka dapat menilainya, memuji, membersihkan, menganggapnya adil, dan berkata: “Ia seorang yang jujur dan terpercaya, teliti dalam banyak periwayatan.” Dalam kenyataannya bahkan ada yang lebih mengutamakannya dibandingkan dengan gurunya sendiri, Al-waqidi As-Sakhawi berkomentar: ia terpercaya, meskipun gurunya lemah.”

D.      Al-Waqidi, Guru lbn Sa’ad
Kita harus membicarakan tentang guru Ibn Sa‘ad ini, meskipun ada yang menganggapnya lemah. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Umar bin Waqid Al-Waqidi. Dia seorang sahaya Bani Hasyim, lahir di Madinah pada tahun 130 H, pada masa pemerintahan Khalifah Marwan bin Muhammad Pada tahun 170 H, dia menyertai Khalifah Harun ar-Rasyid dalam perjalanan menunaikan ibadah haji dan ziarah ke Madinah. Dalam kesempatan itu, ia mampu menunjukkan tempat-tempat bersejarah dan bekas-bekas lokasi peperangan, yang membuat Ar-Rasyid kagum kepadanya. Kemudian seorang wazir (menteri) Ar-Rasyid, bemama Yahya bin Khalid al-Barmaki, meminta ia mengikutinya dan menetap di Irak. Temyata disanalah dia menemukan segala kemuliaan dan kehormatan. Sesudah itu, dia pergi ke Syam dan Riqqah. Kembali lagi ke Baghdad, Al-Makmun mengangkatnya sebagai qadli Askar Al-Mahdi. Jabatan ini tetap dipangkunya sampai meninggal dunia di Baghdad pada tahun207H atau 209 H.
Sungguh sangat mudah bagi Al-Waqidi untuk menuntut ilmu dan para rawi dan penghapal Hadis tingkatan pertama. Misalnya dan Malik bin Anas (imam penduduk Madinah), Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri, dan Ma’mar bin Rasyid. Al-Waqidi sezaman dengan Muhammad bin Ishaq, pengarang As-Sirab yang temama. Hanya Al-Waqidi lebih muda sedikit. Dalam hal keluasan penguasaan ilmu sejarah, perjalanan, peperangan dan penakiukan, orang-orang menganggap Al-Waqidi menempati posisi kedua sesudah Muhammad bin Ishaq. Tetapi kebanyakan ilmu tentang peperangan. Al-Waqidi berasal dari Najih as-Sindi, yang dikenal dengan sebutan Abu Ma’syar as-Sindi, yang wafat tahun 170 H di Baghdad, ketika Khalifah A1-Mahdi telah meminta Abu Mas’yar datang ke Baghdad, ketika Khalifah berkunjung ke Madinah dan mendengar tentang ilmu serta keutamaannya. Para penghapal dan kritikus Hadis memang mencela sebagian riwayat Abu Ma‘syar, karena banyak Hadis yang ia riwayatkan munkar. Namun mereka sepakat atas pengetahuannya yang luas tentang peperangan dan informasinya yang akurat mengenai perilaku Nabi dan penaklukan-penaklukan yang dilakukan pasukan Islam. Imam Ahmad bin Hanbal berkata; Abu Ma’syar sangat mengerti tentang berbagal peperangan. “Dengan demikian, tidaklah mengherankan bila kitab-kitab Al-Waqidi tentang masalah thabaqat, sejarah dan peperangan, menyebar di belahan bumi barat dan timur. Begitulah menumt Al-Khatib Al-Baghdadi dalam biografinya. Karena, segala yang berhubungan dengan rincian masalah-masalah tersebut, dan bagian-bagiannya yang detail, ia terima dan anak-anak para Sahabat, anak-anak para syuhada, dan budak, dan para rawi dan, serta dan Abu Ma’syar. Kemudian, setiap kali mendapatkan pengetahuan tentang peperangan, ia selalu berangkat ke tempat kejadian, guna menyaksikannya sendiri, sehingga memperoleh gambaran yang baik. Ia tak lupa menyelidiki informasi itu secara mendalam.
Kami tidak menaruh minat kepada berbagai karangan Al-Waqidi yang menurut para ulama mendapai 600 tas dan harus diangkut dalam 120 kali muatan. Kami juga tidak menaruh minat kepada kitabnya yang berjudul At-Tarikh al-Kabir yang diurutkan secara kronologis, dan banyak dikutip oleh Ath-Thabari dalam kitab Tariknya. Tidak pula kepada kitabnya Ar-R!cldah yang mengemukakan data-data orang murtad setelah wafatnya Rasulullah s.a.w. Dan tidak juga kepada kitabnya yang masyhur, Al-Mashazi, satu-satunya kitabnya yang paling shahih dan sampai kepada kita.
Yang menarik minat kami hanyalah ath-Thabaqat, kitabnya yang tidak sampai kepada kita. Kitab ini menuturkan perihal kehidupan para Sahabat dan tabi’in menurut tingkatan mereka. Juga memuat kabar-kabar tentang mereka di masa Islam dan masa Umawiyah dengan cara tertentu, dan mempercayakan kabar-kabar tersebut kepada sekitar 25 orang guru yang umumnya penduduk Madinah, negeri sunnah dan tempat riwayat yang shahih. Para rawi itu pula yang ia kutip dalam menyusun kitabnya Al-Maghazi, sebagaimana disinggung pada bagian awalnya. Soalnya meskipun kitab Ath-Thabaqat Al-Waqidi tidak sampai kepada kita dalam bentuknya yang asli, tetapi kita mendapat kutipan muridnya yang cermat dan bersih. Murid itu tidak lain adalah Muhammad bin Sa’ad bin Manvya, pengarang Ath-Thabaqat yang sedang kita bicarakan.

E.       Antara Guru dan Murid
Sejumah kritikus Hadis telah mengabaikan Al-Waqidi, sang guru. Mereka menuduhnya kadang-kadang suka mempermudah, dart kadang-kadang menyusun Hadis, seperti diakui oleh Imam Ahmad bin Hanbal, ‘A1-Waqidi menyusun Hadis-hadis.” Yahya bin Ma’in berkata: ‘Al-Waqidi meriwayatkan Hadis gharib yang disandarkan kepada Rasulullah s.a.w. sebanyak 20.000 Hadis.” Para ulama juga mengatakan bahwa Al-Waqidi sering mengumpulkan sanad-sanad yang bermacam-macam untuk mendatangkan satu matan: sebagiari matan untuk rawi tertentu, dan sebagian lagi untuk rawi yang lain. Mereka mengatakan bahwa Al-Waqidi mengutip dan lampiran-lampiran, kitab-kitab dan catatan-catatan. Sedangkan mereka hanya menyukai rawi yang meriwayatkan Hadis yang benar-benar ia dengar sendiri, karena khawatir terjadi kesalahan baca atau kesalahan ucap.
Namun, sebagian ulama yang lain berbaik sangka kepadanya. Misalnya Imam Malik bin Anas yang lebih mengutamakan periwayatannya dari pada periwayatan Ibn Ishaq. Begitu pula Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam dan Imam Syafi’i. Tetapi, mayoritas ahli Hadis meragukannya, lebih-lebih ketika mereka mengetahui bahwa al-Waqidi sangat erat hubungannya dengan orang-orang Abbasiyah. Ia dicurigai memanipulasi khabar demi menyenangkan Bani Abbas Misalnya saja, Ia menghapus nama Al-Abbas — paman Nabi s.a .w. — dan daftar tawanan Perang Badar yang ada di tangan kaum Muslimin. Seolah-olah. ia keberatan bila paman Nabi yang mulia itu tertawan. Tetapi, keraguan untuk menerima khabar dari orang ini tidak mempengaruhi Ibnu Sa’ad secara khusus, kecuali sedikit. Karena kebanyakan ulama mengatakan, sebagaimana telah kami kutip: “Dia terpercaya meskipun gurunya lemah.”
Ibnu Sa’ad — seperti dikatakan oleh Ibnu Nadim — menyusun kitab-kitabnya dengan sumber karangan-karangan Al-Waqidi. Ibnu Sa’ad hampir-hampir tidak pemah lupa menyebutkan nama Al-Waqidi, gurunya, dalam silsilah sanad pada biogafi yang ia terangkan atau Pelajari tentang perorangan yang dilakukan Rasulullah. Hanya — meskipun ia menyebut nama gurunya — ia menyaring riwayat yang datang dan gurunya itu, atau menguatkannya dengan riwayat lain yang berasal dan orang-orang yang menekuni masalah nasab, peperangan dan penaklukan. Umpamanya ketika ia membicarakan tentang berbagai delegasi yang memenuhi Rasulullah, Ia tidak hanya menggunakan riwayat gurunya. Melainkan juga menyebut  nama Hisyam bin Muhammad bin as-Sa’ib al-Kalbi. Seringkali ia menyetujui pembaruan pasal-pasal yang tidak ditemukannya pada periwayatan gurunya, misalnya dalam pembahasannya tentang nama julukan Rasulullah, ucapan yang biasa digunakan oleh Rasulullah saw. untuk melindungi dirti dan diucapkan. Pula oleh Jibril, nasab orang-orang Jahiliyah, perikehidupan para Nabi dan bangsa-bangsa kuno. Semuanya jelas-jelas tidak banyak menarik perhatian Al-Waqidi.

F.       Kandungan Terpenting Kitab Thabaqat
Thabaqat dart lbnu Sa’ad adalah sebuah kitab besar yang banyak materinya. Pengarangnya berusaha membaginya dalam 15 jilid, yang memaparkan perikehidupan para ahli Hadis, para pemilik khabar dan nasab di masa Rasulullah, tabi’in, dan masa hidupnya. Thabaqat ini diriwayatkan kepada kita dari lbnu Sa’ad melalui muridnya, Al-Harits bin Abi Usamah. Karena itu, pada sebagian pasal sering kita temui redaksi seperti: “Diceritakan kepadaku oleh Muhammad bin Sa’ad.” Hal itu menunjukkan bahwa yang meniwayatkan teks tersebut adalah muridnya, bukan Ibnu Sa’ad sendiri. Dan dengan ini kami dapat menyatakan mengapa Ibnu Sa’ad menganggap cukup dengan pencatatan khabar-khabar yang sampai kepadanya dengan sangat cermat, hanya memberi komentar sdikit sekali. Ada pula kitab yang lahir lewat Al-Husein bin Fahm, murid Ibnu Sa’ad yang lain. Seakan-akan dua orang murid ini saling membagi tugas untuk meriwayatkan kitab Thabaqatal-Kubra.
Ibnu Sa’ad telah menyelesaikan sebagian besar dan dua juz yang pertama peri kehidupan Rasulullah Saw. ltu didahului dengan penyebutan para Nabi yang berputra Utusan Ahab, penyebutan Hawa, Idris, Nuh, Ibrahim, Ismail, serta kurun dan tahun-tahun antara Adam dan Muhammad. Juga menyebut nama para Nabi dan nasab mereka, silsilah Nabi Saw. sampai Nabi Adam, ayah Nabi Muhammad saw. (Abdullah) dan ibu beliau (Aminah) hingga beliau diutus Allah dan wahyu diturunkan kepada beliau. Berikutnya sampai pada pembicaraan tentang hijrah Nabi saw. Dilukiskan pula peperangan yang beliau lakukan satu persatu, dan delegasi yang datang menemui beliau, Kemudian ia membicarakan tentang orang-orang yang berfatwa di Madinah pada masa Rasulullah. Selanjutnya, ia menerangkan biografi para Saha bat dan tabi’in. Juz-juz berikutnya dipenuhi dengan biografi mereka, kecuali juz terakhir yang khusus menguraikan tentang wanita.

G.      Metode yang Dipakai oleh Jbnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat
Dalam Thabaqat, seyogyanya yang diperhatikan pertama kali adalah unsur zaman. Hal ini telah dilakukan oleh lbnu Sa’ad. Karena itu, yang lebih dulu masuk Islam menjadi pangkal tolak berdasarkan zaman, dalam pembicaraannya mengenai orang-orang yang hijrah ke Habasyah, atau tentang orang-orang yang syahid dalam Perang Badar, atau orang yang memeluk Islam sebelum penaklukan Mekah. Itulah sebabnya Ibn Sa’ad memulai pembicaraan dengan para Sahabat Muhajirin peserta Perang Badar, dan para Sahabat Anshar yang ikut dalam perang yang sama. Berikutnya adalah orang-orang yang lebih dulu memeluk Islam tapi tidak mengikuti Perang Badar, diikuti dengan orang yang hijrah ke Habasyah, serta orang yang memeluk Islam sebelum penaklukan Mekah, dan seterusnya. Ini menyerupai metode Umar ketika menulis kumpulan syair-syair. Mungkin Ibnu Sa’ad melakukannya atas kemauan sendiri setelah melihat contoh dan Umar.
Namun ia juga tidak melupakan unsur tempat, dengan menerangkan biografi para Sahabat menurut kota-kota kediaman mereka. Ia sebutkan orang-orang yang berada di Madinah, Mekah, Thaif, Yaman, atau Yamamah. Atau orang yang tinggal di Kufah, di Basrah, dan orang yang lebih banyak tinggal di Syam atau Mesir. Dengan metode zaman dan tempat ini pula ia menceritakan. biografi para tabi’in dalam kitab Thabaqat-nya tersebut. Menurut dia, masa pertukaran lapisan kira-kira selang dua puluh tahun. Inilah biasanya yang berlaku pada para pemilik thabaqat serta tokoh-tokoh biografi dan perikehidupan.
Yang paling penting dalam kitab Thabaqat, pertama-tama adalah biografi para Sahabat, dan kedua ialah tabi’in besar. Karena, mereka adalah orang-orang yang paling dekat dengan masa Rasulullah Saw. Setiap informasi keagamaan dan sejarah yang diriwayatkan dan mereka bisa digunakan tanpa ragu. lbn Sa’ad membagi para Sahabat menjadi lima kategori:
1)      Sahabat Muhajirin yang mengikuti Perang Badar;
2)      Sahabat Anshar yang ikut Perang Badar;
3)      Sahabat yang lebih dulu masuk Islam, yang hijrah ke Habasyah atau mengikuti Perang Uhud tetapi tidak mengikuti Perang Badar;
4)      Sahabat yang memeluk Islam sesudah penaklukan Mekah; dan
5)      Sahabat yang memeluk Islam sesudah penaklukan Mekah.
Pembagian Ibnu Sa’ad ini —diterangkan pula oleh para pengarang kitab thabaqat sesudahnya — terdapat cacat yang jelas tapi tak dapat dielakkan, yaitu saling berjalinnya sebagian personil thabaqat di antara mereka. Terkadang ada yang disebutkan biografinya dan kelompok Muhajirin yang ikut Perang Badar, kemudian dinyatakan bahwa ia hijrah ke suatu negeri di tengah penaklukan, lalu Ia dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang lama tinggal di Madinah sambil berfatwa. Jadi, setelah Ibnu Sa’ad membeberkan biografinya menurut kategori tersebut, ia menuturkannya lagi di dua tempat lain atau lebih. Untung Ibnu Sa’ad mengetahuinya, lalu membuat biografi yang diutamakan dengan panjang lebar, yaitu disebut pada kategori personil dengan pembeberan riwayat hidup tanpa diikuti kekhususan lain yang mengistimewakannya.

H.      Perhatian Ibnu Sa’ad terhadap Nasab
Meskipun Ibnu Sa’ad menamakan kitabnya dengar, Ath-Thabaqat dan berharap kitab tersebut hanya memuat pebagian namun tampak. sekali kepeduliannya terhadap tarikh Jahiliyah Berheda dengan gurunya, Al-Waqidi. Kita melihat di sini, ia bersandar kepada Hisyam bin Muhammad bin As-Sa‘id Al-Kaibi, yang seperti ayahnya, sangat bagus membedakan berbagai asal keturunan orang Arab kuno. Itu berarti bahwa Ibnu Sa’ad mengenal nasab-nasab dengan baik. Ia mendapatkannya secara lisan dan orang yang sangat mengerti ilmu ini, yaitu Hisyam bin Muhammad bin as-Sa’ib al-Kalbi. Kitab karangannya banyak, meliputi prosa dan puisi, informasi-informasi Islam dan informasi-informasi berbagai negeri, hingga orang-orang menghitungnya sampai 140 kitab. Informasi  peristiwa pada masa Mu’awiyah yang belum lama terjadi ia peroleh langsung dan ayahnya — Muhammad bin As-Sa’ib — yang hidup lama di masa Umawiyah dan mengikuti Perang Dair al-Jamajim bersama Abdurrahman as-Asy’ats.
Dalam Thabaqat Ibnu Sa‘ad dapat kita temukan penuturan mengenai seorang ahli nasab yang hidup pada zaman Nabi Saw, tetapi tidak dianggap sebagai Sahabat. Ia adalah Daghfal bin Handhalah asy-Syaibani. Dialah yang diceritakan pernah berdebat dengan Abu Bakar ash-Shiddiq tentang nasab-nasab orang Arab. Orang ini pula yang beritanya didengar dan ilmunya dikagumi oleh Mu’awiyah. Dia banyak meriwayatkan informasi nasab pada zamannya.
Materi yang ditinggalkan oleh Ibnu Sa’ad tentang pengenalan nasab-nasab akan jelas dalam dua kitab yang disusun sesudahnya, Ansab al-Asyraf dan Futuh al-Buldan. Keduanya ditulis oleh Al-Baladzuri, yang tidak segan-segan meriwayatkan dan Ibnu Sa’ad dengan mengutip kitab Thabaqat-nya, baik dan teks maupun lafaznya.
Barang kali pengetahuan yang cermat terhadap nasab-nasab inilah yang memungkinkan Ibnu Sa’ad terhindar dan kejatuhan ke dalam kekeliruan, seperti yang diperbuat oleh para ahli sejarah sesudahnya dalam hal nasab dan thabaqat. Di sana ada Sahabat yang dianggap tabi’in, menurut sebagian di antara mereka, seperti AnNu’man dan Suwaid yang keduanya adalah anak Muqarrin al-Muzni. Ada pula tabi’fn yang dianggap Sahabat, seperti Abdurrahman bin Ghanm — yang dikelirukan oleh Mahmud bin ar Rabi’ al-laizi, Karena ia memursalkan Hadis — dan Ibrahim bin Abdurrahman al-Udzri yang dikelirukan oleh Ibn Mandah.

I.         Periwayatan Menurut Metode Abli Hadis
Sekalipun Thabaqat Ibnu Sa‘ad disandarkan kepada periwayatan, sehingga hampir secara pribadi pengarang tak terlihat di dalamnya, dan nyaris tanpa komentar, namun terdapat sedikit penjelasan yang memperlihatkan kepada kita akan adanya kritik berkenaan dengan pokok pembicaraan yang sering dikemukakan oleh Ibnu Sa’ad. Misalnya ia mengemukakan riwayat yang intinya bahwa Nabi s.a.w. menangis di dekat kuburan ibunya pada saat penaklukan Mekah. Lalu ia berkata: “ini adalah keliru. Makam Ibu Nabi bukannya di Mekah, melainkan di Abwa’.”
Ia juga mengutip perkataan Hisyam al-Kalabi bahwa orang yang ikut Perang Badaradalah As-Sa’ib bin Madh’un (bukan As-Sa’ib bin Utsman bin Madh’un). Kemudian Ibnu Sa’ad mengomentari kutipan tersebut: “Menurut kami, keterangan Hisyam itu lemah. Karena, para pengarang sejarah yang mendalami riwayat peperangan menyatakan As-Sa’ib bin Utsman bin Madh’unlah yang mengikuti Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq, dan lain-lain.
Materi kesusasteraan syair dalam kitab Ath-Thabaqat tidak Sebanyak yang terdapat pada pidato-pidato, terutama berbagai pidato Nabi Saw. Sebagian syair itu dan zaman Jahiliyah kuno, yang umumnya berhubungan dengan nenek-moyang Nabi atau para pemimpin Arab Quraisy. Sebagian yang lain syair Islami yang banyak berkaitan dengan masalah peperangan. Hanya jumlahnya masih terhitung sedikit bila dibandingkan syair-syair yang disebutkan dalam Maghazi Al-Waqidi, atau Sirahlbn Ishaq.
Ibnu Saad, dari awal sampai akhir, adalah tokoh periwayatan menurut cara ahil Hadis, dan bukan kritikus menurut ilmu sastera.


DAFTAR PUSTAKA

Biografi Ibnu Sa’ad dalam Tarikh Baghdad 5/321; al-Wafayat 1/507; Tahdzib at-tahdzib 9.182; al-jahru wat-ta’dil nmor 1433 dan Thabaqat al-Qur'an 1/142. Dalam meringkat biografinya, disini kami mempercayakan pada penuturan ustadz Dr. Ihsan Abbas ketika memperkenalkan ath-Thabaqat al-Kubra yang dicetak di Beirut.

5 komentar: