Kamis, 22 Maret 2012

MUNASABAH AL-QUR'AN


A.    Pengertian dan Sejarah Ilmu Munasabah
Secara etimologis, al-munasabah berarti al-musyakalah dan al-mudarabah yang berarti “saling menyerupai” dan “saling mendekati”. Secara terminologis, al-munasabah berarti adanya keserupaan dan kedekatan antara berbagai ayat, surat dan kalimat yang mengakibatkan adanya hubungan-hubungan tersebut bisa berbentuk keterkaitan makna ayat-ayat dan macam-macam hubungan atau keniscayaan dalam pikiran, seperti hubungan sebab dan musabab, hubungan kesetaraan, dan hubungan perlawanan, munasabah juga dapat dalam bentuk penguatan, penafsiran dan penggantian.
Tercatat dalam sejarah bahwa Imam Abu Bakar al-Naisaburi (w. 324 H) sebagai orang pertama melahirkan ilmu munasabah di Baghdad. Syekh ‘Izzuddin ibn ‘Abd al-Salam (w. 660 H) menilai munasabah sebagai ilmu yang baik.[1] Menurut al-Suyuthi (w. 991 H) orang yang pertama melahirkan ilmu munasabah al-Qur'an adalah Syeikh Abu Bakar al-Naisaburi, apabila al-Qur'an dibacakan kepadanya, ia bertanya mengapa ayat ini ditempatkan di samping ayat sebelahnya dan apa hikmah surat ini ditempatkan di samping surat sebelahnya. Bahkan, ia mencela para ulama Baghdad karena mereka tidak mengetahui ilmu munasabah.
Abu Ja’far ibn al-Jubair Syeikh Abi Hayyan secara khusus menyusun sebuah kitab mengenal munasabah ayat-ayat dan surat-surat al-Qur'an dengan judul al-Burhan fi Munasabah Tartib Suwar al-Qur'an, kemudian Syeikh Buhran an-Din al-Biqa’i menyusun kitab dalam bidang yang sama dengan judul Nuzum al-Durar fi Tanasabu al-Ayi wa al-Suwar akan tetapi menurut al-Suyuthi, mufasir yang paling banyak membahas munasabah adalah Fakhr al-Din al-Razi (w. 606 H) dengan tafsirnya yang berjudul Mafatih al-Gaib fi Tafsir al-Qur'an.[2] Tampaknya, M. Quraish Shihab keberatan dengan ketarangan al-Suyuthi terakhir ini, ia mengaku bahwa al-Razi banyak membahas munasabah, tetapi al-Biqa’i lebih banyak membahasnya dalam kitabnya tersebut di atas.
B.     Urgensi Ilmu Munasabah
Dan perhatikan para ulama terhadap penjelasan hubungan antara surat sangat besar sekali. Dalam hal menentukan hubungan antara surat-surat dengan surat didasarkan atas susunan surat yang mutlak dari Rasul, dan para ulama berselisih pendapat dalam hal ini, maka mengambil kesimpulan dengan segi-segi yang berhubungan secara kritis.
Kebutuhan para ulama didasarkan atas belum berkembangnya pembahasan ilmu ini secara sempurna. Kebanyakan pembahasan ahli-ahli ilmu al-Qur'an masih memasukan munasabah ke dalam bagian sebab nuzul.
Penulis telah membuka kitab Manahilul Irfan karya Imam Zardani tetapi tidak dapat menemukan tema munasabat dalam dua jilid buku tersebut. Oleh karenanya penulis sementara berkesimpulan bahwa pembahasan tentang ilmu munasabah ini belum terlalu banyak dan perlu dikembangkan secara modern. Penulis juga berpendapat bahwa perlunya membahas secara lebih menadalam ilmu ini untuk menganalisa lebih mendalam hubungan antara satu ayat maupun surat dengan melaporkan tafsir dengan metode ini mulai digandrungi oleh penulis-penulis tafsir kontemporer dan hal tersebut merupakan angin segar bagi pengembangan ilmu ini.
C.    Macam-macam Munasabah
Pertama, bahwa hubungan antar kata atau ayat kadang nyata, karena keduanya saling berkaitan, ketiadaan salah satunya menghilangkan kesempurnaan. Kedua, antara kata dengan kata atau ayat dan ayat kadang tidak terlihat adanya hubungan, seakan-akan setiap ayat itu bebas dari ayat lain. Ini tampak dalam dua model. Pertama, hubungan itu ditandai dengan huruf athaf (kata penghubung) seperti dalam ayat:

Artinya: “Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke luar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. dan Dia-lah yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun” (QS. Saba [34]: 2)
Huruf athaf pada ayat pertama (wawu) menunjukan keserasian yang mencerminkan perbandingan, huibungan yang tidak menggunakan huruf athaf membutuhkan penyokong yang menjadi bukti keterkaitan kalam (ayat-ayat) berupa pertalian secara maknawi, hal ini ada tiga jenis, pertama, tanzhur, yakni hubungan yang mencerminkan perbandingan misalnya, ayat “kana akhrajaka, rabbuka min baitika bilhaqq” (QS 8: 5).
Kedua, terhadap munasabah antar satu surat dengan surat lain. Seperti pembukaan surat dengan surat lain, seperti pembukaan surat al-An’am dengan al-hamdu sesuai dengan penutup surat al-Maidah dengan menerangkan tentang keputusan sikap hamba kepada Tuhan.
D.    Munasabah antar Ayat dan Surat[3]
a.       Munasabah antar surat
Jika dalam mengkaji munasabah antar surat dan ayat, ulama berangkat dari pertanyaan tentang tujuan di balik penempatan satu ayat dengan ayat lain, dan penempatan satu ayat dengan ayat lain, dan penempatan surat dengan surat lain maka wajar apabila mereka berusaha menciptakan hubungan-hubungan umum antara surat, pertama-tama, dari sisi isi. Sudah barang tentu apabila surat al-Fatihah (yang membuka) atau meskipun secara tersirat-semua bagian al-Qur'an. Ia sebagai pembuka atau gerak pertama dalam nyanyian simponi, harus memberikan indikasi bagi gerak-gerak berikutnya. Atas dasar ini, ilmu-ilmu al-Qur'an dapat diringkas dalam tiga bagian, yang masing-masing sebagai pengantar dan pembukaan ditunjukkan oleh surat al-Fatihah. Dengan cara demikian, surat ini mendapatkan kedudukannya sebagai “induk al-kitab”.[4]
“Oleh karena itu, dikatakan bahwa makna ucapan Nabi SAW: qul huwa Allah ahad sama dengan seperti al-Qur'an, artinya sama dengan masalah pahala. Ini merupakan anugerah Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Ada yang menyatakan: sepertiga kandungan al-Qur'an sebab al-Qur'an terdiri dari tiga bagian seperti yang telah kami sebutkan di atas surat ini memuat bagian tauhid”.[5]
b.      Munasabah antar ayat
Jika kajian mengenai munasabah antar surat, seperti yang telah kita lihat. Berusaha membangun kesatuan umum bagi teks yang didasarkan pada berbagai macam hubungan yang kebanyakan bercorak “interpretatif”. Kajian mengenai munasabah antar ayat secara langsung menggiring kita ke dalam inti kajian kebahasaan terhadap mekanisme teks. Penting untuk diperhatikan bahwa ilmu munasabah tidak mengkaji hubungan-hubungan eksternal, dan tidak pula didasarkan pada bukti-bukti di luar teks. Teks dalam ilmu ini merupakan bukti itu sendiri. Tekslah yang menegaskan norma-norma hubungannya berdasarkan struktur bahasanya, rasional, dan persepsi. Hal itu tidak berarti bahwa hubungan-hubungan tersebut bersifat “objektif” yang terpisah dari gerak akal pembaca dan mufassir, tetapi ia merupakan hubungan yang muncul dari dialektika pembaca dengan teks dalam proses pembacaan.[6]
Pada dasarnya, konsep “kesatuan” terus berasal dari persoalan I’jaz yaitu sebuah persoalan sebagian besar, sebagaimana yang telah kami singgung dalam bab sebelumnya, bersumber dari perbedaan antara yang mengatakan teks –Allah- dengan pembicaraan-pembicaraan selainnya. Oleh karena itu, ulama ilmu munasabah berusaha menghindari pembicaraan tentang munasabah antar ayat, yang aspek keterkaitan antara ayat sangat jelas, seperti:
“Apabila yang kedua terhadap yang pertama merupakan bentuk penegasan, penafsiran, atau bantahan dan tekanan”.
Mereka juga menghindari pembicaraan mengenai contoh-contoh yang di dalamnya terhadap ayat yang dihubungkan (di-athaf-kan) dengan ayat sebelumnya, sementara aspek hubungan antara keduanya didasarkan pada aspek penyatuan.[7]
E.     Munasabah antar Awal Surat dengan Akhir Surat yang Sama
Untuk munasabah semacam ini, as-Suyuthi telah mengarang sebuah kitab yang berjudul Marasid al-Mathali fi Tanasabu al-Maqatiwa al-Mathal’i: contoh munasabah ini terdapat dalam surat al-Qashshah (28) yang diawali dengan penjelasan perjuangan Nabi Musa ketika berhadapan dengan kekejaman Fir’aun. Atas perintah dan pertolongan Allah, Nabi Musa keluar dari Mesir setelah mengalami berbagai tekanan. Dalam awal surat ini juga dijelaskan bahwa Nabi Musa tidak akan menolong orang yang kafir. Pada akhir surat, Allah menyampaikan kabar gembira pada Nabi Muhammad SAW yang menghadapi tekanan dari kaumnya, dan janji Allah atas kemenangannya. Munasabah di sini terletak dari sisi kesamaan kondisi yang dihadapi kedua Nabi tersebut.


DAFTAR PUSTAKA


Abdul Wahid, Ramli, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002)

Hamid, Shalahuddin, Study Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT. Nusantara Lestari Ceria Pratama, 1 Juli 2002)

Chirzin, Muhammad, Al-Qur'an dan Ulum al-Qur'an, (Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998)

Anwar, Rosihan, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2004)

Zaid, Abu Hamid Nasr, Tekstualisasi al-Qur'an, (Yogyakarta: LKSI Yogyakarta, November 2001)



[1] Al-Zarkasy, Muhammad Ibn ‘Abdillah, Op. Cit., h. 36-37
[2] Ibid.,
[3] Al-Zarkasy, Op. Cit., Juz I, h. 37
[4] Ibid., h. 36
[5] Ibid., h. 40
[6] Ibid.,
[7] Daia’il al-I’jaz, h. 230

Tidak ada komentar:

Posting Komentar