BAB I
PENDAHULUAN
Produksi adalah kegiatan manusia untuk menghasilkan barang dan jasa yang
kemudian dimanfaatkan oleh konsumen. Pada saat kebutuhan manusia masih sedikit
dan sederhana, kegiatan produksi dan konsumsi sering dilakukan oleh sendiri.
Seseorang memproduksi sendiri barang dan jasa yang di konsumsinya, seiring
dengan semakin beragamnya kebutuhan konsumsi dan keterbatasan sumber daya yang
ada, maka seseorang tidak dapat lagi
menciptakan sendiri barang dan jasa yang dibutuhkannya, tetapi memperoleh dari
pihak lain. Pemahaman produksi dalam Islam memiliki arti sebagai bentuk usaha
keras dalam pengembangan faktor-faktorfaktor produksi yang diperbolehkan. Hal
ini sesuai firman Allah agar manusia mengeksplorasi kekayaan alam yang
dihalalkan
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang Telah
Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Maidah: 87)
BAB II
PRODUKSI
A. PENGERTIAN
PRODUKSI
Produksi dalam
bahasa arab adalah al-Intaaj dari kata nataja tetapi dalam istilah fiqih lebih
dikenal dengan kata tashil yaitu mengandung arti penghasilan atau menghasilkan
sesuatu. Begitu pun Ibnu Khaldun menggunakan kata tashil untuk produksi ketika
ia membahas pembagian spesialiasai tenaga kerja.
Produksi tidak
saja berarti menciptakan secara fisik sesuatu yang tidak ada menjadi ada,
tetapi menjadikan sesuatu dari unsur-unsur lama yaitu alam menjadi bermanfaat.[1]
Berproduksi dalam ilmu ekonomi diartikan sebagai kegiatan yang
menciptakan manfaat (utility) baik dimasa kini maupun dimasa mendatang (M.
Frank, 2003). Dari pengertian diatas kegiatan produksi tidak terlepasa dari
keseharian manusia, tetapi pembahasan tentang produksi dalam ilmu ekonomi
konvensional mengusung maksimalisasi keuntungan sebagai motif utama.[2]
Pengertian produksi menurut para ekonomi muslim kontemporer:
1)
Kalif (1992) mendefinisikan
kegiatan produksi dalam perspektif Islam sebagai usaha manusia untuk
memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas,
sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam agama
Islam, yaitu kebahagian dunia dan akhirat
2)
UI Haq (1996) menyatakan bahwa
tujuan dari produksi memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang merupakan fardhu
kifayah yaitu kebutuhan yang bagi banyak orang pemenuhannya bersifat wajib
3)
Siddiqie (1992) mendefinisikan
produksi sebagai penyediaan barang dan jasa dengan memperhatikan nilai keadilan
dan kebajikan atau kemanfaatan (maslahah) bagi masyarakat.[3]
B.
Motif Produksi
Motif maksimalisasi kepuasan dan maksimalisasi keuntungan yang menjadi
pendorong utama sekaligus tujuan dari keputusan ekonomi dalam pandangan ekonomi
konvesional membuat sistem ekonomi konvesional sangat mendewakan produktivitas
dan efisiensi ketika berproduksi. Sikap ini sering membuat mereka mengabaikan
masalah-masalah eksternalitas atau dampak merugikan dari proses produksi yang
biasanya justru lebih banyak menimpa sekelompok masyarakat yang tidak ada
hubungannya dengan produk yang dibuat.
Tetapi dalam ekonomi Islam dengan keyakinan akan peran dan kepemilikann
absolute dari Allah rabb semesta alam. Maka konsep produksi di dalam ekonomi
Islam tidak semata-mata bermotif maksimalisasi keuntungan dunia, tetapi lebih
penting untuk mencapai maksimalisasi keuntungan akhirat, sebagaimana QS. Al-Qashash.
Ayat 77:
“Dan carilah pada
apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. Al-Qashash: 77)[4]
Dan dalam berproduksi pun tidak boleh mengeksploitasi
kekayaan alam secara berlebihan, tetapi harus dikelola dengan cara yang
sebagaimana firman Allah:
“Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari
(menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan
Serulah mereka kepada (jalan) Tuhanmu, dan janganlah sekali-sekali kamu
termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS. Al-Qashash: 87)[5]
Islam pun sesungguhnya menerima motif-motif produksi
seperti pola pikir ekonomi konvensional tadi. Hanya bedanya lebih jauh Islam
juga menjelaskan nilai-nilai moral di samping utilitas ekonomi. Bahkan sebelum
itu, Islam menjelaskan mengapa produksi harus dilakukan menurut ajaran Islam,
manusia adalah khalifatullah untuk memakmurkan bumi dengan jalan beribadah
kepada-Nya. Sebagaimana dalam firman Allah:
“Dan dia lah
yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian
kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa
yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan
Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-An’am: 165)
Islam juga mengajarkan bahwa sebaik-baik orang adalah
orang yang banyak manfaatnya bagi orang lain atau masyarakat. Fungsi beribadah
dalam arti luas ini tidak mungkin dilakukan bila seseorang tidak bekerja atau
berusaha. Dengan demikian, bekerja dan berusaha itu menepati posisi dan peranan
yang sangat penting dalam Islam.[6]
C.
Faktor Produksi
Seperti yang telah ditampilkan di bagian muka, bahwa tuhan memerintahkan
manusia untuk bekerja, berusaha dan berupaya untuk mencukupi kehidupan ini
tidak lain adalah berproduksi. Berproduksi seperti lazim diartikan adalah
menciptakan nilai barang atau menambah nilai terhadap suatu produksi.[7]
Teori ekonomi menyebabkan ada empat faktor produksi
1.
Manusia atau tenaga kerja
Tenaga Kerja merupakan faktor produksi yang diakui di setiap sistem
ekonomi terlepas dari kecenderungan idiologi mereka, kualitas dan kuantitas
produksi sangat ditentukan oleh tenaga kerja.
2.
Sumber daya alam
Allah menciptakan alam semesta ini begitu kompleks dan banyak kekayaan
yang terkandung di dalamnya: bumi, air, udara dan cahaya, tetapi ia hanya mampu
mengubah membentuk segala pemberi Allah swt menjadi barang atay capital dalam
perekonomian.
3.
Modal
Modal dalam literature fiqih disebut ra’sul mal yang merujuk pada arti
uang dan barang. Modal merupakan kekayaan yang menghasilkan kekayaan lain.
Pemilik modal harus berupaya memproduktifkan modalnya.
4.
Organisasi
Keberadaan pimpinan dalam suatu oeg adalah suatu keharusan dalam Islam.
Dalam koteks manajemen sebuah perusahaan, seorang manajer bertugas bukan hanya
menyusun strategi yang diarahkan pada pencapaian profit yang bersifat material
tetapi juga spiritual.[8]
D.
Prinsip Produksi
Islam menekankan berproduksi demi untuk memenuhi kebutuhan orang banyak, bukan hanya sekedar memenuhi
segelintir orang yang memiliki uang, sehingga memiliki daya beli yang lebih
baik, karena itu bagi Islam, produksi yang surplus dan berkembang baik secara
kuantitatif maupun kualitatif, tidak dengan sendirinya mengindikasikan
kesejahteraan bagi masyarakat. Apalah artinya produk yang menggunung jika hanya
bisa didistribusikan untuk segelintir orang yang memiliki uang banyak.
Sebagai modal dasar berproduksi, Allah telah menyediakan bumi beserta
isinya bagi manusia, untuk diolah bagi kemaslahatan bersama seluruh umat
manusia. Hal ini terdapat dalam surat Al-Baqarah: 22:
“Dialah yang menjadikan bumi sebagai
hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari
langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki
untukmu; Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal
kamu Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 22)
Al-Qur'an dan hadist Rasulallah SAW memberikan arahan
mengenai prinsip-prinsip produksi sebagai berikut:
1.
Tugas manusia di muka bumi adalah
memakmurkan bumi dengan ilmu dan amalnya
2.
Islam selalu mendorong kemajuan di
bidang produksi, tetapi Islam tidak membenarkan penuahan terhadap hasil karya
ilmu pengetahuan dalam arti melepaskan dirinya dari al-Qur'an dan hadist.
3.
Teknik produksi diserahkan kepada
keinginan dan kemampuan manusia. Nabi pernah bersabda: “Kalian lebih
mengetahui urusan dunia akhirat.”
4.
Dalam berinovasi dan
bereksperimen. Pada prinsipnya agama Islam menyukai kemudahan dan menghindari
mudarat dan memaksimalkan manfaat.[9]
E.
Perilaku Produksi
Seorang pengusaha muslim terikat
oleh beberapa aspek dalam melakukan produksi antara lain:
1.
Berproduksi merupakan ibadah.
Apapun yang Allah berikan kepada manusia sebagai sarana untuk menyadarkan atas
fungsi seorang muslim sebagai khalifah.
“Dia-lah
Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui
segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 29)
2.
Berusaha dengan mengoptimalkan
segala kemampuannya yang telah Allah berikan
3.
Seorang muslim yakin bahwa apapun
yang diusahakannya sesuai dengan ajaran Islam tidak membuat hidupnya menjadi
kesulitan
4.
Berproduksi bukan semata-mata
karena keuntungan yang diperoleh tetapi juga seberapa penting manfaat dari
keuntungan tersebut untuk kemaslahatan masyarakat.[10]
5.
Seorang muslim menghindari praktek
produksi yang mengandung unsur haram atau riba, pasar gelap dan spekulasi
sebagaimana firman Allah
“Dan kamu
akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat
dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang
mereka Telah kerjakan itu.” (Qs. Al-Maidah: 62)
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS.Ali Imran: 130)
F.
Macam-macam Produksi
Jika kita mengikuti “Isyarah atau petunjuk yang diberikan oleh al-Qur'an,
maka sistem perekonomian menurut ajaran Islam itu adalah berdasarkan pendekatan
produksi.[11]
Hal ini dapat dibaca di dalam firman Allah antara lain:
QS. Al-Ankabut ayat 17
“Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah
berhala, dan kamu membuat dusta. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu
tidak mampu memberikan rezki kepadamu; Maka mintalah rezki itu di sisi Allah,
dan sembahlah dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada- Nyalah kamu akan
dikembalikan.” (QS.
Al-Ankabut: 17)
QS. An-Najm ayat 39
“Dan bahwasanya
seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang Telah diusahakannya,” (QS. An-Najm: 39)
QS. Al-Balad ayat 4
“Sesungguhnya
kami Telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4)
Dari kandungan ayat diatas kita dapat mengetahui
macam-macam produksi
1.
Pertanian
Suatu petunjuk bahwa manusia itu harus mengusahakan pertanian, jika
keadaaan memungkinkan adalah dinyatakan dalam firman Allah:
“Dan dialah yang
menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma,
tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa
(bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang
bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik
hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
(QS. Al-An’am: 141)
2.
Peternakan
Bukan suatu kebetulan jika Nabi Besar Muhammad SAW dimasa remajanya sudah
ditakdirkan Allah hidup di tengah-tengah ternak, dan beliau sendiri ikut
sebagai gembala. Sebagaimana menurut firman Allah:
“Dan dia
Telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang
menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan.” (QS.An-Nahl: 5)
3.
Laut
Bumi kita menjadi dari daratan dan lautan. Bumi serta segala isinya
diamanatkan kepada manusia untuk mengelola dan memanfaatkannya untuk
kesejahteraan umat manusia. Firman Allah
“Dan
Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan
daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu
perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan
supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 14)
4.
Pertambangan
Seperti yang disebut dalam firman-Nya
“Sesungguhnya kami Telah mengutus rasul-rasul kami dengan
membawa bukti-bukti yang nyata dan Telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab
dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan kami
ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat
bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah
mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah
tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al-Hadid: 25)
5.
Kehutanan
Kehutanan merupakan salah satu nikmat Allah yang terbesar di negeri
Islam, terutama yang berada di khatulistiwa dan mempunyai fungsi yang penting
antara lain: memproduksi kayu, dll.
6.
Industri
Allah telah memberikan “Isyarah tentang akan terjadinya kegiatan industri
pada manusia, seperti yang dinyatakan di dalam firman Allah:
“Dan Telah
kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu
dalam peperanganmu; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah).” (QS. An-Anbiya: 80)
KESIMPULAN
Dari berbagai pengertian produksi di dalam makalah, maka bisa disimpulkan
bahwa kepentingan manusia yang sejalan dengan moral Islam, harus menjadi focus
atau target dari kegiatan produksi. Produksi adalah proses mencari,
mengalokasikan dan mengolah sumber daya menjadi output dalam rangka memenuhi
kesejahteraan bagi manusia dan dapat disimpulkan kaidah-kaidah berproduksi
dalam Islam adalah
1
Memproduksi barang dan jasa yang
halal pada setiap produksi
2
Mencegah kerusakan di muka bumi
3
Kebutuhan yang harus dipenuhi
harus berdasarkan prioritas yang ditetapkan agama
4
Meningkatkan kualitas sumber daya
manusia baik kualitas spiritual maupun mental dan fisik
5
Tidak menjadikan maksimalisasi
keuntungan menjadi tujuan utama
Islam sangat menghargai usaha, terlepas bagaimana hasilnya pada
“Maka barang siapa yang mengerjakan amal saleh, sedang ia
beriman, Maka tidak ada pengingkaran terhadap amalannya itu dan Sesungguhnya
kami menuliskan amalannya itu untuknya.” (QS. An-Anbiya:
94)
Kewajiban kita berikhtiar sedangkan hasilnya terserah Allah.
[1] Ilfi Nur
Diana, Hadist-Hadist Ekonomi, (Malang: UIN Malang, 2008), h. 36
[2] Mustafa
Edwin Nasution, Ekonomi Islam, (Perdana Media Group, 2006), h.
102
[3] Heri
Sudarsono, Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), h. 102
[4] Ibid,
h. 103
[5] Ilfi Nur
Diana , Op. Cit, h. 34
[6] Musatafa
Edwin Nasution, Op. Cit,
h. 105
[7] Mochtar
Effendi Al-Mukhtar, Ekonomi Islam, (Palembang: 1996), h. 42
[8] Ilfi Nur
Diana , Op. Cit, h. 42
[9] Mustafa
Edwin Nasution, Op. Cit, h. 110
[10]
Burhanuddin Abdullah, Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2008), h. 190
[11] Mochtar
Effendy Al-Mukhtar, Op. Cit, h. 57
Tidak ada komentar:
Posting Komentar