IBNU SA’AD DAN
SISTEM PENYUSUNAN
KITAB ATH-THABA
QAT
A. Pendahuluan
Mengumpulkan Hadis, menemukannya,
mengadakan perjalanan untuk mencarinya, dan membukukan hasil penyusunannya,
merupakan dasar pertama kebudayaan Arab Islami, dengan segala ilmunya yang
dikutip dan disandarkan pada periwayatan serta dipercayakan kepada sanad.
Semua yang kita ketahui - seperti searah dan perilaku, peperangan dan penaklukan,
biografi dan thabaqat (tingkatan, lapisan), sampai tafsiral-Qur’an dan
ilmu-ilmu qira’at (bacaan) – timbul dan pengumpulan dan penwayatan Hadis.
Karena, pada benak para rawi dan ingatan para penghapal, semuanya tercakup oleh
Hadis dalam bentuknya yang pertama. Hanya saja, informasi-informasi yang
terpisah-pisah ini sedikit demi sedikit mulai lepas - sesuai dengan nam dan
topiknya - dan Hadis, dan sesudah itu masing-masing menjadi suatu ilmu yang
berdiri sendiri.
Kitab-kitab thabaqat adalah
satu yang mewamai budaya Islam pertama ini, yang muncul akibat adanya pembukuan
Hadis dan pengumpulan riwayat. Di dalamnya kita dapat mengetahui biografi para
rawi dan keadaan mereka masa demi masa, tingkatan demi tingkatan. Yang menjadi
perhatian kami dalam pasal ini adalah apa yang harus diketahui dan
tingkatan-tingkatan ini dan sumber-sumbernya yang pokok, serta kesinambungan
para penekun studi ini.
Hampir-hampir kata thabaqat tidak
pemah ditemukan, sampai kitab Ath-Thabaqat al-Kubra karya lbnu Sa’ad
beredar dan menjadi buah bibir banyak orang. Karena kitab ini adalah kitab ilmu
thabaqat terbesar.
Tak disangsikan, yang paling baik
kita lakukan adalah menganalisis kitab ini. Dengan demikian kita dapat memahami
benar-benar studi tentangny dan sistem yang digunakan oleh para pengarang yang
disebutkan dalam kitab tersebut.
Marilah kita mulai dengan
membicarakan tentang penyusunan kitab Ath-thabaqat itu
B. Ibnu Sa’ad, Kehidupan dan Data-data Pribadinya
Nama 1engkapnya adalah Muhammad
bin S’ad bin Manya’ Az-Zuhri. Ia seorang sahaya Bani Zuhrah. Ia juga disebut
al-Hasyim, karena salah seorang moyangnya adalah sahaya milik Al-husain bin
Abdullah bin Ubaidillah bin al-Abbag al-Hasyim. Lahir di Basrah pada tahun 168
H, hingga ia mendapat sebutan ibn Sa’ad al-Bashri. Kemudian ia berkunjung ke
Madinah, Kufah dan Baghdad. Kepergiannya ke Madinah tentu sebelum tahun 200 H,
mengingat di sana ia bertemu dengan beberapa orang guru besar dan menjadi murid
mereka pada tahun 189 H. Di Madinah, ia telah bertemu dengan tokoh-tokoh ahli
Hadis terkenal, karena memang Madinah dikenal sebagai “Negeri Sunnah” dan tempat
asal periwayatan Hadis. Ia belakangan menetap di Baghdad sampai wafat pada
tahun 230 H dalam usia 62 tahun.
Di Baghdad, semasa hidupnya, ia
selalu menyertai sejarawan besar A1-Waqmd — pengarang kitab Ath-Thabaqat dan
Al-Maghazi — dan menulis untuk Al-Waqidi, sehingga ia dikenal sebagai
“Penulis al-Waqidi”. Menurut para ahli sejarah, peran ini adalah salah satu
andilnya yang kekal. Dalam buku-buku biografi yang menerangkan peri kehidupannya,
hanya ada tiga kitab yang dinisbatkan kepadanya, yaitu: Ath-Thabaqat al-Kubra,
Ath-Thabaqat ash-shaghir- dan Akhbar an-Nabi yang oleh lbn an-Nadim dalam
kitab. Filsasat hanya dinisbatkan kepadanya (Ibn Sa ‘ad).
Sebagian peneliti berpendapat —
dan menyetujuinya — bahwa tiga kitab yang disebutkan itu pada hakekatnya hanya
satu. Karena isi kitab Ath-Thabaqat ash-Shaghir dan kitab Akhbar an-Nabi telah
disebutkan dalam dua juz pertama dan kitab Ath-Thabaqat al-Kubra. ini
tidak berarti bahwa lbnu Sa’ad tidak mempunyai karangan lain kecuali kitab ini.
Namun, ini hanyalah penjelasan umum yang diberikan oleh kitab-kitab biografi
mengenal ibnu Sa’ad dan karangan-karangannya. Kalaupun sekiranya ia hanya
memiiiki karangan Ath-Thabaqat al-Kubra, itu sudah cukup menunjukkan penguasaan
ilmunya yang luas, hapalannya yang kuat dn hubungannya yang erat dengan
sumber-sumber riwayat serta sejarah pada masanya.
C. Sumber-sumber Pokok
Dalam menyusun kitab Ath-Thabaqat,
ia menggunakan dua macam sumber:
1. Sumber musyafahah (dan mulut ke mulut) dan mendengar,
seperti kebanyakan ahli Hadis dan ahli sejarah pada masanya.
2. Sumber tulisan, yang sangat terbatas.
Kalau kita berbicara tentang
Ath-Thabaqat, amanat keilmuan mengharuskan kami mengatakan bahwa pada tingkatan
pertama Ibnu Sa’ad mempercayakan pada penukilan langsung dari mulut para guru
besar. Dan sebelum memperoleh manfaat dan kitab Ath-Thabaqat karya Al-Waqidi,
ia juga telah mengambil dan gurunya itu secara lisan, disamping mengutipnya dan
catatan-catatan. Kami pun menandaskan bahwa tak seorang pun selain Al-Waqidi
yang mendahului Ibnu Sa‘ad menulis karangan yang jelas dengan memakai judul Ath-Thabaqat.
Ibnu Sa’ad hampir tak pemah
menyia-nyiakan kesempatan menerima langsung dan para tokoh ahli Hadis terkenal
pada zamannya. Sebagai contoh, sederetan nama gurunya akan kami sebutkan
berikut ini, yang kiranya bisa menunjukkan tingkatan penguasaan ilmu Ibnu
Sa’ad. Ia bertemu dengan Waki’ bin al-Jarrah, Sulaiman bin Harb, Husyaim bin
Basyir, Abu Nu’aim al-Fadhi bin Dukan, Sufyan bin Uyainah, al-Walid bin Muslim,
Abul Wahid Ath-Thayalisj dan Muhammad bin Sa’dan al-Muqri’ adl-Dlarir. Itulah
yang perlu diketahui oleh para kritikus Hadis sebelum dan sesudah dia, agar
mereka dapat menilainya, memuji, membersihkan, menganggapnya adil, dan berkata:
“Ia seorang yang jujur dan terpercaya, teliti dalam banyak periwayatan.” Dalam
kenyataannya bahkan ada yang lebih mengutamakannya dibandingkan dengan gurunya
sendiri, Al-waqidi As-Sakhawi berkomentar: ia terpercaya, meskipun gurunya lemah.”
D. Al-Waqidi, Guru lbn Sa’ad
Kita harus membicarakan tentang
guru Ibn Sa‘ad ini, meskipun ada yang menganggapnya lemah. Nama lengkapnya
adalah Muhammad bin Umar bin Waqid Al-Waqidi. Dia seorang sahaya Bani Hasyim,
lahir di Madinah pada tahun 130 H, pada masa pemerintahan Khalifah Marwan bin
Muhammad Pada tahun 170 H, dia menyertai Khalifah Harun ar-Rasyid dalam
perjalanan menunaikan ibadah haji dan ziarah ke Madinah. Dalam kesempatan itu,
ia mampu menunjukkan tempat-tempat bersejarah dan bekas-bekas lokasi
peperangan, yang membuat Ar-Rasyid kagum kepadanya. Kemudian seorang wazir
(menteri) Ar-Rasyid, bemama Yahya bin Khalid al-Barmaki, meminta ia
mengikutinya dan menetap di Irak. Temyata disanalah dia menemukan segala kemuliaan
dan kehormatan. Sesudah itu, dia pergi ke Syam dan Riqqah. Kembali lagi ke
Baghdad, Al-Makmun mengangkatnya sebagai qadli Askar Al-Mahdi. Jabatan ini
tetap dipangkunya sampai meninggal dunia di Baghdad pada tahun207H atau 209 H.
Sungguh sangat mudah bagi
Al-Waqidi untuk menuntut ilmu dan para rawi dan penghapal Hadis tingkatan
pertama. Misalnya dan Malik bin Anas (imam penduduk Madinah), Sufyan bin Sa’id
Ats-Tsauri, dan Ma’mar bin Rasyid. Al-Waqidi sezaman dengan Muhammad bin Ishaq,
pengarang As-Sirab yang temama. Hanya Al-Waqidi lebih muda sedikit. Dalam hal
keluasan penguasaan ilmu sejarah, perjalanan, peperangan dan penakiukan,
orang-orang menganggap Al-Waqidi menempati posisi kedua sesudah Muhammad bin
Ishaq. Tetapi kebanyakan ilmu tentang peperangan. Al-Waqidi berasal dari Najih as-Sindi,
yang dikenal dengan sebutan Abu Ma’syar as-Sindi, yang wafat tahun 170 H di
Baghdad, ketika Khalifah A1-Mahdi telah meminta Abu Mas’yar datang ke Baghdad,
ketika Khalifah berkunjung ke Madinah dan mendengar tentang ilmu serta
keutamaannya. Para penghapal dan kritikus Hadis memang mencela sebagian riwayat
Abu Ma‘syar, karena banyak Hadis yang ia riwayatkan munkar. Namun mereka sepakat
atas pengetahuannya yang luas tentang peperangan dan informasinya yang akurat
mengenai perilaku Nabi dan penaklukan-penaklukan yang dilakukan pasukan Islam.
Imam Ahmad bin Hanbal berkata; Abu Ma’syar sangat mengerti tentang berbagal
peperangan. “Dengan demikian, tidaklah mengherankan bila kitab-kitab Al-Waqidi
tentang masalah thabaqat, sejarah dan peperangan, menyebar di belahan bumi
barat dan timur. Begitulah menumt Al-Khatib Al-Baghdadi dalam biografinya.
Karena, segala yang berhubungan dengan rincian masalah-masalah tersebut, dan
bagian-bagiannya yang detail, ia terima dan anak-anak para Sahabat, anak-anak
para syuhada, dan budak, dan para rawi dan, serta dan Abu Ma’syar. Kemudian,
setiap kali mendapatkan pengetahuan tentang peperangan, ia selalu berangkat ke
tempat kejadian, guna menyaksikannya sendiri, sehingga memperoleh gambaran yang
baik. Ia tak lupa menyelidiki informasi itu secara mendalam.
Kami tidak menaruh minat kepada
berbagai karangan Al-Waqidi yang menurut para ulama mendapai 600 tas dan harus
diangkut dalam 120 kali muatan. Kami juga tidak menaruh minat kepada kitabnya
yang berjudul At-Tarikh al-Kabir yang diurutkan secara kronologis, dan
banyak dikutip oleh Ath-Thabari dalam kitab Tariknya. Tidak pula
kepada kitabnya Ar-R!cldah yang mengemukakan data-data orang murtad setelah
wafatnya Rasulullah s.a.w. Dan tidak juga kepada kitabnya yang masyhur, Al-Mashazi,
satu-satunya kitabnya yang paling shahih dan sampai kepada kita.
Yang menarik minat kami hanyalah
ath-Thabaqat, kitabnya yang tidak sampai kepada kita. Kitab ini menuturkan perihal
kehidupan para Sahabat dan tabi’in menurut tingkatan mereka. Juga memuat kabar-kabar
tentang mereka di masa Islam dan masa Umawiyah dengan cara tertentu, dan
mempercayakan kabar-kabar tersebut kepada sekitar 25 orang guru yang umumnya
penduduk Madinah, negeri sunnah dan tempat riwayat yang shahih. Para rawi itu
pula yang ia kutip dalam menyusun kitabnya Al-Maghazi, sebagaimana
disinggung pada bagian awalnya. Soalnya meskipun kitab Ath-Thabaqat Al-Waqidi
tidak sampai kepada kita dalam bentuknya yang asli, tetapi kita mendapat
kutipan muridnya yang cermat dan bersih. Murid itu tidak lain adalah Muhammad
bin Sa’ad bin Manvya, pengarang Ath-Thabaqat yang sedang kita bicarakan.
E. Antara Guru dan Murid
Sejumah kritikus Hadis telah
mengabaikan Al-Waqidi, sang guru. Mereka menuduhnya kadang-kadang suka
mempermudah, dart kadang-kadang menyusun Hadis, seperti diakui oleh Imam Ahmad
bin Hanbal, ‘A1-Waqidi menyusun Hadis-hadis.” Yahya bin Ma’in berkata:
‘Al-Waqidi meriwayatkan Hadis gharib yang disandarkan kepada Rasulullah s.a.w.
sebanyak 20.000 Hadis.” Para ulama juga mengatakan bahwa Al-Waqidi sering
mengumpulkan sanad-sanad yang bermacam-macam untuk mendatangkan satu matan:
sebagiari matan untuk rawi tertentu, dan sebagian lagi untuk rawi yang lain.
Mereka mengatakan bahwa Al-Waqidi mengutip dan lampiran-lampiran, kitab-kitab
dan catatan-catatan. Sedangkan mereka hanya menyukai rawi yang meriwayatkan
Hadis yang benar-benar ia dengar sendiri, karena khawatir terjadi kesalahan
baca atau kesalahan ucap.
Namun, sebagian ulama yang lain
berbaik sangka kepadanya. Misalnya Imam Malik bin Anas yang lebih mengutamakan
periwayatannya dari pada periwayatan Ibn Ishaq. Begitu pula Abu Ubaid Al-Qasim
bin Salam dan Imam Syafi’i. Tetapi, mayoritas ahli Hadis meragukannya, lebih-lebih
ketika mereka mengetahui bahwa al-Waqidi sangat erat hubungannya dengan
orang-orang Abbasiyah. Ia dicurigai memanipulasi khabar demi menyenangkan Bani
Abbas Misalnya saja, Ia menghapus nama Al-Abbas — paman Nabi s.a .w. — dan
daftar tawanan Perang Badar yang ada di tangan kaum Muslimin. Seolah-olah. ia
keberatan bila paman Nabi yang mulia itu tertawan. Tetapi, keraguan untuk menerima
khabar dari orang ini tidak mempengaruhi Ibnu Sa’ad secara khusus, kecuali
sedikit. Karena kebanyakan ulama mengatakan, sebagaimana telah kami kutip: “Dia
terpercaya meskipun gurunya lemah.”
Ibnu Sa’ad — seperti dikatakan
oleh Ibnu Nadim — menyusun kitab-kitabnya dengan sumber karangan-karangan
Al-Waqidi. Ibnu Sa’ad hampir-hampir tidak pemah lupa menyebutkan nama Al-Waqidi,
gurunya, dalam silsilah sanad pada biogafi yang ia terangkan atau Pelajari
tentang perorangan yang dilakukan Rasulullah. Hanya — meskipun ia menyebut nama
gurunya — ia menyaring riwayat yang datang dan gurunya itu, atau menguatkannya
dengan riwayat lain yang berasal dan orang-orang yang menekuni masalah nasab,
peperangan dan penaklukan. Umpamanya ketika ia membicarakan tentang berbagai
delegasi yang memenuhi Rasulullah, Ia tidak hanya menggunakan riwayat gurunya. Melainkan
juga menyebut nama Hisyam bin Muhammad
bin as-Sa’ib al-Kalbi. Seringkali ia menyetujui pembaruan pasal-pasal yang
tidak ditemukannya pada periwayatan gurunya, misalnya dalam pembahasannya
tentang nama julukan Rasulullah, ucapan yang biasa digunakan oleh Rasulullah saw.
untuk melindungi dirti dan diucapkan. Pula oleh Jibril, nasab orang-orang
Jahiliyah, perikehidupan para Nabi dan bangsa-bangsa kuno. Semuanya jelas-jelas
tidak banyak menarik perhatian Al-Waqidi.
F. Kandungan Terpenting Kitab Thabaqat
Thabaqat dart lbnu Sa’ad adalah
sebuah kitab besar yang banyak materinya. Pengarangnya berusaha membaginya dalam
15 jilid, yang memaparkan perikehidupan para ahli Hadis, para pemilik khabar
dan nasab di masa Rasulullah, tabi’in, dan masa hidupnya. Thabaqat ini
diriwayatkan kepada kita dari lbnu Sa’ad melalui muridnya, Al-Harits bin Abi
Usamah. Karena itu, pada sebagian pasal sering kita temui redaksi seperti:
“Diceritakan kepadaku oleh Muhammad bin Sa’ad.” Hal itu menunjukkan bahwa yang
meniwayatkan teks tersebut adalah muridnya, bukan Ibnu Sa’ad sendiri. Dan
dengan ini kami dapat menyatakan mengapa Ibnu Sa’ad menganggap cukup dengan
pencatatan khabar-khabar yang sampai kepadanya dengan sangat cermat, hanya
memberi komentar sdikit sekali. Ada pula kitab yang lahir lewat Al-Husein bin
Fahm, murid Ibnu Sa’ad yang lain. Seakan-akan dua orang murid ini saling
membagi tugas untuk meriwayatkan kitab Thabaqatal-Kubra.
Ibnu Sa’ad telah menyelesaikan
sebagian besar dan dua juz yang pertama peri kehidupan Rasulullah Saw. ltu
didahului dengan penyebutan para Nabi yang berputra Utusan Ahab, penyebutan
Hawa, Idris, Nuh, Ibrahim, Ismail, serta kurun dan tahun-tahun antara Adam dan
Muhammad. Juga menyebut nama para Nabi dan nasab mereka, silsilah Nabi Saw.
sampai Nabi Adam, ayah Nabi Muhammad saw. (Abdullah) dan ibu beliau (Aminah)
hingga beliau diutus Allah dan wahyu diturunkan kepada beliau. Berikutnya
sampai pada pembicaraan tentang hijrah Nabi saw. Dilukiskan pula peperangan
yang beliau lakukan satu persatu, dan delegasi yang datang menemui beliau,
Kemudian ia membicarakan tentang orang-orang yang berfatwa di Madinah pada masa
Rasulullah. Selanjutnya, ia menerangkan biografi para Saha bat dan tabi’in.
Juz-juz berikutnya dipenuhi dengan biografi mereka, kecuali juz terakhir yang
khusus menguraikan tentang wanita.
G. Metode yang Dipakai oleh Jbnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat
Dalam Thabaqat, seyogyanya yang
diperhatikan pertama kali adalah unsur zaman. Hal ini telah dilakukan oleh lbnu
Sa’ad. Karena itu, yang lebih dulu masuk Islam menjadi pangkal tolak
berdasarkan zaman, dalam pembicaraannya mengenai orang-orang yang hijrah ke
Habasyah, atau tentang orang-orang yang syahid dalam Perang Badar, atau orang
yang memeluk Islam sebelum penaklukan Mekah. Itulah sebabnya Ibn Sa’ad memulai
pembicaraan dengan para Sahabat Muhajirin peserta Perang Badar, dan para
Sahabat Anshar yang ikut dalam perang yang sama. Berikutnya adalah orang-orang
yang lebih dulu memeluk Islam tapi tidak mengikuti Perang Badar, diikuti dengan
orang yang hijrah ke Habasyah, serta orang yang memeluk Islam sebelum penaklukan
Mekah, dan seterusnya. Ini menyerupai metode Umar ketika menulis kumpulan
syair-syair. Mungkin Ibnu Sa’ad melakukannya atas kemauan sendiri setelah
melihat contoh dan Umar.
Namun ia juga tidak melupakan
unsur tempat, dengan menerangkan biografi para Sahabat menurut kota-kota
kediaman mereka. Ia sebutkan orang-orang yang berada di Madinah, Mekah, Thaif,
Yaman, atau Yamamah. Atau orang yang tinggal di Kufah, di Basrah, dan orang
yang lebih banyak tinggal di Syam atau Mesir. Dengan metode zaman dan tempat
ini pula ia menceritakan. biografi para tabi’in dalam kitab Thabaqat-nya
tersebut. Menurut dia, masa pertukaran lapisan kira-kira selang dua puluh
tahun. Inilah biasanya yang berlaku pada para pemilik thabaqat serta
tokoh-tokoh biografi dan perikehidupan.
Yang paling penting dalam kitab
Thabaqat, pertama-tama adalah biografi para Sahabat, dan kedua ialah tabi’in
besar. Karena, mereka adalah orang-orang yang paling dekat dengan masa
Rasulullah Saw. Setiap informasi keagamaan dan sejarah yang diriwayatkan dan
mereka bisa digunakan tanpa ragu. lbn Sa’ad membagi para Sahabat menjadi lima
kategori:
1) Sahabat Muhajirin yang mengikuti Perang Badar;
2) Sahabat Anshar yang ikut Perang Badar;
3) Sahabat yang lebih dulu masuk Islam, yang hijrah ke Habasyah
atau mengikuti Perang Uhud tetapi tidak mengikuti Perang Badar;
4) Sahabat yang memeluk Islam sesudah penaklukan Mekah; dan
5) Sahabat yang memeluk Islam sesudah penaklukan Mekah.
Pembagian Ibnu Sa’ad ini
—diterangkan pula oleh para pengarang kitab thabaqat sesudahnya — terdapat
cacat yang jelas tapi tak dapat dielakkan, yaitu saling berjalinnya sebagian
personil thabaqat di antara mereka. Terkadang ada yang disebutkan biografinya
dan kelompok Muhajirin yang ikut Perang Badar, kemudian dinyatakan bahwa ia
hijrah ke suatu negeri di tengah penaklukan, lalu Ia dimasukkan ke dalam
golongan orang-orang yang lama tinggal di Madinah sambil berfatwa. Jadi,
setelah Ibnu Sa’ad membeberkan biografinya menurut kategori tersebut, ia
menuturkannya lagi di dua tempat lain atau lebih. Untung Ibnu Sa’ad
mengetahuinya, lalu membuat biografi yang diutamakan dengan panjang lebar,
yaitu disebut pada kategori personil dengan pembeberan riwayat hidup tanpa
diikuti kekhususan lain yang mengistimewakannya.
H. Perhatian Ibnu Sa’ad terhadap Nasab
Meskipun Ibnu Sa’ad menamakan
kitabnya dengar, Ath-Thabaqat dan berharap kitab tersebut hanya memuat pebagian
namun tampak. sekali kepeduliannya terhadap tarikh Jahiliyah Berheda dengan
gurunya, Al-Waqidi. Kita melihat di sini, ia bersandar kepada Hisyam bin
Muhammad bin As-Sa‘id Al-Kaibi, yang seperti ayahnya, sangat bagus membedakan
berbagai asal keturunan orang Arab kuno. Itu berarti bahwa Ibnu Sa’ad mengenal
nasab-nasab dengan baik. Ia mendapatkannya secara lisan dan orang yang sangat
mengerti ilmu ini, yaitu Hisyam bin Muhammad bin as-Sa’ib al-Kalbi. Kitab karangannya
banyak, meliputi prosa dan puisi, informasi-informasi Islam dan
informasi-informasi berbagai negeri, hingga orang-orang menghitungnya sampai
140 kitab. Informasi peristiwa pada masa
Mu’awiyah yang belum lama terjadi ia peroleh langsung dan ayahnya — Muhammad
bin As-Sa’ib — yang hidup lama di masa Umawiyah dan mengikuti Perang Dair
al-Jamajim bersama Abdurrahman as-Asy’ats.
Dalam Thabaqat Ibnu Sa‘ad dapat
kita temukan penuturan mengenai seorang ahli nasab yang hidup pada zaman Nabi
Saw, tetapi tidak dianggap sebagai Sahabat. Ia adalah Daghfal bin Handhalah
asy-Syaibani. Dialah yang diceritakan pernah berdebat dengan Abu Bakar
ash-Shiddiq tentang nasab-nasab orang Arab. Orang ini pula yang beritanya
didengar dan ilmunya dikagumi oleh Mu’awiyah. Dia banyak meriwayatkan informasi
nasab pada zamannya.
Materi yang ditinggalkan oleh Ibnu
Sa’ad tentang pengenalan nasab-nasab akan jelas dalam dua kitab yang disusun
sesudahnya, Ansab al-Asyraf dan Futuh al-Buldan. Keduanya ditulis oleh Al-Baladzuri,
yang tidak segan-segan meriwayatkan dan Ibnu Sa’ad dengan mengutip kitab
Thabaqat-nya, baik dan teks maupun lafaznya.
Barang kali pengetahuan yang
cermat terhadap nasab-nasab inilah yang memungkinkan Ibnu Sa’ad terhindar dan
kejatuhan ke dalam kekeliruan, seperti yang diperbuat oleh para ahli sejarah
sesudahnya dalam hal nasab dan thabaqat. Di sana ada Sahabat yang dianggap
tabi’in, menurut sebagian di antara mereka, seperti AnNu’man dan Suwaid yang
keduanya adalah anak Muqarrin al-Muzni. Ada pula tabi’fn yang dianggap Sahabat,
seperti Abdurrahman bin Ghanm — yang dikelirukan oleh Mahmud bin ar Rabi’
al-laizi, Karena ia memursalkan Hadis — dan Ibrahim bin Abdurrahman al-Udzri
yang dikelirukan oleh Ibn Mandah.
I.
Periwayatan Menurut
Metode Abli Hadis
Sekalipun Thabaqat Ibnu Sa‘ad
disandarkan kepada periwayatan, sehingga hampir secara pribadi pengarang tak
terlihat di dalamnya, dan nyaris tanpa komentar, namun terdapat sedikit
penjelasan yang memperlihatkan kepada kita akan adanya kritik berkenaan dengan
pokok pembicaraan yang sering dikemukakan oleh Ibnu Sa’ad. Misalnya ia
mengemukakan riwayat yang intinya bahwa Nabi s.a.w. menangis di dekat kuburan
ibunya pada saat penaklukan Mekah. Lalu ia berkata: “ini adalah keliru. Makam
Ibu Nabi bukannya di Mekah, melainkan di Abwa’.”
Ia juga mengutip perkataan Hisyam
al-Kalabi bahwa orang yang ikut Perang Badaradalah As-Sa’ib bin Madh’un (bukan
As-Sa’ib bin Utsman bin Madh’un). Kemudian Ibnu Sa’ad mengomentari kutipan
tersebut: “Menurut kami, keterangan Hisyam itu lemah. Karena, para pengarang
sejarah yang mendalami riwayat peperangan menyatakan As-Sa’ib bin Utsman bin
Madh’unlah yang mengikuti Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq, dan
lain-lain.
Materi kesusasteraan syair dalam
kitab Ath-Thabaqat tidak Sebanyak yang terdapat pada pidato-pidato, terutama
berbagai pidato Nabi Saw. Sebagian syair itu dan zaman Jahiliyah kuno, yang umumnya
berhubungan dengan nenek-moyang Nabi atau para pemimpin Arab Quraisy. Sebagian
yang lain syair Islami yang banyak berkaitan dengan masalah peperangan. Hanya jumlahnya
masih terhitung sedikit bila dibandingkan syair-syair yang disebutkan dalam
Maghazi Al-Waqidi, atau Sirahlbn Ishaq.
Ibnu Saad, dari awal sampai
akhir, adalah tokoh periwayatan menurut cara ahil Hadis, dan bukan kritikus
menurut ilmu sastera.
DAFTAR PUSTAKA
Biografi Ibnu Sa’ad dalam Tarikh Baghdad 5/321; al-Wafayat
1/507; Tahdzib at-tahdzib 9.182; al-jahru wat-ta’dil nmor 1433 dan Thabaqat
al-Qur'an 1/142. Dalam meringkat biografinya, disini kami mempercayakan pada penuturan
ustadz Dr. Ihsan Abbas ketika memperkenalkan ath-Thabaqat al-Kubra yang dicetak
di Beirut.
terimakasih, sangat bermanfaat
BalasHapusTerimakasih banyak Ustadz
BalasHapusTrimakasih
BalasHapusMasya Allah. mantap..
BalasHapusDimana referensi nya?
BalasHapus