1.
Ibn Khaldun
Ibn kaldun, salah seorang sejarawan
muslim yang terkenal, membawa bentuk yang berbeda dalam penulisan sejarah. Bagi
ibn kaldun, seajarah tidak hanya di ungkapkan secara faktual, namu juga dapat di lihat hubungan kausal antara
setiap peristiwa sejarah. Dan menurutnya juga, sebuah peristiwa sejarah harus
di lihat dari berbagai aspek, seperti aspek ekonomi, politik, sosial, agama,
dan lain sebagainya.
Dengan tampilnya ibn khaldun sebagai
tokoh yang berbeda dari pendahulunya, telah menimbulkan spekulasi dan kritik
dari sebagian sejarawan, terutama dari kalangan sejarawan barat. Karena, dalam
anggapan mereka terdapat pertentangan yang tajam antara Ibn Khaldun dan penulis
sejaraha sebelumnya yang dianggap terbelakang. Karena perbedaan tersebut, ada yang
menggambarkan Ibn Khaldun sebagai pendiri ilmu masyarakat modern ilmu abad
sebelum auguset comte dan emil durkheim.
Riwayat Hidup Ibn Khaldun
Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah
waliyuddin ‘Abd al-Ramhan Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Abi Bakar Muhammad Ibn
Al-Hasan Ibn Khaldun. Dia lahir di Tunisia di awal bulan Ramdhan 732 H
(27 Mei 1333 M) wafat di Kairo tanggal 25 Ramadhan 808 H (19 Maret 1406 M).
Keluarganya berasal dari Hadhramaut dan
silsilahnya sampaikan kepada seorang sahabat Nabi yang bernama Wayl Ibn Hujr
dari kabilah kindah. Salah seorang cucu Wayl, khalid bin Ustman memasuki daerah
Andalusia bersama orang-orang arab penakluk di
awal abad ke-13 H. Anak cucu khalid membentuk satu keluarga yang besar dengan
nama Bani Khaldun. Dari Bani inilah nama Ibn Khaldun berasal. Bani khaldun ini
pertama kali berkembang di kota Qarmunah di Andalusia di kota ini bintang bani
Khaldun mulai bersinar karena beberapa anggota keluarga bani Khaldun menduduki
jabatan penting.
Secara umum kehidupan Ibn khaldun dapat
di bagi menjadi empat fase yaitu :
-
Pertama, fase kelahiran,
perkembangan dan studi fase ini berlansgung sejak kelahiran sampai usia 20
tahun. Pada tahun 732 / 1332 M hingga tahun 751 H / 1350 M.
-
Kedua, fase bertugas di
pemerintahan dan terjun ke dunia politik di maghrib dan Andalusia
pada tahun 751 H / 1350 M sampai tahun 776 H / 1374 M.
-
Ketiga, fase pengarangan, ketika
dia berfikir dan berkontemplasi di Benteng Ibn Salmah milik Banu Arif dari
tahun 776 H/ 1374 M – 784 H / 1382 M.
-
Keempat, fase mengajar dna
bertugas sebagai hakim negeri di Mesir dari tahun 784 H / 1382 M sampai wafat
tahun 808 H / 1406 M.
Sejarah, Histogiografi dan Filsafat Sejarah
Sebelum kita masuk kepada focus pembahasan tentang filasafat
sejarah Ibn Khaldun, terlebih dahulu perlu di terangkan apa yang dimaksudkan
dengan sejarah, historiografi dan filsafat sejarah.
Kata sejarah berasal dari bahasa arab: syajaratun
yang artinya adalah pohon. Kata ini di serap oleh bahasa melayu dengan
bentuk yang sama (sejarah) diperaktikan pada abad ke-13 M. dan akhirnya
kata inilah yang sering di pakai dalam bahasa Indonesia untuk menggambarkan
kajian tentang hal-hal yang telah lampau.
Suryanegara menganalogikan pohon (yang
terdiri dari akar, batang, dahan ranting, dsb) dengan silsilah ataupun
asal-usul manusia. Dengan penganalogian bahwa pohon dan kehidupan manusia
sama-sama di mulai dari biji (kecil) menjadi batang pohon yang rindang (besar).
Kata sejarah juga mempunyai kata yang
identik sama, tarikh yang berasal dari bahasa arab yang berarti pengaggalan
atau pentapan tanggal. Disamping itu, dalam bahasa daerah juga terdapat kata
yang menggambarkan makna yang sama dengan sejarah, seperti kata babad dan
tambo. Kedua kata ini lebih menunjukkan ciri kedaerahan. Babad menunjukan ciri
daerah Jawa. Sedangakn kata tambo menunjukkan unsur minangkabau.
Sedangkan lorens bagus mengemukakan
sejarah dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, sejarah berarti
setiap kejadian/peristiwa. Sedangkan dalam arit sempit sejarah adalah yang
dapat dijelaskan dengan sebab-sebab yang efisien. Maksudnya adalah
peristiwa-peristiwa manusia yang mempunyai akar dalam realisasi diri dengan
kebebasan dan keputusan daya rohani.
Pada mulanya, sejarah terdapat dalam
pikiran para sejarawan, orang yang menghapal sejarah yang selalu di sampaikan
dengan metode lisan. Kemudian penulisan sejarah tersebut di pelajari dalam
sebuah studi khusus yang disebut dengan historiografis. Sebuah sejarah
(peristiwa sejarah) berbeda dengan historiografis.
Secara umum, historiografi adalah sebuah
studi sistematis tentang sejarah penulisan sejarah (the history of
thistorical writing). Historiografi tidak berhubungan langsung dengan
sebuah peristiwa sejarah. Karena historiografi hanya mencurahkan perhatianya
pada karya-karya sejarah yang telah ada. Historiografi tidak mempersoalkan
apakah sebuah sejarah yang di sebuah sejarah itu subjektif atau objektif. Yang
jadi fokus dalam historiografi adalah bagaimana persepsi, interpretasi dan
metode sejarah yang di gunakan oleh seorang penulis sejarah. Tanpa menghakimi sejarah
yang di tulisnya.
Berbeda dengan sejarah dan
historiografi, filsafat sejarah melangkah lebih jauh kepada hal-hal yang lebih
mendasar dari persoalan sejarah. Persoalan yang mendasar disini bukan berkaitan
dengan latar belakang penulisan sejarah dan alasan penulisan sebuah sejarah,
melainkan melihat setiap peristiwa sejarah dari segi logis dan tidak logisnya,
benar atau salahnya sebuah sejarah menurut ukuran filosuf sejarah itu sendiri.
Filsafat sejarah ditemukan oleh Voltaire
pada abad ke-18 M. menurut filasafa sejarah tidak lebih dari sebuah kritik
sejarah atau berfikir tentang sejarah yang telah di lakukan oleh para
sejarawan. Hegal dan beberapa pemikir abad ke-18 mengatakan filsafat sejarah
adalah makna yang simple dari kata sejarah.
Filsafat sejarah meneliti sarana-sarana
yang dipergunakan oleh seorang ahli sejarah dalam melukiskan sebuah peristiwa
sejarah sehingga dapat dipertanggung jawabkan. Sejarah yang dapat dipertanggung
jawabkan adalah sejarah yang memenuhi kaedah-kaedah dan pedoman-pedoman yang
menjamin supaya penyusunan fakta itu menghasilkan suatu penafsiran yang dapat
dipertahankan dari segi filsafat sehingga harus di singkirkan. Tetapi, jika
perbedaan pendapat antara seorang filosuf sejarah dengan ahli sejarah, belum
berarti filosuf sejarah itu benar dan ahli sejarah salah.
Walaupun demikian, filsafat sejarah cukup berguna untuk mempertajam
kepekaan kritis seorang peneliti sejarah, dan menambah kemampuan penelitian
sejarah untuk mengadakan penelitian pribadi mengenai keadaan kajian sejarah
pada saat tertentu.
Konsep Manusia Menurut Ibn Khaludin
Menurut Ibn Khaldun, alam semesta ini
terdiri dari berbagai tingkatan. Dan setiap tingkatan saling berhubungan antara
yang satu dengan lainya. Dan perubahan dapat saja terjadi pada suatu tingkatan
di sebabkan oleh suatu faktor. Manusia adalah bagian dari alam semesta yang
juga mempunyai tingkatan dan selalu mengalami perubahan. Sebagai contoh,
sebagai makhluk yang berakal, maka
manusia dapat mempergunakan akalnya dan apabila dia dapat menggunakan kalnya
dengan sebaik-baiknya serta dapat menekan hawa nafsunya, maka derajatnya bisa
meningkat menjadi derajat "malaikat". Namun begitu pula
sebaliknya, manusia bisa saja turun
kepada tingkatan yang paling hina yang sama dengan hewan apabila akalnya dapat
di kalahkan oleh nafsunya.
Ada hal yang paling mendasar apabila
kita berbicara tentang manusia. Pertnayaan yang selalu muncul berkaitan dengan
manusia itu adalah "siapakah manusia itu"?, 'dari mana dia
berasdal"?, untuk apa dia diciptakan?", dan lain sebagainya. Sepinta
lalu, pertanyaan-pertanyaan di atas mudah saja di jawab dengan memperhatikan
badan manusia itu sendiri. Namun, jika pertanyaan tadi di dalami, maka kita
akan menemui kesulitan yang di sebabkan oleh karena rumitnya persoalan yang di
hadapi oleh manusia.
Secara umum orang akan menjawab bahwa
manusia itu teridiri atas dua unsur pokok, yaitu jasmani dan rohani. Unsur
jasmnai adalah diri manusia yang bersal dari tanah. Sedangkan unsur rohani
adalah roh atau jiwa yang di dalamnya terkandung pikir, rasa, dan lain
sebagainya. Gabungan dari kedua unsur terebutlah yang menjadi manusia yang di
sebut sebagai makhluk yang berakal (hayawan al-nathiq). Namun, yang menjadi
pokok permasalahan disini adalah bagaimana persepsi Ibn Khaldun tentang manusia?.
Ibn Khaldun mengakui unsur rohani yang
terdapat dalam diri manusia. Namun, menurutny adalah tengetahuan manusia
tentang alam rohani hanya bersifat umum, bukan terperinci. Karena alam rohani
adalah diluar jangkauan manusia. Kalaupun manusia ingin mencari tahu tentang
alam rohani, hasilnya juga tidak akan pernah memuaskanya.
Menurut Ibn Khaldun, manusia hidup
dengan tujuan untuk mencapai kebahagiaan di alam rohani. Kehidupan manusia dari
lahir hingga akhir hidupnya adalah untuk mencari bekal bagi kebahagiaan rohani
di kehidupanya kelak. Tugas dan perbuatan manusia di muka bumi ini sejalan
dengan amanah Allah swt. Bahwa manusia hidup di muka bumi ini adalah sebagai
khalifah yang di tugasi untuk mengurus dan mengolah alam semesta ini
berdasarkan pertimbangan akal manusia dan aturan yang telah di gariskan oleh
alah swt. Dalam menjalankan tugasnya tersebut, maka manusia secara otomatis
menjadi pelaku dari sejarah.
Sebagai pelaku sejarah, menurut Ibn
Khaldun, manusia dalam setiap perbuatanya di dorong oleh berbagai sifat yang
sekaligus menggambarkan kepribadian itu sendiri. Selain faktor pembawa, manusia
juga di pengaruhi oleh faktor lingkunganya. Malah, terkadang faktor lingkungan
dimana dia hidup lah yang lebih dominant dari pada faktor pembawa. Hal inilah
yang secara dominant mempengaruhi manusia sebagai subjek/pelaku dari sejarah.
Selain menjadi hamba Allah, manusia jg
secara alamiah di ciptakan oleh Allah
sebagai makhluk sosial. Sebagai
makhluk sosial, manusia hidup tentu saja bermasyarakat, dalam masyarakat itu tercakuplah
permasalahan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lainya yang di sebut dengan
peradaban. Sifat alamiah manusia sebagai makhluk sosial dapat kita lihat dari
kelemahan manusia yang tidak dapat hidup
tanpa bantuan orang lain. Hal inilah yang menjadikan fitrah manusia itu sebagai
makhluk sosial dan membutuhkan organisasi.
Setelah sebuah organisasi dalam
masyarakat telah terbentuk (ada). Maka hal yang selanjutnya dibutuhkan adalah
seorang pemimpin yang berwibawa yang dapat mengatur anggota kelompoknya,
mendamaikan perselisihan dan yang lainya. Dalam hal ini, menurut Ibn Khaldun,
kebiwabaan itu sudah menjadi watak manusia yaitu sangat di perlukan.
Secara garis besarnya, menurut Ibn
Khaldun, manusia sebagai pelaku (subjek) sejarah dimuka bumi ini mempunyai
tugas ganda yang penting. Yaitu sebagai hamba Allah yang mengabdi kepadanya dan
juga sebagai makhluk sosial yang hidup berdampingan dengan manusia lainya.
Faktor penggerak sejarah menurut Ibn Khaldun
Secara umum, penggerak sejarah dapat di
pahami dengan hal-hal yang mempengaruhi sejarah. Tetapi dapat juga di pahami
sebagai segala sesuatu yang menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa.
Pengertian ini dapat lagi di singkat menjadi penyebab sejarah. Dalam
kenyataanya, faktor penggerak sejarah ini seringkali di lupakan oleh manusia,
karena terlalu abstrak untuk di bayangkan.
Pertanyaan yang langusng muncul di benak
kita adalah siapa atau apa faktor penggerak sejarah tersebut?.
Mengenai faktor penggerak sejarah ini.
Ibn Khaldun membaginya menjadi dua faktor. Yaitu faktor illahi (asbab
al-ilahi) dan faktor alami (asbab at-thabi'i). adapun yang terkait
dengan faktor ilahi adalah wahyu dan tuhan (Allah). Sedangkan yang termasuk
kedalam faktor alami adalah politik, ekonomi, sosial, budaya institute, teknologi,
ideology, militer, golongan, etnis, dll. Dengan demikian, menurut Ibn Khaldun,
sebenarnya banyak faktor yang menjadi penggerak sejarah. Namun semmuanya
akhirnya berjuang kepada faktor di atas.
Dalam perjalanan sejarah, dapat kita
lihat bahwa setiap kegiatan manusia itu tidak terlepas dari persoalan politik,
ekonomi, sosial budaya, dll. Dan baik atau buruknya perjalanan sejarah itu
tergantung pada kemampuan manusia itu dalam memperhatikan kedua faktor
tersebut.
Selain keduda faktor tersebut, menurut
Ibn Khaldun, solidiritas (ashabiyah) juga berperan penting dalam menggerakan
sejarah. Istilah ashabiyah dapat di artikan dengan rasa memiliki kesamaan harga
diri dan loyalitas yang mengikat para anggotanya, baik itu keluarga,
kelompok/organisasi, maupun suku.
Pada mulanya ashabiyah di temukan pada
orang-orang yang di hubungkan oleh pertalian sedarah atau pertalian lainya yang
mempunyai arti sama. pemikiran Ibn Khaldun ini di dasari oleh suatu teori bahwa
pertalian darah itu mempunyai kekuatan yang mengikat pada kebanyakan umat
manusia. Ikatan darah itu membuat orang mempunyai solidirtas dalam kelompoknya.
Menurut kodratnya, apabila seorang anggota kelompok mengalami sakit/gangguan
maka anggota yang lain akan ikuti merasakan dan membela mati-matian anggota kelompoknya
yang di ganggu.
Dalam perkembangan selanjutnya konsep
ashabiyah itu bisa berubah menjadi pertalian yang berbagai macam. Seperti
pertalian se-alumni, se-kampung, se-kepentingan, se-partai, dll. Yang kita
lihat dalam persoalan ekonomi maupun politik. Karena itu, menurut Ibn Khaldun,
pertalian sedarah bukanlah satu-satunya penyebab solidiritas, tetapi bisa saja
faktor lain yang membutuhkanya. Malah kadangkala solidiritas se-darah dapat di
kalahkan oleh solidiritas yang lainya, seperti faktor se-kepentingan.
Walaupuan demikian, jika kita teliti
lebih dalam, faktor ashabiyah ini sebenarnya termasuk kedalam kategori faktor
alami dari penggerak sejarah.
Secara singkat, inti dari pemikiran filsafat sejarah Ibn
Khaldun adalah sebagai berikut:
- Manusia hidup di dunia ini mempunyai
tugas ganda yaitu sebagai hamba Allah dan sebagai makhluk sosial yang
diserahi tugas sebagai khalifah untuk mengolah dan mengatur ala mini demi
kesejahteraan manusia itu sendiri yang sekaligus merupakan unsur budaya
dari manusia itu sendiri. Semakin cepat perubahan yang dilakukan oleh
manusia, maka semakin cepat pula cara berfikir manusia tersebut.
- Setiap tindakan manusia (sebagai
khalifah) adalah untuk tujuan mengabdi kepada Allah, dan hal itu adalah
tujuan dari sejarah. Dalam peruses pencapaian tujuan tersebut, manusia
mengalami berbagai problem dan liku-liku hidup. Ada manusia yang ditimpa
bencana, kesusahan dan ada pula yang di beri nikmat dan selalu
berkecukupan. Semua itu adalah peristiwa yang menandai perjalanan sejarah
untuk mencapai tujuanya.
- Tercapainya tujuan sejarah, menurut Ibn
Khaldun, adalah di sebabkan oleh adanya penggerak sejarah. Menurut
penggerak sejarah itu adalah faktor ilahi dan faktor alami. Faktor Ilahi
adalah tuhan. Dalam Agama samawi
(yahudi, Kristen dan Islam) faktor Ilahi ini adalah Allah. Sedangkan dalam
agama ardhi dan agama primitif, faktor illahi itu adalah dewa-dewa. Adapun
penggerak sejarah dari faktor alami adalah, anatara lain, politik,
ekonomi,
2.
Nasruddin Thusi
Nama Nasruddin Thusi adalah Khawajah
Nasir al-Din Abu Ja'far Muhammad. Beliau dilahirkan dikota Thus 597/1210 M.
setelah menerima pendidikan dasar dia mempelajari fiqih, ushul fiqh, hikmah dan
kolam, terutama Al-Isyaratnya Ibnu Sina dari Mahdi Farid Al-Din Damat, dan
matematika dari Muhammad Nasib di Nishapur, kemudian dia pergi ke Baghdad untuk
mempelajari ilmu pengobatan dan filsafat dari Qutb al-Din, di Baghdad beliau
memperdalam ilmu matematikanya dari kamal Ibn Yunus dan fiqhnya dari Silam ibn
Badrn.
Thusi mencapai kemasyhuran ketika dia
mampu khulagu kan untuk membangun observatorium yang terkenal di marghah
azerbaizan pada tahun 658 H, yang dilengkapi dengan alat-alat yang baik.
Kemudian beliau menjadi direktur pada observatorium maraghah. Obervatorium ini
merupakan pusat penelitian yang tepat dari tiga pusat penelitian sastra dan
satronomi di timmur setelah Darmayawarman al-hikmah di Baghdad dan baitul
Hikmah di kairo yang didirikan oleh dinasti fatimiyah.
Observatorium maraghah lebih dari pada
sekedar tempat pengamatan astronomis. Sebuah ilmiah yang lengkap, tempat hampir
setiap cabang ilmu diajarkan, dan melahirkan sebagian besar ilmuwan paling terkenal pada periode abad besar, Menurut Ibn
Syakir, Perpustakaan itu mengoleksi lebih dari 400.000 buah buku.
Thusi merupakan orang yang berwawasan
luas di dalam berbagai disiplin ilmu, buku akhlak Nasruddin Thusi
mengklasifikasi pengetahuan ke dalam spekulasi dan praktek. Pengetahuan
spekulasi termasuk di dalamnya metafisika, dan matematika (optic, meteorology,
botani, zologi dan psikoklogi). Dan yang kedua, pengetahuan praktis yang
termasuk di dalamnya etika, ekonomi, domestic dan politik. Dengan itu thusi
dikenal sebagai seorang filosof sedangkan di barat beliau dikenal sebagai
seorang astronom dan matematikawan.
Selain itu thusi juga merupakan seorang
yang jenius dan kejeniusanya itu tersebar pada kritik-kritikanya terhadap
ptolemeus yang tulisanya-tulisanya banyak mengulas berbagai hal, termasuk
doktrin ismailiyah ketika ia dinas pada kaum tersebut.
Etika Moral
Nasir al-Din Rahman, gubernur ismailiyah
dari Quhistan pernah meminta pada nashir al-Din Thusi untuk menterjemahkan kitab thaharah (tahzibul
akhlaq) arti bahasa arab kebahasa parsi, namun thusi melihat pada karya ibn
miskawaih terbatas pada moral, padahal yang penting tidak disinggung. Tetapi
pada mukaddimahnya thusi dengan beliau
menambahkan dalam buku tersebut persoalan-persoalan manajemen rumah tangga dan
politik.
Ada sedikit perbedaan antara Ibn
Miskawaih dengan penerusnya Thusi. Bila Ibn Miskawaih lebih berkonsentrasi
untuk mempopulerkan dan sistematis subjeknya, Thusi Membahas relasi antara
etika dengan sains-sains filosofis lainya. Thusi mendefinisikan filsafat
sebagai "ilmu tentang segala sesuatu sebagaimana adanya dan pemenuhan
fungsi seseorang sebagaimana harusnya, sesuai dengan kapasitasnya sehingga jiwa
manusia bisa sampai kepada kesempurnaan yang telah ditentukan".
Pada pembahasan etika,
Thusi mengatakan bahwa moral atau etika itu bertujuan mendapatkan kebahagiaan,
dan hal itu ditentukan oleh tempat dan kedudukan manusia dalam evolusi
kosmiknya serta diwujudkan lewat kesedianya pada disiplin dan patuh. Jadi
seorang bisa dikatakan beretika bila ia siap disiplin dan komitmen pada
peraturan yang berlaku. Selain dari pada itu beliau pula mengemukakan hal yang
menyangkut penyakit moral seperti kebodohan, kejahatan, kemarahan, kepengecutan
dan ketakutan yang semuanya berasal dari tiga: kekurangan, kelebihan dan
ketidakwajaran akal.
Kebodohan menurut Thusi
adalah penyakit moral yang fatal, beliau membagi kebodohan terse but di dalam
tiga tingkatan. Pertama, kebingungan. Kebingungan disebabkan jika untuk
membedakan antara kebenaran dan kesalahan karena adanya dua bukti dan dua
argument yang saling bertentangan, dalam hal ini Thusi menyarankan agar orang
yang bingung itu disadarkan bahwa tidak ada dua realitas yang berlawanan
terjadi pada satu kesempatan. Kedua, kebodohan sederhana. Jahal basit ini
terjadi karena kekurangan tahuan manusia akan sesuatau hal tana mengira bahwa
ia mengetahui, kebodohan ini merupakan suatu keadaan yang bisa dijadikan titik
tolak untuk mencari pengetahuan, tetapi sangatlah fatal bila manusia merasa
puas dengan keadaan begitu. Ketiga, jahal murakkob; kebodohan ini akibat
kekurang tahuan manuisa akan satu hal akan tetapi dia merasa bahwa dirinya
mengetahui hal tersebut.
Mengenai kemarahan Thusi menganggap
bahwa kemarahan, kepengecutan dan ketakutan adalah penyakit yang menonjol dari
segi berlebihan, begitu pula keberlebihan nafsu disebabkan oleh keberlebihan
hasrat, sedangkan sifat semberono merupakan, akibat kekurangan, dan kesedihan
serta cemburu itu merupakan ketidak wajaran kekuatan. Thusi telah pada dirinya.
Hal itu mengiuti definisi yang dilontarkan al-Ghazali yang membedakan antara
cemburu dengan iri. Thusi menganggap masyarakat sebagai latar belakang moral
dari kehidupan, sebab manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial dan
kesemprunaanya terletak tindak anduk dan patuh yang menunjukan sifat sosial
sesamanya.
Metafisika
Menurut Thusi metafisika terdiri atas
dua bagian, ilmu ketuhanan (ilmu ilahi) dan filsafat pertama (falsafah ida).
Pengetahuan the tuhan, akal dan jiwa merupakan ilmu pengetahuan ketuhanan,
pengetahuan tentang alam semesta dan hal-hal yang berhubuhngan alam semesta
adalah filsafat pertama.
Bagi Thusi, tuhan the dibuktikan secara
logis, existensi tuhan harus diterima dan dianggap sebagai postulat, bukanya
dibuktikan, karena mustahil bagi manusia yang sangat terbatas untuk memahami
tuhan di dalam keseluruhanya, termasuk pembuktian exitensinya, persoalan
mengenai apakah dunia kekal (qadim) atau diciptakan oleh tuhan dari ketiadaan
(hadis), merupakan masalah yang paling membingungkan dalam filsafat muslim,
aristoteles berpendapat bahwa dunia ini kekal menyifatkan gerakanya pada
penciptaan tuhan, sang penggerak utama.
Thusi dalam karyanya Tashowurat
melakukan suatu upaya perujukan secara setengah hati antara aristoteles dan ibn
Mskawaih. Dia memluai dengan mengecam doktrin ceratio ecnihilo, dengan
mengatakan bahwa tuhan itu selamanya merupakan pencipta yang mengkaitkan
edsistensi penciptaan pada dirinya. Dengan kata lain dunia ini merupakan suatu
karena kekuasaan tuhan yang menyempurnakan
meski dalam hak dan kekuatan sendiri, ia tercipta muhadats.
Dalam karyanya yang belakangan, Thusi
meninggalkan sikap seraya mendukung sepenuhnya bahwa existensi "yang
mungkin" bergantung pada "yang
pasti"; dan karena ia maujud akibat sesuatu yang lain darinya, maka tidak
dapat dikatakan bahwa ia dalam keadaan maujud, sebab penciptaan yang maujud itu
the ada, maka begitu juga kemaujudan yang pasti itu menciptakan yang mustahil
itu dari ketiadaan. Peruses semacam itu disebut penciptaan dan hal yang ada itu
disebut yang tercipta (muhadats).
Mengenai sumber existensi Thusi
berpendapat bahwa sumber existensi
adalah satu, yaitu kehendak Allah yang maha tinggi, yang disebut dengan
"kalam". Makhlauk peserta yang tercipta langsung dengan kehendak
kreatif tersebut tanpa perantara apapun ialah akal pertama. Semua makhluk lain
terjadi dari kehendak ilahi dengan berbagai perantara. Jadi, jiwa tercipta
melalui akal dan hyle, alam dan benda lahir tercipta melalui jiwa.
Pendapat Thusi mengenai
fakultas-fakultas jiwa cenderung kepada Ibn Sina. Eksistensi jiwa rasional
menurut beliau beliau tidak memerlukan bukti, karena ia adalah entittas yang
mewujud dengan dirinya sendiri, karena wujud rasional adalah essensi dan
realitasnya, yang mengetahui tanpa perantara apapun. Keterlepasanya dari organ
duniawi dibuktikan dengan fakta bahwa jiwa mengetahui dirinya dan mengetahui
bahwa ia mengetahui dirinya, sebaliknya organ inderawi seperti tubuh lain,
digunakan oleh jiwa sebagai instrument.
Pemikiran Politik
Ide-ide politik thusi sebagai besar
mengambil pemikiran al-Farabi. Bahasa beliau mengenai ilmu politik berupaya
mencari asosiasi yang terteib sebagai sebuah prakondisi kehidupan yang bahagia,
yang ada dalam bagian "domestic". Tanpa asosiasi yang terdiri dari
kerja sana yang saling sama yang saling menguntungkan yang dikontrol oleh
keanekaragaman kebutuhan, masyarakat berperadaban the mungkin terwujud. Hal ini
yang dimaksudkan para filosof bahwa manusia pada dasarnya ialah hewan politik.
Karena adanya konflik aspirasi,
kerakusan dan kegilaan kekuasaan yang memaksa seseorang bertindak, maka sato
model otoritas manajemen (tadbir) sangat essensial dan merupakan akar
organisasi politik. Jika disesuaikan dengan rule of wisdom menajemen tersebut
dinamakan pemerintah ilahi. Aristoteles memebedakan tiga model pmemeritah;
monarki, tirani, demokrasi. Thusi mengangap yang pertama sebagai bentuk ideal
mirip plato, dia cenderung memilih aristokrasi atau pemerintah orang utama,
dengan penembahan ide-ide syiah. Jadi rajanya diperintah oleh "petunjuk
ilahi". Kedudukanya berada di bawah imam, atau pemimpin spiritual
masyarakat, yang didenfinisikan plato sebagai pemimpin dunia.
Tingaktan assosiasi menurut Thusi
berantai dari rumah tangga di tingkat lokal, kemudian kota, bangsa dan seluruh
dunia. Setiap tingkatan pasti memiliki seseorang ketua, yang tunduk kepada
tingkatan yang lebih tinggi, hingga mencapai "pemimpin dunia" atau
yang dipertuan agung.
Akibat pentingnya assosiasi, menurut
Thusi kehidupan menyendiri baik itu pertama, asketik, berlawanan dengan moral,
yang tidak hanya terdiri dari pematangan dari kesenangan manusia, tetapi hanya
menghindarkan eksesnya dan ini merupakan esensi keshalehan. Orang-orang yang
dengan sengaja memutuskan diri dari dunia kebersamaan tidak lebih baik dari
pada objek tak bernyawa atau mayat.
Faktor yang mengikat manusia untuk
bersama dan mematri mereka dalam sebuah komunitas tunggal ialah ikatan cinta.
Ikatan ini berdasarkan kesatuan alamiah, dan lebih superior dibandingkan dengan
keadilan, dan hnya jika cinta hilang, maka kebutuhan akan keadialn muncul.
Menurut Thusi ada dua macam cinta; cinta
alamiah dan cinta voluntaris. Cinta voluntaris. Cinta voluntaris terbagi menjadi:
(1) yang muncul dan lenyap secara cepat, (2) yang muncul cepat namun lambat
lenyapnya, (3) yang muncul lembat namun cepat lenyapnya, (4) yang muncul dan
lenyapnya lambat. Semua cinta itu bisa terkena perubayhan dalam perjalanan
waktu dan diwarnai ego dan keangkuhan. Hanya cinta kepada Allah yang dimiliki
oleh filosof sejati, yang bebes dari kekurangan yang diberikan kepada
hamba-hamba Allah yang terpilih.
Tentang Kepemimpinan
Kualitas yang mesti dimiliki pemerintah religius atau imam
ialah: (1) mempunyai nasib yang baik, (2) sifat yang terpuji, (2) bijaksana,
(4) bergantung kepada bantuan-bantuan yang dapat dipercaya, (5) berkemauan
keras, (6) ulet dan tabah, dan (7) betul-betul kaya.
Untuk menjamin pemerintahan yang tertib dan berkeadilan,
seorang pemimpin mestilah menjaga kelas-kelas masyarakat yang berbeda secara
seimbang. Dia tidak boleh bagaimanapun mengabaikan derajat sosial dan
diskriminasi politik.
Manajemen Kerumahtanggaan
Salah satu pemikiran orisinal Thusi dalam meluaskan lingkup
etika ialah merambah ke bidang manajemen rumah tangga. Dia mengungkapkan bahwa
prinsip dasar regulasi rumah tangga terdiri dari tiga: (1) untuk memlihara
keseimbangan rumah tangga yang telah terbangun, (2) memperbaiki ketidak
harmonisan, (3) memajukan kesejahteraan setiap angota secara individual
sebagaimana anggota rumah tangga kolektif.
Dalam kaitan ini, rumah tangga bisa diibaratkan tubuh
manusia dan dokternya, yang bertugas menjaga kesehatan dan restorasi tubuhnya.
Tujuan mempunyai isteri adalah untuk memelihara kepemilikan
dan untuk melanjutkan keturunan. Oleh karena itu kualitas utama seorang isteri
ialah harus hemat dan subur. Disamping itu harus penuh kasih sayang, sederhana,
sabar, dan shaleh.
Kesimpulan
Nasruddin Thusi merupakan slah seorang pemikir yang membangkitkan
kemballi nilai-nilai ilmu filsafat setelah pada masa sebelumnya dunia
intelektualistas mengalami stagnasi akibat intimidasi dan penyerangan hulagu
khan. Dalam masalah filsafat terutama metafisika beliau lebih banyak setuju
pada pendapat aristoteles walaupun sesekali ia mengkritik filsafatnya juga. Dan
masalah etika beliau menyatakan bahwa Zpenyakit moral itu merupakan
penyimpangan-penyimpangan jiwa dari keseimbangan, dan penyebab penyakit moral
ialah salah satu dri tiga hal: keberlebihan, keberkurangan, dan ketidak wajaran
akal.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Amin, Husain, Seratus Tokoh Dalam Sejarah
Islam, (Bandung: Remaja
Rosda Karya, 1999)
Baqir Ash-Shdr, Muhammad, Falsafatuna, (Bandung: Mizan,
1998)
Baker, Osman, Hierarki Ilmu, (Bandung: Mizan,
1998)
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998)
Syarif MM, M.A. Para Filosof muslim,
(bandung: mizan, 1998)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar