A.
Agama dan Etika
Pandangan Marx terhadap agama
diambil dari Feurbach menyalahkan bahwa agama merupakan alienasi berdasarkan
Hakikat manusia diberi bentuk dengan nama “Allah”. Akan tetapi, dengan penciptaan
“Allah” ini, manusia diasingkan dari dunia kini dan Kalau manusia diletakkan di
luar dirinya sendiri, ia kehilangan sesuatu yang amat penting. Dengan demikian,
proses ini harus dikembalikan lagi supaya manusia dikembalikan kepada dirinya
sendiri.
Kalau Feurbach hanya
memperhatikan “bagaimana” menciptakan “Allah” dan surga, Marx menerangkan “mengapa”-nya
Manusia percaya kepada Allah, akhirat, dan surga serta neraka, karena penderitaannya
dari struktur sosial ekonomisnya yang telah menghimpitnya. (Juhaya S. Pradja,
2002: 113)
Bagi Marx dan para pengikut Marxisme,
agama adalah candu bagi masyarakat, karena agama membius masyarakat untuk
(tidak) mengatasi kesulitan sosial ekonominya.. Akan tetapi, bukan terapi.
Manusia hanya sembuh jika ia bisa mengatasi alienasi sosial ekonomisnya yang merupakan
alienasi religious.
Filsafat Marxisme mengingkari
adanya prinsip-prinsip yang abadi alam etika dan tata susila Konsekuensinya
segala teori moral merupakan hasil dari tingkatan ekonomi masyarakat pada masa
tertentu, Karena masyarakat telah menjelma menjadi “perjuangan kelas”, tata susilanya
pun tata susila keras.
Dengan demikian, segala cara
untuk melaksanakan cita-cita perjuangan kelas, termasuk mengubah dan merobohkan
masyarakat, semuanya baik. The end justifies the means. (tujuan menghalalkan
segala cara yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab: al-ghayah tubarrir
al-wasilah). Maka tidak heran jika berdusta, berkhianat, dan berbagai
bentuk tipu muslihat, semuanya dinilai sah dan halal untuk dilakukan oleh kaum
komunis. (Juhaya S. Pradja, 2002 : 113)
Menurut Marx, sebagaimana
dikatakan oleh Kamenka bahwa etika tidak ada sangkut pautnya dengan pemasangan
norma-norma abstrak dan daftar-daftar kewajiban. Jadi, dengan moralisme. Urusan
etika adalah hal kebaikan. Kamenka mencoba memberikan deskripsi fenomenologis
mengenai apa yang baik dan apa yang jahat. Baik adalah motivasi-motivasi yang
bebas dan kreatif yang tidak memerlukan tekanan dari dalam atau perlindungan
atau paksaan dari luar, yaitu kegiatan-kegiatan tanpa pamrih yang tidak takut
pengetahuan dan tidak memerlukan kekeliruan. Kejahatan-kejahatan, meskipun
tidak dapat dipunahkan bersifat benalu terhadap yang baik. Kejahatan tidak
hanya menimbulkan konflik dengan yang baik, melainkan juga menimbulkan konflik
dengan kejahatan lain. Kejahatan dilakukan demi pamrih berlawanan dengan sikap
tanpa pamnih, represif bertentangan dengan kebebasan, kejahatan membuat habis
bertentangan dengan sikap produktif. Yang baik menyertakan kecondongan khas
pada gerakan-gerakan yang “mengatasi” individu, kepada cara-cara ludup di mana
kita diangkat, yang jahat mendukung yang partikular Sifat sifat khas yang baik
memperlihatkan diri dalam cinta kasih dan keberanian dan produktif, dalam
kejujuran Si para kritisi dalam sikap lepas-bebas dari diri sendiri dan dalam
dedikasi pada karya. Yang baik tidak memerlukan sensor, hukuman. perlindungan
sebagai bagian cara kerjanya. (Thanz Magnis,1992 : 126).
Marx juga menolak daftar norma
moral dari luar, dalam anti tuntutan hukum dan kewajiban. Bukan hanya karena
ia, sama dengan Hegel, menolak moralisme, melainkan karena bertakluk terhadap
norma-norma seperti itu berarti heteronomi bagi manusia. Adanya moralitas
seperti itu dalam sebuah masyarakat menunjukkan bahwa masyarakat itu tidak utuh
bahwa manusia terasing dari hakikatnya bahwa hakikatnya itu telah menjadi
kekuatan asing yang berhadapan dengannya. Bagi Marx, menundukkan diri ke bawah
moralitas semacam itu tidaklah etis.
Masyarakat yang dicita-citalcan
Marx bersifat sosial, utuh, terbuka, yaitu manusia menarik kembali
kekuatan-kekuatan hakikatnya yang terasing ke dalam dirinya sendiri Jadi,
masyarakat yang tidak lagi berdasarkan akomodasi lahiriah egoisme-egoisme yang
hanya berdasarkan paksaan negara atau pertimbangan untung-rugi, melainkan berdasarkan
kerja sama dan komunikasi bebas dan spontan.
B.
Emansipasi Manusia Karl Marx
Karya Marx berdasarkan pengakuan
implisit perbedaan antara apa yang baik, yang menunjukkan diri dalam kerja sama
dan komunikasi bebas, dan apa yang jahat, yang selalu ada unsur penindasannya.
Demikianlah pengartian Kamenka (diuraikan oleh Franzx Magnis Suseno) terhadap
distingsi Marx antara universalitas yang hanya numerik (dalam arti memuat semua
unsur dalam wilayahnya) dan yang dikualitatifkan (dimana universalitas masuk ke
dalam penghayatan masing-masing unsur). Nafsu memiliki bertabrakan dengan nafsu
memiliki, kerakusan dengan Kerakusan, keamanan mengancam keamanan. Juga kalau
benar bahwa semua orang mendukung tuntutan-tuntutan itu, fakta bahwa semua yang
dituntut beliau membentuk kepentingan bersama. Semua tuntutan hanya untuk
kepentingan negara, bukan kepentingan manusia, dan semua tuntutan hanya untuk
kepentingan sejatinya pribadi bukan sejatinya manusia. (Fanz Magnis,1992 : 127)
Marx pernah memancarkan pesona
kuat ke dalam kalangan kaum buruh maupun, barangkali lebih, ke dalam kalangan
kaum cendekiawan. Gerakan New Left di universitas-universitas dunia Barat tahun
enam puluhan abad ini membuktikan hal tersebut. Sekarang, Marx tidak banyak
dibicarakan lagi. Barangkali, itulah situasi untuk melihat pemikiran Marx
dengan lebih tenang.
Di antara sekian banyak sudut
teori Marx yang dapat diselidiki, ada tiga pokok yang mendasari teori Karl Marx
dan dapat menjelaskan mengapa pikirannya begitu atraktif: (1) “Imperatif
kategoris” emansipasi manusia; (2) paham tentang pekerjaan sebagai perwujudan
diri manusia dan (3) ajarannya tentang perubahan revolusioner struktur-struktur
sosial. (Juhaya S. Pradja, 2002 : 113)
Marx menuntut secara kategorik
emansipasi manusia. Emansipasi itu baru tercapai apabila manusia membebaskan diri
dari segala heteronomi dan dapat berkembang secara bebas dan utuh sesuai dengan
kekayaan hakikat sosialnya. Tuntutan itu berdasarkan penilaian spontan Marx
bahwa tindakan-tindakan baik adalah tindakan-tindakan baik adalah
tindakan-tindakan yang dilakukan bukan karena takut atau tekanan atau
kepentingan tertentu, melainkan. mengungkapkan spontanitas, keterbukaan,
kegembiraan berproduksi, kejujuran, dan objektivitas. Tampaknya, itulah penilaian
fundamental yang mendasari seluruh karya Marx, meskipun tidak pernah
diungkapkan secara eksplisit. (Franz Magnis, 1992 : 128)
Dengan bertolak dari Feurbach.
Marx mengkritik agama. Baginya, agama hanyalah proyeksi sifat-sifat hakikat
manusia ke dalam surga. Di depan sifat-sifat hakikatnya sendiri yang sekarang
mandiri sebagai makhluk-makhluk surga, manusia membungkukkan lututnya. Bagi
Marx, sikap berlutut itu tidak pantas. Pertama, karena manusia membungkuk
terhadap kekuatan di luarnya. jadi, menjadi heteronom. Kedua, karena kekuatan itu
hanyalah kekuatan-kekuatan manusia sendiri. Jadi, manusia mengosongkan diri dan
memisahkan diri dari kemungkinan untuk merealisasikan identitasnya.
Akan tetapi, Marx memperdalam
kritik Feurbach itu. Menurut Marx, manusia hanya dapat memproyeksikan
hakikatnya ke dalam surga, karena ia sudah terasing daripadanya. Oleh karena
itu, agama bagi Marx adalah sekunder. Yang seharusnya dikritik adalah
keterasingan nyata manusia dalam masyarakat modern. Karena apabila aku
menyangkal kuncir yang berbedak, aku masih tetap mempunyai kuncir yang tidak
berbedak. Kritik surga berubah menjadi kritik bumi, kritik agama menjadi kritik
hukum, kritik teologi menjadi kritik politik. Tuntutan emansipasi manusia
membawa Marx secara konsekuen kepada kritik masyarakat. (Fanz Magnis, 1992 :
129)
Emansipasi manusia perlu
diusahakan dan bahwa emansipasi itu tercapai apabila manusia dapat mewujudkan
diri secara bebas dan heteronomi, secara sosial, bebas dari kepentingan, secara
produktif. Pengandaian itu memberikan perspektif menarik bagi sebuah pasal
Marxisme yang sangat problematis. Anggapan bahwa cara produksi kehidupan
material ... mempersyaratkan proses kehidupan sosial, politis dan rohani pada
umumnya.
Dengan memasukkan prinsip-prinsip
moral ke dalam bangunan atas, Marx menyangkal bahwa prinsip-prmsip itu
merupakan faktor-faktor sejarah primer. Sebaliknya, ia menunjukkan pada
hubungan-hubungan ekonomis. Marx mengartikan tuntutan-tuntutan moral sebagai
tuntutan-tuntutan atas nama kewajiban, sebagai keharusan-keharusan yang
dipasang oleh kaum moralis agama atau fiosofis. Tuntutan-tuntutan itu datang dari
luar sehingga bersifat heteronom. Kebebasan dan kemanusiaan sejati, kesosialan
yang benar, tidak memerlukan tuntutan-tuntutan normatif yang luar, melainkan
hanya dapat lahir dari manusia konkret dalam hubungan-hubungan sosial konkret
sebagai gerakan bebas.
Karl Marx berlandaskan sebuah
pengertian antropologis fundamental bahwa manusia adalah hasil pekerjaannya
sendiri. Marx telah mengembangkan pengertian ini dengan jelas dalam
naskah-naskah Paris
tahun 1844 dan meskipun ia kemudian menukarkan bahasa yang waktu itu masih
berbau Hegel dan Feurbach, alias metafisi, dengan bahasa yang lebih empirik,
pengertian itu tetap fundamental bagi seluruh karya marx kemudian.
Marx mengakui bahwa pengetian
dasar tentang pekerjaan sebagai perealisasian diri manusia ditemukan oleh
Hegel. Yang besar pada fenomenologi Hegel ialah bahwa ia memahami hakikat
pekerjaan serta mengerti manusia yang objektif yang benar karena nyata, sebagai
hasil pekerjaannya sendiri. Akan tetapi, kalau Hegel puas dengan pengertiannya
menganggap dunia sudah. diperdamaikan, Marx menemukan dua pengertian ini kunci
bagi pengertian bagi sejarah yang lampau maupun yang akan datang.
Marx memahami manusia sebagai
makhluk objektif. Maksudnya ialah bahwa manusia selalu menemukan diri dalam
dunia, kata Marx, “dalam alam”. Dengan demikian, manusia baru nyata apabila ia
mengobjektifkan ke dalam dunia. Sekaligus alam itu harus disesuaikan dengan kebutuhan
manusia. Untuk itu, manusia bekerja.
Penting untuk memerhatikan dengan
tepat apa yang terjadi dalam pekerjaan. Ada
dua hal yang terjadi. Di satu pihak, manusia mengubah sebuah objek alami. Objek
itu tidak lagi sama eperti sebelum dikerjakan. Ia menerima bentuk baru, bentuk yang
diberikan kepadanya oleh si pekerja. dengan kata lain, melalui pekerjaan, alam
menerima bentuk manusia menjadi alam manusiawi. Jadi, manusia memamerkan dalam
alam kemampuan-kemampuannya, menurut Marx: kekuatan-kekuatan hakikatnya. Alam yang telah dikerjakan menjadi
saksi tentang apa yang menjadi kemampuan mnusia. Jadi, meliputi juga tentang
apa manusia Kita dapat mengatakan bahwa melalui pekerjaan, manusia alam menjadi
objektivitas kekuatan-kekuatan hakikat manusia.
Dengan demikian, segi yang kedua
juga terungkap. Dengan mengeluarkan kekuatan-kekuatan hakikatnya pada alam,
manusia membenarkan atau membuktikan dininya. Apa yang sebelumnya hanya berupa
bakat dan kemungkinan semata-mata, melalui pekerjaan, hal tersebut menjadi
kenyataan. Karya manusia memberi kesaksian tentang apa manusia itu. Bahkan,
hanya melalui tindakan, manusia dapat ke luar dan kemungkinan umum dan masuk ke
dalam kenyataan konkret dan jelas. Oleh karena itu, pekerjaan merupakan
perealisasian diri manusia.
Manusia selalu menemukan diri dalam
sebuah dunia yang tertentu. Dunia ini diubah melalui pekerjaan. Bagaimana ia
melakukan bergantung, kecuali dan kecakapan-kecakapannya, terutama dan tingkat
perkembangan alat-alat kerjanya dan dan bentuk dunia di dalamnya, ia menentukan
diri. Dengan mengubah dunia yang ditemuinya itu, manusia sekaligus mengubah
ruang tempat generasi berikut umat manusia akan menemukan diri.
Generasi-generasi beriikut harus bergulat dengan sebuah dunia yang diambil alih
dari pendahulu-pendahulunya; dengan alat kerja, keterampilan teknis dan
kecakapan tertentu. Dengan demikian, setiap generasi berdasarkan generasi yang
sebelumnya.
Itu juga berlaku ke belakang.
Dunia kita sekarang sebenarnya bukan alam alami. Ia adalah hasil pekerjaan
semua generasi yang mendahului kita. Alam sebagaimana kita menemukannya
sekanang adalah karya manusia. Oleh karena itu, Marx menyebut sejarah industri
“buku terbuka kekuatan-kekuatan hakikat manusia”, sebagai “penyingkapannya yang
eksoteris”. Industri adalah sejarah pembentukan umat manusia yang telah menjadi
alam.
Manusia dalam arti. kata yang
sebenarnya adalah produk pekerjaannya sendiri. “Bagi manusia sosialis, semua
yang dikatakan sejarah dunia merupakan penciptaan manusia melaku pekerjaan
manusia terjadinya alam bagi manusia”. Tepatnya, umat manusia yang meneruskan
dirinya sendiri dalam sejarah, membuat dirinya sendiri. Itu tidak hanya berlaku
bagi produksi material, tetapi juga berlaku bagi kehidupan rohani dan kultural
manusia. Hegel sudah melihatnya bahwa sejarah bukanlah sederetan peristiwa
kebetulan, melainkan di dalamnya terungkap sebuah roh objektif. Akan tetapi,
menurut Marx, Hegel masih tinggal dalam alam pikiran abstrak. Marx
mengatakannya secara “materialis”, lebih tepat realis. Bukan roh objektif yang
mengungkapkan diri, melainkan umat manusia di mana satu generasi berada di atas
pundak generasi yang satunya. Untuk itu, Habermas merumuskan istilah “kegiatan
transendental” karena pekerjaan konkret empiris, generasi yang satu menyediaan
ruang yang merupakan syarat kemungkinan kegiatan empiris generasi berikut.
Habermas mengkritik bahwa Marx
mereduksi manusia pada pekerjaan. Menurut Habermas, Marx tidak memerhatikan
tindakan dasar manusia yang satu lagi yang sebenarnya diandaikannya sendiri
dalam ajarannya tentang masyarakat dan merupakan prasyarat pengembalian kebebasan.
Tindakan dasar interaksi yang sekaligus membuat manusia mampu untuk berefleksi.
Sebelum segala mediasi oleh pekerjaan, manusia selalu berhubungan dengan
manusia lain.
Dengan demikian, Marx tidak dapat
menghindar dari determinisme dangkal. Unsur kebebasan dan otonomi justru hilang
dari pengertian perkembangan manusia Ternyata, Marx tidak pernah menyangkal
interpretasi deterministik yang diberikan Engels atas pemikirannya.
Otonomi yang memang sangat
deterministik dibandingkan dengan determinisme sebuah proses alami. Dengan
demikian konsepsi Marx menjatuhkan manusia ke dalam heteronomi yang sebenarnya hendak
diatasnya sendiri. Ajaran tentang sifat jimat komodita yang dengan sendiri berbau
jimat, karena Marx menjadikannya jimat simpul Gordik semua keburukan umat
manusia dalam bentuk yang diberikan Marx itu tidak dapat dipertahankan. Karena
ajaran ini berdasarkan anggapan bahwa seluruh nilai ekonomis (nilai tukar)
semata-mata diciptakan oleh pekerjaan tangan. Anggapan ini sekarang tidak
diterima lagi. (Fanz Magnis Speno, 1992 : 143).
Bagi Marx, perubahan sosial hanya
dapat berjalan melalui revolusi. Marx menganalisis bahwa hubungan-hubungan yang
ditentukan oleh kapitalisme tidak sesuai dengan manusia. Dengan demikian,
anailsis itu sekaligus memuat seruan agar hubungan-hubungan itu diubah. Marx
menuntut revolusi. Revolusi yang menurut Marx merupakan hasil tak terelakkan berdasarkan
hukum-hukum objektif perkembangan masyarakat, dapat sekaligus dijadikan objek
agitasi politis.
Emansipasi hanya dapat tercapai
melalui penghapusan hak milik pribadi atas alat-alat produksi. Mengingat hak
milik pribadi itu merupakan dasar seluruh sistem masyarakat sekarang hal itu
berarti bahwa seluruh sistem itu perlu diigulingkan, maka revolusi tak terelakkan.
Jadi, Marx berpendapat bahwa struktur
masyarakat sendiri perlu diubah, Keadaan sosial yang buruk, kenyataan
keterasingan, tidak berakar dalam kejahatan individual, melainkan dalam
struktur kapatalis masyarakat. Dengan demikian, Marx mendobrak paksaan sistem.
Siapa yang sungguh sungguh terlibat pada penghapusan ketidakadilan dan penghisapan,
yang ingin membangun dunia yang manusiawi dan adil, menurut Marx tidak boleh
puas dengan tindakan tambal sulam, melainkan harus meruntuhkan sistem sendiri
yang struktur-strukturnya mendasari keadaan buruk itu. (Fanz Magnis Suseno,
1992 : 142)
Dengan mengalihkan pandangan dari
dataran moralisme dan moralitas individual ke struktur-struktur sosial, dengan
menunjukkan bahwa sebuah sistem sosial bukan sesuatu yang tak berubah sejak
awal zaman, melainkan perlu dipertanyakan. Marx memberikan sumbangan penting
dan lestari terhadap pemecahan problem-problem masyarakat manusia yang dengan
segala kata yang tepat pun tidak dapat digelapkan.
Pandangan materialis sejarah Karl
Marx sebagaimana khas bagi posisinya yang definitif dan yang masuk ke dalam Marxisme,
mencoba menjelaskan keniscayaan revolusi dan kontradiksi-kontradiksi internal
sistem kapitalisme. Ramalan Marx ternyata meleset. Sistem kapitalisme tidak
rubuh dalam revolusi sosialis.
Bahwa manusia selalu menemukan diri
dalam struktur-struktur sosial tertentu dan bahwa struktur-struktur itu
merupakan kerangka acuan bagi tindakan-tindakannya, hanya membuktikan bahwa ia
harus memerhatikan struktur-struktur itu, dan bukan berarti bahwa ia tidak
dapat mengubahnya. Sebaliknya. Marx mengandaikan bahwa manusia dalam
pekerjaannya terus menerus membangun, dan itu berarti mengubah
struktur-struktur itu. Dengan demikian, anggapan bahwa segala macam dapat
dihapus, dan hanya dapat dihapus melalui pengubahan revolusioner
struktur-struktur itu adalah pernyataan yang sekaligus kurang dan berlebihan.
Kurang karena pembongkaran struktur tidak adil yang lama mesti menghasilkan
struktur yang lebih adil. Berlebihan karena tidak terbukti bahwa penghisapan
dan penindasan hanya dapat dikurangi melalui revolusi. Sekaligus perlu
diragukan bahwa masuk akal berbicara tentang penghapusan total segala penghisapan
dan penindasan. Bukankah harapan semacam itu utopis? Bukankah lebih masuk akal
kalau usaha bersama diarahkan pada sasaran pengurangan penghisapan dan
penindasan selangkah demi selangkah daripada pada utopi suatu penghapusannya?
Jadi, pengandaian dasar Marx bahwa keadaan masyarakat hanya dapat diperbaiki
melalui revolusi tidak berdasar dan menyesatkan. dan tidak akan ada perbaikan
real menjadi utopis. Apabila manusia hanya ditentukan oleh struktur-struktur,
berarti segala macam sosial juga terletak dalam manusia sendiri. Hal itu dalam
struktur apa pun penghisapan dan penindasan dapat saja terjadi (hal mana tidak
berarti bahwa struktur bukan hal penting; tentu kita perlu berusaha mewujudkan
struktur-struktur yang menunjang hubungan sosial yang adil). Kalau seluruh
keselamatan diharapkan dari revolusi, bisa juga kita salah perhitungan.
Revolusi, daripada mewujudkan emansipasi, malahan melahirkan represi-represi
baru.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Segala
puja dan puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kita
kesehatan jasmani maupun rohani.
Shalawat
beserta salam kita sanjungkan kepada baginda kita Nabi Besar Muhammad SAW, yang
mana beliau telah membawa umat Islam dari zaman zahiliyah menuju zaman
Islamiyah yang Alhamdulilah telah kita rasakan sekarang ini.
Kami
sangatlah bersyukur kepada Illahi Robbi yang telah memberikan kemudahan kepada
kami sebagai penulis makalah ini, berkat bantuannyalah kami bisa menyelesaikan
makalah ini walaupun masih banyak kekurangan dan kesalahan yang penulis buat
maupun disengaja atau tidak dalam penyusunan makalah ini karena manusia itu
sesungguhnya tidak ada yang sempurna selain yang Maha Esa yaitu Allah SWT.
Kami
mengucapkan berterima kasih banyak kapada Allah SWT yang telah membantu kami
dari segi kesehatan dan wawasan dalam pembuatan makalah ini, kepada Nabi Besar
Muhammad SAW, Kepada orang tua dan
segenap keluarga, Kepada Ibu/Bapak Dosen dan teman – teman yang telah
memotivasi kami untuk menyelesaikan makalah ini.
Sekali
lagi kami meminta maaf atas kekurangan dan kekhilafan yang kami buat dalam
pembuatan makalah ini.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Serang, Oktober 2010
Penulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar