MAKALAH
QIYAS
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas individu
Pada
mata kuliah “Ushul Fiqih”
Disusun
Oleh
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
“SULTAN MAULANA HASANUDDIN” BANTEN
2012
M / 1433 H
KATA PENGANTAR
بسم
الله الرّحمن الرّحيم
Syukur
Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya
yang telah diberikan. Hanya dengan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah
ini. Shalawat dan Salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW, keluarga, sahabat dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Dengan
pertolongan Allah dan usaha yang sungguh-sungguh penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul : “Qiyas”
Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini, masih jauh dari bentuk
kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan berbagai kritik dan juga saran
yang positif dari berbagai pihak atas segala kekurangan dan kesalahannya.
Semoga
menjadi setitik sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang sangat luas,
selain itu semoga makalah ini menjadi amal ibadah yang ditempatkan di sisi
Allah SWT. Amin…
Serang,
Januari 2012
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN.......................................................................... 1
BAB II QIYAS........................................................................................... 2
A. Pengertian Qiyas.................................................................................... 3
B. Operasional Qiyas.................................................................................. 3
C. Rukun Qiyas.......................................................................................... 3
D. Qiyas Sebagai Sandaran Ijma’............................................................... 4
E. Kehujjahan Qiyas dan Pendapat Para Ulama........................................ 4
F. Kehujjahan Qiyas dalam Hukum dan Perbedaan Metode Pengambilan
Hukum................................................................................................... 7
G. Perbedaaan pendapat tentang illat di kalangan jumhur dan
Pengaruhnya........................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Di dalam Islam, umat Islam di ajarkan akan suatu ajaran aqidah dan
syari’ah. Di dalam suatu ajaran aqidah Islam, kita di ajarkan untuk meyakini
akan kebenaran adanya Allah, malaikat, kitab-kitab-Nya dan utusan-utusan Allah,
serta meyakini akan adanya hari akhir, qodho dan qhodar, yang semuanya ini di
ajarkan di dalam rukun Iman. Selain dari pada itu Islam mengajarkan akan hokum
(syari’ah Islam) yang mana dalam permasalahan hukum ini terdapat beberapa
pendapat yang di ungkapkan oleh para ulama, sehingga dalam permasalahan hukum
ini para ulama menggunakan hukum Qiyas sebagai landasan ijma. Dalam memutuskan
suatu masalah. Sehingga suatu hukum yang mulanya dianggap kurang di fahami
sehingga menimbulkan beberapa pendapat, maka disinilah ijma dan Qiyas akan di
pakai oleh para ulama. Sehingga akan menghasilkan suatu kesepakatan hukum yang
dapat di terima oleh semua kalangan (umat Islam) dalam makalah ini akan di
terangkan apa itu Qiyas dan bagaimana rukun Qiyas.
BAB II
QIYAS
A. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan
yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya. Ulama ushul fiqih
memberikan definisi yang berbeda-beda bergantung pada pandangan mereka terhadap
kedudukan qiyas dalam istinbath hukum. Dalam hal ini, mereka
terbagi dalam dua golongan berikut ini.
Golongan pertama, menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia, yakni pandangan mujtahid.
Sebaliknya, menurut golongan kedua, qiyas merupakan ciptaan syari’.
Yakni merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan hujjat
ilahiyah yang dibuat syari’ sebagai alat untuk mengetahui suatu
hukum. Qiyas ini tetap ada, baik dirancang oleh para mujtahid ataupun
tidak. (Abdul Hakim, 1986:22-24)
Bertitik tolak pada pandangan masing-masing ulama tersebut
maka mereka memberikan definisi qiyas sebagai berikut:
1. Shadr Asy-Syari’at menyatakan bahwa qiyas adalah pemindahan
hukum yang terdapat pada ashl kepada furu’ atas dasar illat
yang tidak dapat diketahui dengan logika bahasa.
2. Al-Human menyatakan bahwa qiyas adalah persamaan hukum
suatu kasus dengan kasus lainnya karena kesamaan illat hukunnya yang
tidak dapat diketahui melalui pemahaman bahasa secara murni.
Sebenarnya, masih banyak definisi
lainnya yang dibuat oleh para ulama, namun secara umum qiyas adalah suatu
proses penyingkapan kesamaan hukum suatu kasus yang tidak disebutkan dalam
suatu nash. Dengan suatu hukum yang disebutkan dalam nash karena
adanya kesamaan dalam illat-nya
B. Operasional Qiyas
Operasional penggunaan qiyas dimulai dengan
mengeluarkan hukum yang terdapat pada kasus yang memiliki nash. Cara ini
memerlukan kerja nalar yang luar biasa dan tidak cukup hanya dengan pemahaman
makna lafazh saja. Selanjutnya, mujtahid mencari dan meneliti ada
tidaknya illat tersebut pada kasus yang tidak ada nash-nya.
Apabila ternyata ada illat itu, faqih
menggunakan ketentuan hukum pada kedua kasus itu berdasarkan keadaan illat.
Dengan demikian, yang dicari mujtahid di sini adalah illat hukum
yang terdapat pada nash (hukum pokok)
Selanjutnya, jika illat tersebut ternyata
betul-betul terdapat pada kasus-kasus lain, yang tampak bagi mujtahid adalah
bahwa ketentuan hukum pada kasus-kasus itu adalah satu, yaitu ketentuan hukum
yang terdapat pada nash (makhushs alaih) menjalar pada kasus-kasus lain
yang tidak ada pada nash-nya.
C. Rukun Qiyas
Dari pengertian qiyas yang dikemukakan di atas dapat
disimpulkan bahwa unsur pokok (rukun) qiyas terdiri atas empat unsur
yang berikut:
1. Ashl (pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya
yang dijadikan tempat meng-qiayas-kan. Ini berdasarkan pengertian ashl
menurut fuqaha. Sedangkan ashl menurut hukum teologi adalah suatu
nash syara’ yang menunjukan ketentuan hukum, dengan kata lain, suatu
nash yang menjadi dasar hukum. Ashl itu disebut juga maqis alaih
(yang dijadikan tempat meng-qiyas-kan), mahmul alaih (tempat
membandingkan), atau musyababah bih (tempat menyerupakan).
2. Far’u (cabang) yaitu peristiwa yang tidak ada nash-nya.
Far’u itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashl. Ia
disebut juga maqis (yang dianalogikan) dan musyababah (yang
diserupai)
3. Hukum Ashl, yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu
nash.
4. Illat, yaitu suatu sifat yang terdapat ada ashl.
Dengan adanya sifat itulah, ashl mempunyai suatu hukum. Dan dengan sifat
itu pula, terdapat cabang, sehingga hukum cabang itu disamakanlah dengan hukum ashl.
D. Qiyas Sebagai Sandaran Ijma’
Para ulama berbeda pendapat tentang qiyas apabila
dijadikan sandaran ijma’. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa qiyas
itu tidak sah dijadikan dasar ijma’. Dengan argumen bahwa ijma
itu qath’i sedangkan dalil qiyas adalah zhanni. Menurut
kaidah, yang qath’i itu tidak sah didasarkan pada yang zhanni
Para ulama yang menyatakan bahwa qiyas sah dijadikan
sandaran ijma’. Berargumen bahwa hal itu telah sesuai dengan pendapat
sebagian besar ulama. Juga dikarenakan qiyas itu termasuk salah satu dalil syara’
maka sah dijadikan landasan ijma’ sebagaimana dalil-dalil syara’
lainnya.
Para sahabat setelah wafatnya Nabi besar Muhammad SAW
berbeda pendapat tentang siapa yang akan dijadikan penggantinya sebagai
khalifah. Kemudian mereka memilih Abu Bakar As-Shiddiq, karena ketika beliau
sakit keras, Rasulullah senantiasa mewakilkan Abu Bakar untuk menjadi imam
Shalat.
Penunjukan Abu Bakar sebagai imam di-qiyas-kan pada
penunjukan beliau sebagai khalifah dan hal itu disepakati oleh semua sahabat.
Dengan demikian, jelaslah bahwa qiyas
merupakan landasan hukum bagi ijma’. Adapun mereka yang menyatakan ijma’
itu adalah dalil qath’i, sedangkan qiyas adalah dalil zhanni
tidak bisa diterima, karena dijadikan sandaran ijma’. Qiyas yang
tadinya berupa dalil zhanni, setelah ada ijma maka akan jadi qathi
karena berubah dari pendapat individu menjadi pendapat jamaah.
E. Kehujjahan Qiyas dan Pendapat Para Ulama
Telah terjadi perbedaan dalam berhujjah dengan qiyas, ada
yang membolehkannya, ada yang melarangnya, diantara contohnya adalah kifarat
bagi yang berbuka puasa dengan sengaja di bulan Ramadhan.
Bagi mereka yang sengaja berbuka pada bulan Ramadhan,
apakah diwajibkan kifarat sebagaimana diwajibkan kifarat bagi yang sengaja
berbuka puasa dengan ijma,?
Menurut pendapat Malik, Abu Hanifah dan para penganut
keduanya, Tsauru, serta sebagian jemaah, bahwa perbuatan tersebut wajib diganti
dengan qadha dan kifarat, berdasarkan hadis Rasulullah SAW:
جاَءَرَجُلٌ
اِلَى انَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَمْ فَقَالَ: هَلَكْتُ يَارَسُوْلُ
اللهِ, قَلَ: وَمَا اَهْلَكَكَ؟ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى اِمْرَأَتِى فِى رَمَضَانَ
قَالَ: هَلْ تَجِدُ مَا تَعْتِقُ رَقَبَةً ؟ قَالَ: لاَ, قَالَ: هَلْ تَسْتَطِيْعُ
اَنْتَصُوْمَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ: لاَ, قَالَ: هَلْ تَجِدُ مَاتُطْعِمُ
سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا؟ قَالَ: لاَ, ثُمَّ جَلَسَ فَأَ تَى النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيْهِ تَمَرٌ قَالَ: خُدْ تَصَدَّقْ بِهَدَا. قَالَ:
فَهَلْ عَلَى اَفْقَرَ مِنَّا ؟ فَوَاللهِ ماَ بَيْنَ لاَ بَتَيْهَا اَهْلَ بَيْتِ
اَحْوَجٌ اِلَيْهِ مِنَّا فَضَحِكَ النَّبِيَ صَلًّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمْ
حَتَّى بَدَتْ اَنْيَا بُهُ وَقَالَ: اِذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ اَهْلَكَ. (رواه البخاري
ومسلم)
Artinya:
“telah
datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW, ia berkata, “celakalah aku ya
Rasulullah.” Rasulullah bersabda, “celaka kenapa?” “aku telah bersetubuh dengan
istriku pada bulan Ramadhan”. Rasulullah bersabda, “apakah kamu memiliki
sesuatu untuk memerdekakan abid?” ia menjawab, “tidak”. Nabi bertanya lagi,
“mampukah kamu untuk berpuasa dua bulan berturut-turut?” dia menjawab, “tidak”.
Nabi bersabda lagi, “apakah kamu mempunyai sesuatu untuk disedekahkan kepada
orang miskin? Dia menjawab, “tidak” kemudian dia duduk, lalu Nabi memberikan
kepadanya karung yang didalamnya terdapat kurma, “bersedekahlah kamu dengan
ini!”. Dia bertanya, “apakah aku harus menyedekahkah kepada orang yang lebih
miskin dariku, padahal tidak satu keluargapun dikampungku yang lebih
membutuhkan dari keluargaku.” Nabi tertawa dan berkata, “pergilah dan berilah
keluargamu dengan makanan tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mereka berhujjah dengan meng-qiyas-kan makan dan
minum dengan ijma’. Adapun illat-nya menurut mereka adalah
merusak kesucian bulan Ramadan.
Adapun golongan zahir tidak mewajibkan kifarat kepada orang
yang puasanya batal disebabkan makan dan minum dengan sengaja, mereka
berpendapat bahwa hadis tersebut menerangkan tentang jima’ pada bulan
Ramadahan, bukan menerangkan setiap yang membatalkan puasa.
Golongan Syafi’i dan hambali sependapat dengan pendapat
zahir di atas, yakni tidak adanya kifarat. Hal ini tidak berarti mereka itu
tidak menggunakan qiyas, tetapi berpendapat bahwa illat seperti itu tidak
cocok. Menurut pendapat mereka, hadis tersebut hanya cocok untuk jima’, Tidak
untuk selainnya.
Untuk lebih jelasnya, imam Syafi’i telah membahas dalam
kitab al-Umm; “tidak wajib berkifarat bagi mereka yang sengaja berbuka puasa
selain karena dengan ber-jima’, baik itu minum, makan, dan sebagainya.
Adapun kepada sebagian orang yang berpendapat bahwa wajib kifarat bila mereka
berbuka dengan minum, makan dan sebagainya, Syafi’i menjawabnya, “sunah hanya
menerangkan tentang jima’, maka dari siapakah sumbernya yang mengatakan
bahwa membatalkan puasa dengan makan dan minum wajib kifarat? Mereka menjawab,
“kami berpendapat demikian dengan meng-qiyas-kan kepada jima’.
Imam Syafi’i bertanya kembali, “apakah sama antara makan dan minum dengan jima’
sehingga boleh meng-qiyas-kannya? Mereka menjawab, “Ya! Karena sama-sama
diharamkan dan membatalkan puasa. Dikatakan kepada mereka, “apakah setiap yang
membatalkan puasa diharuskan mengganti dengan kifarat? Mereka menjawab “Ya”.
Kemudian dikatakan kepada mereka, “bagaimana dengan orang yang minum obat?
Jawabanya, “tidak ada kifarat dalam hal seperti itu, karena hal itu tidak
menyegarkan badan. Imam Syafi’i berkata, “kalian meng-qias-kan makan kepada
jima’ yang diharamkan berbuka dengannya, tetapi tidak meng-qiyas-kannya pada
minum obat dengan alasan bahwa hal itu tidak menyegarkan badan. Kalau begitu,
maka memakan sedikit dari buah-buahan tidaklah membatalkan dan tidak wajib
kifarat. Karena tidak menyegarkan badan. Bila kita kembali kepada pembahasan
fiqih jelaslah bahwa jima’ itu mengurangi kekuatan badan, yakni mengeluarkan
sesuatu yang mememahkan badan, dan bukan memasukan sesuatu, bagaimana kalian
meng-qiyas-kan sesuatu yang menambahkan kekuatan badan dengan sesuatu yang
mengurangi kekuatan badan, bahkan jima itu tidaklah membyat kenyang, tetapi
membuat lapar. Jadi, qiyas seperti itu dianggap tidak sah.
F. Kehujjahan Qiyas dalam Hukum dan Perbedaan Metode Pengambilan
Hukum
Masalah ini termasuk hal yang
tidak boleh dikesampingkan dalam pembahasan qiyas. Dan tidak berarti bahwa
untuk menghindari berhujjah dapat dilakukan dengan qiyas. Sebenarnya, para
pembicara setiap menyampaikan hukum dengan metode qiyas harus menyebutkan pula
orang yang tidak berhujjah dengan qiyas dan mengembalikan semua pada hukum.
Dalam beberapa keadaan terjadi,
dua kubudalam penetuan hukum, yang berbeda dalam metode untuk mencapai
ketetapan hukum tersebut. Orang-orang yang menganut adanya qiyas menetapkan
hukum dengan qiyas. Sedangkan mereka yang tidak mengakui adanya qiyas ternyata
menggunakan ketetapan hukum yang sama, tetapi dengan metode yang berbeda.
Berikut ini akan diterangkan beberapa permasalahan untuk lebih memperjelaskan
hal tersebut.
Ibnu Hazm berkata, “mereka telah
berhujjah dengan firman SWT. Surat An-Nur ayat: 4
Artinya:
“mereka yang
telah menuduh wanita-wanita yang sudah menikah (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi maka deralah mereka dengan 80 kali dera dan
janganlah kamu terima persaksian mereka selamanya” (QS. An-Nur :4)
Nash tersebut menerangkan tentang
hukum dera bagi mereka yang menuduh zina kepada wanita-wanita yang sudah
berkeluarga. Dan hukuman tersebut diberikan jiuga kepada orang yang menuduh
laki-laki berzina. Metode seperti itu adalah qiyas.
Abu muhammad berkata, “kami
mewajibkan untuk mendera penuduh laki-laki berzina sebagaimana disebutkan dalam
Al-Qur’an dan Sunah. Jika tidak terdapat nash yang jelas, maka kami, tidak
menetapkan melalui metode qiyas. Seandainya kami menggunakan metode qiyas-pun
maka hasilnya tidak sama dengan mereka. Dan di bawah ini kami terangkan
bagaimana metode kami:
Firman Allah SWT. Dalam surat
An-Nur ayat 4, tersebut adalah umum. Tidak boleh di-takhsish kecuali harus
dengan nash atau ijma’ mungkin maksud Allah adalah wanita-wanita yang sudah
menikah atau laki-laki yang sudah menikah. Hal seperti itu tidaklah termasuk munkar
dalam bahasa dimana Al-Qur’an diturunkan, Allah berfirman dalam surat An-naba
ayat 14:
Artinya: “Dan kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah,”
Yang dimaksud mushirat dalam ayat di atas
adalah ashhab. Maka maksud Al-mushsonat dalam surat An-Nur
tersebut adalah furuj-furuj yang sudah menikah. Padahal kamu semua
mengartikannya sebagai wanita yang sudah menikah. Dan kami memperkuat pendapat
tersebut dengan dalim yang jelas.
Sesungguhnya furuj itu lebih umum dari pada
wanita. Dan dimaklumkan bahwa furuj adlah alat penghubung antaraseorang
laki-laki dengan perempuan, dengan menjelaskan firman Allah SWT. Dalam surat
Al-Mu’minun ayat 5-6:
“Dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka
miliki Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa”
Pada
ayat lain yaitu surat An-Nur:31. Allah berfirman
“Katakanlah kepada wanita
yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau
ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka,
atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki
mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam,
atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (QS.
An-Nur: 31)
Dengan ayat-ayat di atas sahlah
bahwa ayat tersebut sebagai perintah untuk mendera laki-laki ayang mukhsan
dengan dalil-dalim Al-Qur’an
Dengan demikian, maka dapatlah
dilihat bahwa hukuman mendera untuk orang yang menuduh berzina kepada yang
sudah menikah adalah melalui dua metode yang berbeda.
G. Perbedaaan pendapat tentang illat di kalangan jumhur dan
pengaruhnya
Telah dibahas perbedaaan pendapat
antara penerima dan penolak qiyas, yang telah menghasilkan beberapa faedah.
Sekarang akan dibahas mengenai jumhur yang mengakui adanya qiyas dan ta’lil. Di
kalangan jumhur sendirin, sebenarnya terjadi perbedaan pendapat yang cukup
sengit dalam sebagian hukum. Perbedaan pendapat di kalangan mereka terutama
berkaitan dengan ilat, yang mempunyai faedah yang banyak. Hal itu telah
menghasilkan perbedaan sangay besardalam masalah furu’. Mungkin juga perbedaan
tersebut yang mendorong para penolak qiyas untuk tidak mengakui adanya qiyas,
sebagaimana telah dijelaskan.
DAFTAR PUSTAKA
Syafei, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung:
Pustaka Setia Bandung, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar