Rabu, 28 Maret 2012

ibnu khaldun


1.      Ibn Khaldun
Ibn kaldun, salah seorang sejarawan muslim yang terkenal, membawa bentuk yang berbeda dalam penulisan sejarah. Bagi ibn kaldun, seajarah tidak hanya di ungkapkan secara faktual, namu  juga dapat di lihat hubungan kausal antara setiap peristiwa sejarah. Dan menurutnya juga, sebuah peristiwa sejarah harus di lihat dari berbagai aspek, seperti aspek ekonomi, politik, sosial, agama, dan lain sebagainya.
Dengan tampilnya ibn khaldun sebagai tokoh yang berbeda dari pendahulunya, telah menimbulkan spekulasi dan kritik dari sebagian sejarawan, terutama dari kalangan sejarawan barat. Karena, dalam anggapan mereka terdapat pertentangan yang tajam antara Ibn Khaldun dan penulis sejaraha sebelumnya yang dianggap terbelakang. Karena perbedaan tersebut, ada yang menggambarkan Ibn Khaldun sebagai pendiri ilmu masyarakat modern ilmu abad sebelum auguset comte dan emil durkheim.

Riwayat Hidup Ibn Khaldun
Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah waliyuddin ‘Abd al-Ramhan Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Abi Bakar Muhammad Ibn Al-Hasan Ibn Khaldun. Dia lahir di Tunisia di awal bulan Ramdhan 732 H (27 Mei 1333 M) wafat di Kairo tanggal 25 Ramadhan 808 H (19 Maret 1406 M).
Keluarganya berasal dari Hadhramaut dan silsilahnya sampaikan kepada seorang sahabat Nabi yang bernama Wayl Ibn Hujr dari kabilah kindah. Salah seorang cucu Wayl, khalid bin Ustman memasuki daerah Andalusia bersama orang-orang arab penakluk di awal abad ke-13 H. Anak cucu khalid membentuk satu keluarga yang besar dengan nama Bani Khaldun. Dari Bani inilah nama Ibn Khaldun berasal. Bani khaldun ini pertama kali berkembang di kota Qarmunah di Andalusia di kota ini bintang bani Khaldun mulai bersinar karena beberapa anggota keluarga bani Khaldun menduduki jabatan penting.
Secara umum kehidupan Ibn khaldun dapat di bagi menjadi empat fase yaitu :
-          Pertama, fase kelahiran, perkembangan dan studi fase ini berlansgung sejak kelahiran sampai usia 20 tahun. Pada tahun 732 / 1332 M hingga tahun 751 H / 1350 M.
-          Kedua, fase bertugas di pemerintahan dan terjun ke dunia politik di maghrib dan Andalusia pada tahun 751 H / 1350 M sampai tahun 776 H / 1374 M.
-          Ketiga, fase pengarangan, ketika dia berfikir dan berkontemplasi di Benteng Ibn Salmah milik Banu Arif dari tahun 776 H/ 1374 M – 784 H / 1382 M.
-          Keempat, fase mengajar dna bertugas sebagai hakim negeri di Mesir dari tahun 784 H / 1382 M sampai wafat tahun 808 H / 1406 M.
Sejarah, Histogiografi dan Filsafat Sejarah
Sebelum kita masuk  kepada focus pembahasan tentang filasafat sejarah Ibn Khaldun, terlebih dahulu perlu di terangkan apa yang dimaksudkan dengan sejarah, historiografi dan filsafat sejarah.
Kata sejarah berasal dari bahasa arab: syajaratun yang artinya adalah pohon. Kata ini di serap oleh bahasa melayu dengan bentuk yang sama (sejarah) diperaktikan pada abad ke-13 M. dan akhirnya kata inilah yang sering di pakai dalam bahasa Indonesia untuk menggambarkan kajian tentang hal-hal yang telah lampau.
Suryanegara menganalogikan pohon (yang terdiri dari akar, batang, dahan ranting, dsb) dengan silsilah ataupun asal-usul manusia. Dengan penganalogian bahwa pohon dan kehidupan manusia sama-sama di mulai dari biji (kecil) menjadi batang pohon yang rindang (besar).
Kata sejarah juga mempunyai kata yang identik sama, tarikh yang berasal dari bahasa arab yang berarti pengaggalan atau pentapan tanggal. Disamping itu, dalam bahasa daerah juga terdapat kata yang menggambarkan makna yang sama dengan sejarah, seperti kata babad dan tambo. Kedua kata ini lebih menunjukkan ciri kedaerahan. Babad menunjukan ciri daerah Jawa. Sedangakn kata tambo menunjukkan unsur minangkabau.
Sedangkan lorens bagus mengemukakan sejarah dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, sejarah berarti setiap kejadian/peristiwa. Sedangkan dalam arit sempit sejarah adalah yang dapat dijelaskan dengan sebab-sebab yang efisien. Maksudnya adalah peristiwa-peristiwa manusia yang mempunyai akar dalam realisasi diri dengan kebebasan dan keputusan daya rohani.
Pada mulanya, sejarah terdapat dalam pikiran para sejarawan, orang yang menghapal sejarah yang selalu di sampaikan dengan metode lisan. Kemudian penulisan sejarah tersebut di pelajari dalam sebuah studi khusus yang disebut dengan historiografis. Sebuah sejarah (peristiwa sejarah) berbeda dengan historiografis.
Secara umum, historiografi adalah sebuah studi sistematis tentang sejarah penulisan sejarah (the history of thistorical writing). Historiografi tidak berhubungan langsung dengan sebuah peristiwa sejarah. Karena historiografi hanya mencurahkan perhatianya pada karya-karya sejarah yang telah ada. Historiografi tidak mempersoalkan apakah sebuah sejarah yang di sebuah sejarah itu subjektif atau objektif. Yang jadi fokus dalam historiografi adalah bagaimana persepsi, interpretasi dan metode sejarah yang di gunakan oleh seorang penulis sejarah. Tanpa menghakimi sejarah yang di tulisnya.
Berbeda dengan sejarah dan historiografi, filsafat sejarah melangkah lebih jauh kepada hal-hal yang lebih mendasar dari persoalan sejarah. Persoalan yang mendasar disini bukan berkaitan dengan latar belakang penulisan sejarah dan alasan penulisan sebuah sejarah, melainkan melihat setiap peristiwa sejarah dari segi logis dan tidak logisnya, benar atau salahnya sebuah sejarah menurut ukuran filosuf sejarah itu sendiri.
Filsafat sejarah ditemukan oleh Voltaire pada abad ke-18 M. menurut filasafa sejarah tidak lebih dari sebuah kritik sejarah atau berfikir tentang sejarah yang telah di lakukan oleh para sejarawan. Hegal dan beberapa pemikir abad ke-18 mengatakan filsafat sejarah adalah makna yang simple dari kata sejarah.
Filsafat sejarah meneliti sarana-sarana yang dipergunakan oleh seorang ahli sejarah dalam melukiskan sebuah peristiwa sejarah sehingga dapat dipertanggung jawabkan. Sejarah yang dapat dipertanggung jawabkan adalah sejarah yang memenuhi kaedah-kaedah dan pedoman-pedoman yang menjamin supaya penyusunan fakta itu menghasilkan suatu penafsiran yang dapat dipertahankan dari segi filsafat sehingga harus di singkirkan. Tetapi, jika perbedaan pendapat antara seorang filosuf sejarah dengan ahli sejarah, belum berarti filosuf sejarah itu benar dan ahli sejarah salah.
Walaupun demikian, filsafat  sejarah cukup berguna untuk mempertajam kepekaan kritis seorang peneliti sejarah, dan menambah kemampuan penelitian sejarah untuk mengadakan penelitian pribadi mengenai keadaan kajian sejarah pada saat tertentu.  

Konsep Manusia Menurut Ibn Khaludin
Menurut Ibn Khaldun, alam semesta ini terdiri dari berbagai tingkatan. Dan setiap tingkatan saling berhubungan antara yang satu dengan lainya. Dan perubahan dapat saja terjadi pada suatu tingkatan di sebabkan oleh suatu faktor. Manusia adalah bagian dari alam semesta yang juga mempunyai tingkatan dan selalu mengalami perubahan. Sebagai contoh, sebagai  makhluk yang berakal, maka manusia dapat mempergunakan akalnya dan apabila dia dapat menggunakan kalnya dengan sebaik-baiknya serta dapat menekan hawa nafsunya, maka derajatnya bisa meningkat menjadi derajat "malaikat". Namun begitu pula sebaliknya,  manusia bisa saja turun kepada tingkatan yang paling hina yang sama dengan hewan apabila akalnya dapat di kalahkan oleh nafsunya.
Ada hal yang paling mendasar apabila kita berbicara tentang manusia. Pertnayaan yang selalu muncul berkaitan dengan manusia itu adalah "siapakah manusia itu"?, 'dari mana dia berasdal"?, untuk apa dia diciptakan?", dan lain sebagainya. Sepinta lalu, pertanyaan-pertanyaan di atas mudah saja di jawab dengan memperhatikan badan manusia itu sendiri. Namun, jika pertanyaan tadi di dalami, maka kita akan menemui kesulitan yang di sebabkan oleh karena rumitnya persoalan yang di hadapi oleh manusia.
Secara umum orang akan menjawab bahwa manusia itu teridiri atas dua unsur pokok, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmnai adalah diri manusia yang bersal dari tanah. Sedangkan unsur rohani adalah roh atau jiwa yang di dalamnya terkandung pikir, rasa, dan lain sebagainya. Gabungan dari kedua unsur terebutlah yang menjadi manusia yang di sebut sebagai makhluk yang berakal (hayawan al-nathiq). Namun, yang menjadi pokok permasalahan disini adalah bagaimana persepsi Ibn Khaldun tentang manusia?.
Ibn Khaldun mengakui unsur rohani yang terdapat dalam diri manusia. Namun, menurutny adalah tengetahuan manusia tentang alam rohani hanya bersifat umum, bukan terperinci. Karena alam rohani adalah diluar jangkauan manusia. Kalaupun manusia ingin mencari tahu tentang alam rohani, hasilnya juga tidak akan pernah memuaskanya.
Menurut Ibn Khaldun, manusia hidup dengan tujuan untuk mencapai kebahagiaan di alam rohani. Kehidupan manusia dari lahir hingga akhir hidupnya adalah untuk mencari bekal bagi kebahagiaan rohani di kehidupanya kelak. Tugas dan perbuatan manusia di muka bumi ini sejalan dengan amanah Allah swt. Bahwa manusia hidup di muka bumi ini adalah sebagai khalifah yang di tugasi untuk mengurus dan mengolah alam semesta ini berdasarkan pertimbangan akal manusia dan aturan yang telah di gariskan oleh alah swt. Dalam menjalankan tugasnya tersebut, maka manusia secara otomatis menjadi pelaku dari sejarah.
Sebagai pelaku sejarah, menurut Ibn Khaldun, manusia dalam setiap perbuatanya di dorong oleh berbagai sifat yang sekaligus menggambarkan kepribadian itu sendiri. Selain faktor pembawa, manusia juga di pengaruhi oleh faktor lingkunganya. Malah, terkadang faktor lingkungan dimana dia hidup lah yang lebih dominant dari pada faktor pembawa. Hal inilah yang secara dominant mempengaruhi manusia sebagai subjek/pelaku dari sejarah.
Selain menjadi hamba Allah, manusia jg secara alamiah di ciptakan oleh Allah  sebagai  makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia hidup tentu saja bermasyarakat, dalam masyarakat itu tercakuplah permasalahan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lainya yang di sebut dengan peradaban. Sifat alamiah manusia sebagai makhluk sosial dapat kita lihat dari kelemahan manusia yang tidak dapat  hidup tanpa bantuan orang lain. Hal inilah yang menjadikan fitrah manusia itu sebagai makhluk sosial dan membutuhkan organisasi.
Setelah sebuah organisasi dalam masyarakat telah terbentuk (ada). Maka hal yang selanjutnya dibutuhkan adalah seorang pemimpin yang berwibawa yang dapat mengatur anggota kelompoknya, mendamaikan perselisihan dan yang lainya. Dalam hal ini, menurut Ibn Khaldun, kebiwabaan itu sudah menjadi watak manusia yaitu sangat di perlukan.
Secara garis besarnya, menurut Ibn Khaldun, manusia sebagai pelaku (subjek) sejarah dimuka bumi ini mempunyai tugas ganda yang penting. Yaitu sebagai hamba Allah yang mengabdi kepadanya dan juga sebagai makhluk sosial yang hidup berdampingan dengan manusia lainya.
  
Faktor penggerak sejarah menurut Ibn Khaldun
Secara umum, penggerak sejarah dapat di pahami dengan hal-hal yang mempengaruhi sejarah. Tetapi dapat juga di pahami sebagai segala sesuatu yang menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa. Pengertian ini dapat lagi di singkat menjadi penyebab sejarah. Dalam kenyataanya, faktor penggerak sejarah ini seringkali di lupakan oleh manusia, karena terlalu abstrak untuk di bayangkan.
Pertanyaan yang langusng muncul di benak kita adalah siapa atau apa faktor penggerak sejarah tersebut?.
Mengenai faktor penggerak sejarah ini. Ibn Khaldun membaginya menjadi dua faktor. Yaitu faktor illahi (asbab al-ilahi) dan faktor alami (asbab at-thabi'i). adapun yang terkait dengan faktor ilahi adalah wahyu dan tuhan (Allah). Sedangkan yang termasuk kedalam faktor alami adalah politik, ekonomi, sosial, budaya institute, teknologi, ideology, militer, golongan, etnis, dll. Dengan demikian, menurut Ibn Khaldun, sebenarnya banyak faktor yang menjadi penggerak sejarah. Namun semmuanya akhirnya berjuang kepada faktor di atas.
Dalam perjalanan sejarah, dapat kita lihat bahwa setiap kegiatan manusia itu tidak terlepas dari persoalan politik, ekonomi, sosial budaya, dll. Dan baik atau buruknya perjalanan sejarah itu tergantung pada kemampuan manusia itu dalam memperhatikan kedua faktor tersebut.
Selain keduda faktor tersebut, menurut Ibn Khaldun, solidiritas (ashabiyah) juga berperan penting dalam menggerakan sejarah. Istilah ashabiyah dapat di artikan dengan rasa memiliki kesamaan harga diri dan loyalitas yang mengikat para anggotanya, baik itu keluarga, kelompok/organisasi, maupun suku.
Pada mulanya ashabiyah di temukan pada orang-orang yang di hubungkan oleh pertalian sedarah atau pertalian lainya yang mempunyai arti sama. pemikiran Ibn Khaldun ini di dasari oleh suatu teori bahwa pertalian darah itu mempunyai kekuatan yang mengikat pada kebanyakan umat manusia. Ikatan darah itu membuat orang mempunyai solidirtas dalam kelompoknya. Menurut kodratnya, apabila seorang anggota kelompok mengalami sakit/gangguan maka anggota yang lain akan ikuti merasakan dan membela mati-matian anggota kelompoknya yang di ganggu.
Dalam perkembangan selanjutnya konsep ashabiyah itu bisa berubah menjadi pertalian yang berbagai macam. Seperti pertalian se-alumni, se-kampung, se-kepentingan, se-partai, dll. Yang kita lihat dalam persoalan ekonomi maupun politik. Karena itu, menurut Ibn Khaldun, pertalian sedarah bukanlah satu-satunya penyebab solidiritas, tetapi bisa saja faktor lain yang membutuhkanya. Malah kadangkala solidiritas se-darah dapat di kalahkan oleh solidiritas yang lainya, seperti faktor se-kepentingan.
Walaupuan demikian, jika kita teliti lebih dalam, faktor ashabiyah ini sebenarnya termasuk kedalam kategori faktor alami dari penggerak sejarah.
Secara singkat, inti dari pemikiran filsafat sejarah Ibn Khaldun adalah sebagai berikut:
  1. Manusia hidup di dunia ini mempunyai tugas ganda yaitu sebagai hamba Allah dan sebagai makhluk sosial yang diserahi tugas sebagai khalifah untuk mengolah dan mengatur ala mini demi kesejahteraan manusia itu sendiri yang sekaligus merupakan unsur budaya dari manusia itu sendiri. Semakin cepat perubahan yang dilakukan oleh manusia, maka semakin cepat pula cara berfikir manusia tersebut.
  2. Setiap tindakan manusia (sebagai khalifah) adalah untuk tujuan mengabdi kepada Allah, dan hal itu adalah tujuan dari sejarah. Dalam peruses pencapaian tujuan tersebut, manusia mengalami berbagai problem dan liku-liku hidup. Ada manusia yang ditimpa bencana, kesusahan dan ada pula yang di beri nikmat dan selalu berkecukupan. Semua itu adalah peristiwa yang menandai perjalanan sejarah untuk mencapai tujuanya.
  3. Tercapainya tujuan sejarah, menurut Ibn Khaldun, adalah di sebabkan oleh adanya penggerak sejarah. Menurut penggerak sejarah itu adalah faktor ilahi dan faktor alami. Faktor Ilahi adalah tuhan. Dalam  Agama samawi (yahudi, Kristen dan Islam) faktor Ilahi ini adalah Allah. Sedangkan dalam agama ardhi dan agama primitif, faktor illahi itu adalah dewa-dewa. Adapun penggerak sejarah dari faktor alami adalah, anatara lain, politik, ekonomi,

2.      Nasruddin Thusi
Nama Nasruddin Thusi adalah Khawajah Nasir al-Din Abu Ja'far Muhammad. Beliau dilahirkan dikota Thus 597/1210 M. setelah menerima pendidikan dasar dia mempelajari fiqih, ushul fiqh, hikmah dan kolam, terutama Al-Isyaratnya Ibnu Sina dari Mahdi Farid Al-Din Damat, dan matematika dari Muhammad Nasib di Nishapur, kemudian dia pergi ke Baghdad untuk mempelajari ilmu pengobatan dan filsafat dari Qutb al-Din, di Baghdad beliau memperdalam ilmu matematikanya dari kamal Ibn Yunus dan fiqhnya dari Silam ibn Badrn.
Thusi mencapai kemasyhuran ketika dia mampu khulagu kan untuk membangun observatorium yang terkenal di marghah azerbaizan pada tahun 658 H, yang dilengkapi dengan alat-alat yang baik. Kemudian beliau menjadi direktur pada observatorium maraghah. Obervatorium ini merupakan pusat penelitian yang tepat dari tiga pusat penelitian sastra dan satronomi di timmur setelah Darmayawarman al-hikmah di Baghdad dan baitul Hikmah di kairo yang didirikan oleh dinasti fatimiyah.
Observatorium maraghah lebih dari pada sekedar tempat pengamatan astronomis. Sebuah ilmiah yang lengkap, tempat hampir setiap cabang ilmu diajarkan, dan melahirkan sebagian besar ilmuwan paling  terkenal pada periode abad besar, Menurut Ibn Syakir, Perpustakaan itu mengoleksi lebih dari 400.000 buah buku.
Thusi merupakan orang yang berwawasan luas di dalam berbagai disiplin ilmu, buku akhlak Nasruddin Thusi mengklasifikasi pengetahuan ke dalam spekulasi dan praktek. Pengetahuan spekulasi termasuk di dalamnya metafisika, dan matematika (optic, meteorology, botani, zologi dan psikoklogi). Dan yang kedua, pengetahuan praktis yang termasuk di dalamnya etika, ekonomi, domestic dan politik. Dengan itu thusi dikenal sebagai seorang filosof sedangkan di barat beliau dikenal sebagai seorang astronom dan matematikawan.
Selain itu thusi juga merupakan seorang yang jenius dan kejeniusanya itu tersebar pada kritik-kritikanya terhadap ptolemeus yang tulisanya-tulisanya banyak mengulas berbagai hal, termasuk doktrin ismailiyah ketika ia dinas pada kaum tersebut.

Etika Moral
Nasir al-Din Rahman, gubernur ismailiyah dari Quhistan pernah meminta pada nashir al-Din Thusi  untuk menterjemahkan kitab thaharah (tahzibul akhlaq) arti bahasa arab kebahasa parsi, namun thusi melihat pada karya ibn miskawaih terbatas pada moral, padahal yang penting tidak disinggung. Tetapi pada mukaddimahnya thusi dengan  beliau menambahkan dalam buku tersebut persoalan-persoalan manajemen rumah tangga dan politik.
Ada sedikit perbedaan antara Ibn Miskawaih dengan penerusnya Thusi. Bila Ibn Miskawaih lebih berkonsentrasi untuk mempopulerkan dan sistematis subjeknya, Thusi Membahas relasi antara etika dengan sains-sains filosofis lainya. Thusi mendefinisikan filsafat sebagai "ilmu tentang segala sesuatu sebagaimana adanya dan pemenuhan fungsi seseorang sebagaimana harusnya, sesuai dengan kapasitasnya sehingga jiwa manusia bisa sampai kepada kesempurnaan yang telah ditentukan".
Pada pembahasan etika, Thusi mengatakan bahwa moral atau etika itu bertujuan mendapatkan kebahagiaan, dan hal itu ditentukan oleh tempat dan kedudukan manusia dalam evolusi kosmiknya serta diwujudkan lewat kesedianya pada disiplin dan patuh. Jadi seorang bisa dikatakan beretika bila ia siap disiplin dan komitmen pada peraturan yang berlaku. Selain dari pada itu beliau pula mengemukakan hal yang menyangkut penyakit moral seperti kebodohan, kejahatan, kemarahan, kepengecutan dan ketakutan yang semuanya berasal dari tiga: kekurangan, kelebihan dan ketidakwajaran akal.
Kebodohan menurut Thusi adalah penyakit moral yang fatal, beliau membagi kebodohan terse but di dalam tiga tingkatan. Pertama, kebingungan. Kebingungan disebabkan jika untuk membedakan antara kebenaran dan kesalahan karena adanya dua bukti dan dua argument yang saling bertentangan, dalam hal ini Thusi menyarankan agar orang yang bingung itu disadarkan bahwa tidak ada dua realitas yang berlawanan terjadi pada satu kesempatan. Kedua, kebodohan sederhana. Jahal basit ini terjadi karena kekurangan tahuan manusia akan sesuatau hal tana mengira bahwa ia mengetahui, kebodohan ini merupakan suatu keadaan yang bisa dijadikan titik tolak untuk mencari pengetahuan, tetapi sangatlah fatal bila manusia merasa puas dengan keadaan begitu. Ketiga, jahal murakkob; kebodohan ini akibat kekurang tahuan manuisa akan satu hal akan tetapi dia merasa bahwa dirinya mengetahui hal tersebut.
Mengenai kemarahan Thusi menganggap bahwa kemarahan, kepengecutan dan ketakutan adalah penyakit yang menonjol dari segi berlebihan, begitu pula keberlebihan nafsu disebabkan oleh keberlebihan hasrat, sedangkan sifat semberono merupakan, akibat kekurangan, dan kesedihan serta cemburu itu merupakan ketidak wajaran kekuatan. Thusi telah pada dirinya. Hal itu mengiuti definisi yang dilontarkan al-Ghazali yang membedakan antara cemburu dengan iri. Thusi menganggap masyarakat sebagai latar belakang moral dari kehidupan, sebab manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial dan kesemprunaanya terletak tindak anduk dan patuh yang menunjukan sifat sosial sesamanya.

Metafisika
Menurut Thusi metafisika terdiri atas dua bagian, ilmu ketuhanan (ilmu ilahi) dan filsafat pertama (falsafah ida). Pengetahuan the tuhan, akal dan jiwa merupakan ilmu pengetahuan ketuhanan, pengetahuan tentang alam semesta dan hal-hal yang berhubuhngan alam semesta adalah filsafat pertama.
Bagi Thusi, tuhan the dibuktikan secara logis, existensi tuhan harus diterima dan dianggap sebagai postulat, bukanya dibuktikan, karena mustahil bagi manusia yang sangat terbatas untuk memahami tuhan di dalam keseluruhanya, termasuk pembuktian exitensinya, persoalan mengenai apakah dunia kekal (qadim) atau diciptakan oleh tuhan dari ketiadaan (hadis), merupakan masalah yang paling membingungkan dalam filsafat muslim, aristoteles berpendapat bahwa dunia ini kekal menyifatkan gerakanya pada penciptaan tuhan, sang penggerak utama.
Thusi dalam karyanya Tashowurat melakukan suatu upaya perujukan secara setengah hati antara aristoteles dan ibn Mskawaih. Dia memluai dengan mengecam doktrin ceratio ecnihilo, dengan mengatakan bahwa tuhan itu selamanya merupakan pencipta yang mengkaitkan edsistensi penciptaan pada dirinya. Dengan kata lain dunia ini merupakan suatu karena kekuasaan tuhan yang menyempurnakan  meski dalam hak dan kekuatan sendiri, ia tercipta muhadats.
Dalam karyanya yang belakangan, Thusi meninggalkan sikap seraya mendukung sepenuhnya bahwa existensi "yang mungkin" bergantung  pada "yang pasti"; dan karena ia maujud akibat sesuatu yang lain darinya, maka tidak dapat dikatakan bahwa ia dalam keadaan maujud, sebab penciptaan yang maujud itu the ada, maka begitu juga kemaujudan yang pasti itu menciptakan yang mustahil itu dari ketiadaan. Peruses semacam itu disebut penciptaan dan hal yang ada itu disebut yang tercipta (muhadats).
Mengenai sumber existensi Thusi berpendapat  bahwa sumber existensi adalah satu, yaitu kehendak Allah yang maha tinggi, yang disebut dengan "kalam". Makhlauk peserta yang tercipta langsung dengan kehendak kreatif tersebut tanpa perantara apapun ialah akal pertama. Semua makhluk lain terjadi dari kehendak ilahi dengan berbagai perantara. Jadi, jiwa tercipta melalui akal dan hyle, alam dan benda lahir tercipta melalui jiwa.
Pendapat Thusi mengenai fakultas-fakultas jiwa cenderung kepada Ibn Sina. Eksistensi jiwa rasional menurut beliau beliau tidak memerlukan bukti, karena ia adalah entittas yang mewujud dengan dirinya sendiri, karena wujud rasional adalah essensi dan realitasnya, yang mengetahui tanpa perantara apapun. Keterlepasanya dari organ duniawi dibuktikan dengan fakta bahwa jiwa mengetahui dirinya dan mengetahui bahwa ia mengetahui dirinya, sebaliknya organ inderawi seperti tubuh lain, digunakan oleh jiwa sebagai instrument.



Pemikiran Politik
Ide-ide politik thusi sebagai besar mengambil pemikiran al-Farabi. Bahasa beliau mengenai ilmu politik berupaya mencari asosiasi yang terteib sebagai sebuah prakondisi kehidupan yang bahagia, yang ada dalam bagian "domestic". Tanpa asosiasi yang terdiri dari kerja sana yang saling sama yang saling menguntungkan yang dikontrol oleh keanekaragaman kebutuhan, masyarakat berperadaban the mungkin terwujud. Hal ini yang dimaksudkan para filosof bahwa manusia pada dasarnya ialah hewan politik.
Karena adanya konflik aspirasi, kerakusan dan kegilaan kekuasaan yang memaksa seseorang bertindak, maka sato model otoritas manajemen (tadbir) sangat essensial dan merupakan akar organisasi politik. Jika disesuaikan dengan rule of wisdom menajemen tersebut dinamakan pemerintah ilahi. Aristoteles memebedakan tiga model pmemeritah; monarki, tirani, demokrasi. Thusi mengangap yang pertama sebagai bentuk ideal mirip plato, dia cenderung memilih aristokrasi atau pemerintah orang utama, dengan penembahan ide-ide syiah. Jadi rajanya diperintah oleh "petunjuk ilahi". Kedudukanya berada di bawah imam, atau pemimpin spiritual masyarakat, yang didenfinisikan plato sebagai pemimpin dunia.
Tingaktan assosiasi menurut Thusi berantai dari rumah tangga di tingkat lokal, kemudian kota, bangsa dan seluruh dunia. Setiap tingkatan pasti memiliki seseorang ketua, yang tunduk kepada tingkatan yang lebih tinggi, hingga mencapai "pemimpin dunia" atau yang dipertuan agung.
Akibat pentingnya assosiasi, menurut Thusi kehidupan menyendiri baik itu pertama, asketik, berlawanan dengan moral, yang tidak hanya terdiri dari pematangan dari kesenangan manusia, tetapi hanya menghindarkan eksesnya dan ini merupakan esensi keshalehan. Orang-orang yang dengan sengaja memutuskan diri dari dunia kebersamaan tidak lebih baik dari pada objek tak bernyawa atau mayat.
Faktor yang mengikat manusia untuk bersama dan mematri mereka dalam sebuah komunitas tunggal ialah ikatan cinta. Ikatan ini berdasarkan kesatuan alamiah, dan lebih superior dibandingkan dengan keadilan, dan hnya jika cinta hilang, maka kebutuhan akan keadialn muncul.
Menurut Thusi ada dua macam cinta; cinta alamiah dan cinta voluntaris. Cinta voluntaris. Cinta voluntaris terbagi menjadi: (1) yang muncul dan lenyap secara cepat, (2) yang muncul cepat namun lambat lenyapnya, (3) yang muncul lembat namun cepat lenyapnya, (4) yang muncul dan lenyapnya lambat. Semua cinta itu bisa terkena perubayhan dalam perjalanan waktu dan diwarnai ego dan keangkuhan. Hanya cinta kepada Allah yang dimiliki oleh filosof sejati, yang bebes dari kekurangan yang diberikan kepada hamba-hamba Allah yang terpilih.

Tentang Kepemimpinan
Kualitas yang mesti dimiliki pemerintah religius atau imam ialah: (1) mempunyai nasib yang baik, (2) sifat yang terpuji, (2) bijaksana, (4) bergantung kepada bantuan-bantuan yang dapat dipercaya, (5) berkemauan keras, (6) ulet dan tabah, dan (7) betul-betul kaya.
Untuk menjamin pemerintahan yang tertib dan berkeadilan, seorang pemimpin mestilah menjaga kelas-kelas masyarakat yang berbeda secara seimbang. Dia tidak boleh bagaimanapun mengabaikan derajat sosial dan diskriminasi politik.

Manajemen Kerumahtanggaan
Salah satu pemikiran orisinal Thusi dalam meluaskan lingkup etika ialah merambah ke bidang manajemen rumah tangga. Dia mengungkapkan bahwa prinsip dasar regulasi rumah tangga terdiri dari tiga: (1) untuk memlihara keseimbangan rumah tangga yang telah terbangun, (2) memperbaiki ketidak harmonisan, (3) memajukan kesejahteraan setiap angota secara individual sebagaimana anggota rumah tangga kolektif.
Dalam kaitan ini, rumah tangga bisa diibaratkan tubuh manusia dan dokternya, yang bertugas menjaga kesehatan dan restorasi tubuhnya.
Tujuan mempunyai isteri adalah untuk memelihara kepemilikan dan untuk melanjutkan keturunan. Oleh karena itu kualitas utama seorang isteri ialah harus hemat dan subur. Disamping itu harus penuh kasih sayang, sederhana, sabar, dan shaleh.

Kesimpulan
Nasruddin Thusi merupakan slah seorang pemikir yang membangkitkan kemballi nilai-nilai ilmu filsafat setelah pada masa sebelumnya dunia intelektualistas mengalami stagnasi akibat intimidasi dan penyerangan hulagu khan. Dalam masalah filsafat terutama metafisika beliau lebih banyak setuju pada pendapat aristoteles walaupun sesekali ia mengkritik filsafatnya juga. Dan masalah etika beliau menyatakan bahwa Zpenyakit moral itu merupakan penyimpangan-penyimpangan jiwa dari keseimbangan, dan penyebab penyakit moral ialah salah satu dri tiga hal: keberlebihan, keberkurangan, dan ketidak wajaran akal.















DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Amin, Husain, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, (Bandung: Remaja
Rosda Karya, 1999)
Baqir Ash-Shdr, Muhammad, Falsafatuna, (Bandung: Mizan, 1998)
Baker, Osman, Hierarki Ilmu, (Bandung: Mizan, 1998)
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998)
Syarif MM, M.A. Para Filosof muslim, (bandung: mizan, 1998) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar