Rabu, 28 Maret 2012

AS-SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM SYARA


perjalanan, kemudian waktu shalat datang kepada mereka, namun mereka tidak mendapatkan air, lalu mereka bertayamum dan melakukan shalat, lantas mereka menemukan air pada waktu shalat itu, kemudian salah seorang dan mereka mengulangi shalatnya dan seorang lagi tidak mengulangi. Lalu ketika mereka menceritakan perihal mereka kepada Rasulullah saw., maka beliau mengikrarkan kepada masing-masing dan keduanya atas apa yang telah diperbuatnya. Beliau mengatakan kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya: “Kamu telah melakukan sunnah dan shalatmu telah mencukupimu”. Dan kepada orang yang mengulangi shalatnya beliau berkãta: “Kamu rnendapit pahala dua kali”.
Juga seperti hadits yang diriwayatkan:
اَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذَابْنَ جَبَلٍ اِلىَ اْليَمَنِ قَالَ لَهُ بِمَا تَقْضِىْ؟ قَالَ: اَقْضِىْ بِكِتَابِ اللهِ فَإِنْ لَمْ اَجِدْ فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ، فَإِنْ لَمْ اَجِدْ اَجْتَهِدُ رَأْيىِْ. فَاَقَرَّهُ الرَّسُوْلُ وَقَالَ: اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لِمَا يُرْضِىْ رَسُوْلَ اللهِ.
Artinya :
“Sesungguhnya beliau saw. ketika mengutus Mu‘adz bin Jabal menuju Yaman, beliau bersabda kepadanya.: “Dengan apakah kamu mengadili?“. Mu’adz menjawab. “Saya akan mengadili berdasarkan kitab Allah !“. Jika saya tidak menemukan, maka berdasarkan sunnah Rasulullah, kemudian jika saya tidak menemukan, maka saya berijtihad dengan pendapatku”.
Lantas Rasululiah saw. mengakuinya dan bersabda: “Segala puji adalah bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah pada sesuatu yang diridhai oleh Rasululiah “.
A.    Kehujjahan As-Sunnah.
Ummat Islam telah sepakat bahwasanya apa yang keluar dan Rasulullah saw., baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqriri, dan hal itu dimaksudkan sebagai pembentukan hukum-hukum Islam dan sebagai tuntunan, serta diriwayatkan kepada kita dengan sanad yang shahih yang menunjukkan kepastian atau dugaan kuat tentang kebenarannya, maka ia menjadi hujjah atas kaum muslimin, dan sebagai sumber hukum syara’ yang mana para mujtahid mengistimbathkan berbagai hukum syara’ dari padanya berkenaan dengan perbuatan orang-orang mukallaf. Maksudnya, bahwasanya hukum-hukum yang terdapat dalam sunnah-sunnah ini, bersama dengan hukum-hukum yang terdapat. di dalam Al-Qur’an membentuk suatu undang-undang yang wajib diikuti.
Bukti-bukti atas kehujjahan sunnah banyak, antara lain:
Pertama: Nash-nash Al-Qur’an. Sesungguhnya Allah SWT dalam beberapa ayat kitab Al-Qur’an telah memerintahkan untuk mentaati Rasul-Nya, dan menjadikan ketaatan kepada Rasul-Nya sebagai suatu ketaatan kepada-Nya. Allah juga memerintahkan kaum muslimin apabila mereka bertentangan mengenai sesuatu untuk mengembalikannya kepada Allah dan Rasul. Dia juga tidak memberikan kebebasan memilih kepada orang yang beriman apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sesuatu hal. Bahkan Allah meniadakan iman dan orang yang tidak merasa tenteram menerima putusan Rasulullah saw. dan tidak menyerahkan kepadanya. Kesemuanya ini merupakan bukti dan Allah, bahwa pembentukan hukum syara’ dan Rasulullah saw. sekaligus merupakan pembentukan hukum syara’ oleh Tuhan, yang wajib diikuti.
Allah SWT. berfirman:
ö@è% (#qãèÏÛr& ©!$# š^qߧ9$#ur ( bÎ*sù (#öq©9uqs? ¨bÎ*sù ©!$# Ÿw =Ïtä tûï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÌËÈ
Artinya:
Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul...”(Q.S. Ali ‘Imran : 32).
Juga berfirman:
`¨B ÆìÏÜムtAqߧ9$# ôs)sù tí$sÛr& ©!$# (
Artinya:
Barang siapa yang mentaati Rasul itu, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah....” (Q.S. An-Nisa’: 80).
Dia juga berfirman:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya dan ulil amri dan kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (AlQur’an) dan Rasul (Sunnahnya). (Q.S. An-Nisa’ : 59).
Dia juga berfirman:
$tBur tb%x. 9`ÏB÷sßJÏ9 Ÿwur >puZÏB÷sãB #sŒÎ) Ó|Ós% ª!$# ÿ¼ã&è!qßuur #·øBr& br& tbqä3tƒ ãNßgs9 äouŽzÏƒø:$# ô`ÏB öNÏd̍øBr& 3
Artinya:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain“. (Q.S. Al-Ahzab: 36).
Kemudian Allah juga berfinnan:
Ÿxsù y7În/uur Ÿw šcqãYÏB÷sム4Ó®Lym x8qßJÅj3ysム$yJŠÏù tyfx© óOßgoY÷t/ §NèO Ÿw (#rßÅgs þÎû öNÎhÅ¡àÿRr& %[`tym $£JÏiB |MøŠŸÒs% (#qßJÏk=|¡çur $VJŠÎ=ó¡n@ ÇÏÎÈ
Artinya:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam diri mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya “.  (Q.S. An-Nisa’. 65).
Lalu dia berfirman:
4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (
Artinya:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah ia dan apa yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah….. “ (Q. S. Al-Hasyr: 7).
Dengan berhimpunnya ayat-ayat tersebut dan saling menopang, maka ayat-ayat itu menunjukkan de­ngan suatu dalalah yang pasti, bahwa Allah meriwayatkan untuk mengikuti Rasul-Nya berkenaan dengan apa yang disyari’atkannya.
Kedua: Ijma’ para sahabat, baik pada masa hidup Rasulullah saw. maupun sesudah wafatnya, terhadap kewajiban mengikuti sunnahnya. Páda masa hidup Nabi, mereka melaksanakan hukum-hukunmya dan menjalankan Segala perintah dan laranganya, apa yang dihalalkannya dan apa yang diharamkannya.
Dalam kewajiban mengikuti itu, mereka tidak membeda-bedakan antara hukum yang diwahyukan kepadanya di dalam Al-Qur’an dan hukum yang keluar dari Raslullah saw. sendiri. Oleh karena inilah, maka Mu’adz bin Jabal berkata:
اِنْ لَمْ اَجِدْ فىِ كِتَابِ اللهِ حُكْمَ مَااَقْضِىْ بِهِ قَضَيْتُ بِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ.
Artinya:
Jika saya tidak menemukan di dalam kitab Allah hukum yang akan saya pergunakan untuk memutuskan, maka saya memutuskan hukum berdasarkan sunnah Rasulullah “.
Kemudian setelah Rasulullah saw. wafat, para sahabat apabila tidak menemukan hukum sesuatu yang terjadi pada mereka di dalam kitab Allah, maka mereka kembali kepada sunnah Rasulullah.
Abu Bakar ra. ketika tidak hafal sunnah mengenai suatu kejadian, maka ia keluar untuk bertanya kepada kaum muslimin: “Apakah di antara kamu ada yang hafal sunnah dan nabi kita mengenai persoalan ini?”. Demikian pula Umar dan lainnya dan orang-orang yang menghadapi fatwa dan tabi’it- tabi’in yang menempuh jalan mereka. Ternyata tidak diketahui bahwa salah seorang di antara mereka dianggap menyalahi tentang bahwa sunnah Rasulullah saw. apabila benar periwayatannya, maka wajib diikuti.
Ketiga: Bahwasanya Allah dalam Al-Qur’an telah rnewajibkan kepada manusia sejumlah kewajiban secara global, tanpa penjelasan, hukum-hukumnya dan cara pelaksanaannya tidak diterangkan dalam Al-Qur’an. Allah SWT. berfirman:
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¢9$#
Artinya:
Dirikanlah shalat dan terimakanlah zakat”.(QS. An-Nisa: 77)
Juga berfirman:
|=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$#

Artinya:
“...diwajibkan atas kamu berpuasa...”(QS. Al-Baqarah: 183)
Juga berfirman:
3 ¬!ur n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm Ï
Artinya:
“...Mengerjakan hajji adalah kewajiban manusia terhadap Allah....”(Q.S.Ali Imran:97).
Akan tetapi Allah tidak menjelaskan, bagaimanakah shalat itu dilakukan, zakat ditunaikan, puasa dan hajji dilaksanakan. Keglobalan ini telah diterangkan oleh Rasulullah saw. melalui sunnahnya, baik yang qauliyyah (berbentuk perkataan) dan amaliyyah. Karena sebenarnya Allah SWT telah menganugerahkan kepadanya. otoritas untuk memberikan penjelasan mi melalui firman Allah mengenai hal ini:
3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î)
Artinya:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (Q.S. An-Nahl: 44).
Kalau sekiranya As-Sunnah yang menjelaskan itu bukan menjadi hujjah atas ummat Islam dan tidak pula menjadi undang-undang yang wajib diikuti, maka tidaklah mungkin untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban A1-Qur’an maupun mengikuti hukum-hukumnya. As-Sunnah yang menjelaskan itu wajib diikuti hanyalah dan sisi bahwa ia keluar dan Rasul saw., diriwayatkan dan beliau dengan cara yang rnenunjukkan pengertian yang pasti kedatangannya dart beliau atau dugaan yang kuat datang dan beliau.
Setiap As-Sunnah yang membentuk hukum Islam yang terhitung shahih dan beliau adalah hujjah yang wajib diikuti, baik As-Sunnah itu menjelaskan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun membentuk hukum yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an. karena semua As-Sunnah sumbemya adalah Rasululluh saw yang ma’shum yang telah dianugerahi oleh Allah otoritas menjelaskan dan membentuk hukum Islam.
B.     Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an.
Adapun hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an dan segi penggunaannya sebagai hujjah dan referensi bagi istimbath hukum syara maka ia berada pada urutan setelah Al-Qur’an, di mana seorang mujtahid dalam mengkaji suatu kasus tidak akan mengacu kepada As-Sunnah kecuali apabila ia tidak menemukan hukum sesuatu yang ingin diketahui hukumnya di dalam Al-Qur’an, karena sebenarnya Al-Quran merupakan sumber pokok dalam pembentukan bukum Islam dan sumber pertamanya. Maka apabila Al-Quran menyebutkan nash terhadap suatu hukum, maka ia wajib diikuti, dan apabila tidak menyebutkan nash mengenai hukum suatu kasus, maka ia kembali kepada sunnah. Jika ia menemukan hukumnya dalam sunnah, maka ia pun mengikutinya.
Adapun hubungan sunnah dengan Al-Qur’an dan segi hukum yang datang di dalamnya, maka sebenarnya sunnah tidak melampaui salah satu dan tiga hal:
  1. Ada kalanya As-Sunnah itu menetapkan atau mengukuhkan hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an. Jadi, hukum tersebut mempunyai dun sumber dan dua dalil, yaitu:
a.    Dalil yang menetapkan dan ayat-ayat Al-Qur’an, dan
b.    Dalil yang mengukuhkan berupa Sunnah Rasul.
Di antara hukum-hukum dalam kategori ini adalah perintah untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, melaksanakan hajji di Baitullah, larangan menyekutukan dengan Allah, persaksian palsu, durhaka terhadap dua orang tua, membunuh jiwa seseorang tanpa hak, clan berbagai hal yang diperintahkan maupun yang dilarang lainnya, yang telah ditunjuk oleh Al-Qur’an dan dikukuhkan oleh sunnah Rasulullah saw., dan dalil atas hukum itu dikemukakan dan kedua-duanya.
  1. Ada kalanya As-Sunnah itu memeninci dan menafsirkan tenhadap sesuatu yang datang dalam Al-Qur’an secara global, membatasi terhadap hal-hal yang datang dalam Al-Qur’an secana mutlak, atau mentakhshish sesuatu yang datang di dalamnya secara urnum.
Penafsiran, atau pembatasan, ataupun pentakhshishan yang didatangkan oleh sunnah merupakan penjelasan maksud terhadap sesuatu yang datang dalam Al-Qur’an. Karena sebenarnya Allah SWT. telah memberikan kepada Rasul-Nya otoritas untuk menjelaskan terhadap nash-nash Al-Qur’an melalui firman-Nya berkenaan dengannya:
3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) ö
Artinya:
Dan Kami turunkan kepadamu A1-Qur’an agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (Q.S. An-Nahl: 44).
Di antara kategori ini adalah Sunnah-sunnah yang menjelaskan tentang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hajji di Baitullah. Karena sebenarnya Al-Qur’an telah memerintahkan untuk mendirikan shalat, menunaik zakat, dan melaksanakan hajji di Baitullah, namun tidak menjelaskan jumlah raka’at shalat, kadar-kadar zakat, maupun manasik hajji. Sunnah amaliyyah dan qauliyyah yang menjelaskan keglobalan ini.
Demikian pula Allah menghalalkan jual beli dan mengharankan riba. Sunnahlah yang menjelaskan jual beli yang sah dan yang fasid, macam-macamnya riba yang diharamkan.
Allah mengharamkan bangkai, dan sunnahlah yang menjelaskan maksud dan bangkai itu, yaitu selain bangkai lautan; dan lain sebagainya yang termasuk sunnah yang menjelaskan kemujmalan Al-Qur’an, kemutlakannya dan keumumannya As-Sunnah yang demikian dikategorikan sebagai yang melengkapi Al-Quran dan menambahkan kepada Al-Qur’an.
3.      Ada kalanya sunnah itu menetapkan dan membentuk hukum yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an. Hukum ini ditetapkan berdasarkan sunnah dan nash Al-Qur’an tidak menunjukinya.
Di antara sunnah dalam kategori ini ialah pengharaman mengumpulkan (mengawini) seorang wanita dan bibinya (saudara perempuan ayahnya atau saudara perempuan ibunya), pengharaman binatang buas yang bertaring dan jenis burung yang bercakar tajam, dan pengharaman mengenakan kain sutera, dan memakai cincin bagi kaum laki-laki, serta apa yang datang dalam hadits:
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَايَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ.
Artinya:
“Haram lantaran Susuan apa yang haram karena keturunan (nasab)“.
Dan hukum-hukum lainnya yang disyari’atkan berdasarkan sunnah belaka, dan sumbernya adalah ilham Allah kepada Rasul-Nya, atau ijtihad Rasul sendiri.
Imam Asy.’Syafi’i dalam kitab “Risalah“nya yang berkenaan dengan ilmu ushul berkata: “Saya tidak mengetahui dan ilmuwan yang berbeda pendapat mengena bahwa sunnah Nabi saw. itu terdiri dan tiga aspek, yaitu:
Pertama: Sesuatu yang telah diturunkan nash kitab oleh Allah mengenainya,, kemudian Rasulullah saw. menetapkan sunnah seperti sesuatu yang telah terdapat dalam nash kitab Al-Qur’an
Kedua: Sesuatu yang telah diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Agung di dalam Al-Quran secara global. Kemudian beliau menerangkan pengertian yang dimaksud dan Allah.
Ketiga: Sesuatu yang disunnahkan oleh Rasulullah saw. yang tidak ada nashnya dalam kitab Al-Quran.
Sesuatu hal yang pantas diingat bahwasanya ijtihad Rasulullah saw mengenai pembentukan hukum Islam, asasnya adalah Al-Qur’an dan rul tasyri’ dan dasar-dasarnya yang tersebar di dalam dirinya. Dalam pembentukan hukum Islam, beliau bersandar kepada qiyas atas apa yang terdapat di dalam Al-Quran, atau kepada penerapan prinsip-prinsip umum bagi pembentukan hukum Islam. Dengan demikian acuan dan hukum-hukum sunnah adalah kepada hukum hukum Al-Qur’an
Kesimpulan dan apa yang telah kami kemukakan adalah: bahwasanya hukum yang terdapat dalam As-Sunnah itu ada kalanya merupakan hukum-hukum yang menetapkan terhadap hukum Al-Qur’an, ada kalanya merupakan hukum-hukum yang menjelaskannya, dan ada pula kalanya merupakan hukum yang tidak disinggung :oleh Al-Qur’an yang dikembangkan berdasarkan qiyas atas sesuatu yang terdapat di dalamnya, atau dengan menerapkan prinsip-prinsip dan pokok-pokoknya yang bersifat umum. Dengan demikian jelaslah bahwasanya tidak mungkin terjadi pertentangan atau kontradiksi antara hukum-hukum Al-Quran dan As-Sunnah.
C.    Pembahagian As-Sunnah Berdasarkan Sanadnya
As Sunnah ditinjau dan perawi perawinya dan Rasulullah saw dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1.      Sunnah Mitawatirah,
2.      Sunnah Masyhurah, dan
3.      Sunnah Ahad.
Sunnah Mutawatirah adalah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. oleh sekumpulan perawi yang menurut kebiasaannya, individu-individunya itu tidak mungkin sepakat untuk berbohong, disebabkan jumlah mereka yang banyak, sikap amanah mereka, dan berlainannya orientasi dan lingkungan mereka, kemudian dari kelompok perawi ini, sejumlah perawi yang sepadan dengannya meriwayatkan sunnah itu, sehingga sunnah itu sampai kepada kita dengan sanad masing-masing tingkatan dan para perawinya yang merupakan sekumpulan orang yang tidak mungkin mengadakan kesepakatan untuk berdusta, mulai dan penerimaan sunnah itu dan Rasul sampai datang kepada kita.
Di antara kategori sunnah mutawatirah ini ialah sunnah ‘amaliyyah dalam melaksanakan shalat, mengenai puasa, hajji, adzan dan lain sebagainya yang termasuk kategori syiar agama yang diterima oleh kaum muslimin dan Rasulullah melalui penyaksian langsung, atau pendengaran, kelompok dan kelompok, tanpa adanya pertentangan dan masa ke masa, atau dan daerah ke daerah. Sedangkan dalam sunnah qauliyyah jarang sekali ditemukan hadits mutawatir ini.
Sunnah masyhurah adalah sunnah yang diriwayatkan dan Rasulullah saw. oleh seorang, atau dua orang, atau tiga orang sahabatnya yang tidak mencapai jumlah tawatur (perawi hadits mutawatir), kemudian dari perawi atau para perawi ini sekumpulan orang yang mencapai tawatur meriwayatkannya; kemudian sekelompok perawi yang sepadan dengannya meriwayatkannya dan mereka, dan dari kelompok perawi ini sekelompok perawi lainnya yang sepadan. dengan mereka meriwayatkan sunnah itu sehingga sunnah itu sampai kepada kita dengan suatu sanad, di mana tingkatan pertama dalam sanad itu yang mendengar perkataan Rasulullah atau yang menyaksikan tindakan beliau hanya satu orang, atau dua orang, atau beberapa orang, yang tidak mencapai jumlah kemutawatiran, sedangkan tingkatan-tingkatan sanadnya merupakan jumlah perawi yang mutawatir.
Di antara kategori hadits ini ialah sebagian hadits yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin Khattab, atau ‘Abdullab bin Mas’ud, atau Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Rasulullah saw. Kemudian dan salah seorang dari mereka itu sejumlah perawi yang tidak mungkin individu-individunya bersekongkol untuk berdusta meriwayatkan sunnah itu. Misalnya ialah hadits:
اِنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Artinya:
            “Amal-Amal itu hanyalah sah dengan niat”.
بُنِىَ اْلاِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ
Artinya:
“Agama Islam dibangun atas lima sendi....”
لاَضَرَرَ وَلاَضِرَارَ
Artinya:
“Tidak ada madharrat dan tidak ada membuat madharrat terhadap orang lain”
Dengan demikian, maka perbedaan antara sunnah mutawatirah dan sunnah masyhurah adalah; bahwasanya sunnah mutawatirah, seluruh tingkatan dalam silsilah sanadnya merupakan sekelompok orang yang mencapai kemutawatiran, mulai dan permulaan penerimaannya dan Rasulullah saw. sampai kepada kita. Adapun sunnah masyhurah, maka tingkatan pertama di dalam sanadnya bukan merupakan suatu kelompok yang mencapai kemutawatiran, akan tetapi hanya satu orang, atau dua orang, atau sejumlah orang yang tidak mencapai tingkat kemutawatiran yang menerimanya dari Rasulullah saw sampai kepada kita. Adapun sunnah masyhurah, maka tingakatan pertama di dalam sanadnya bukan merupakan suatu kelompok mencapai kemutawatiran, akan tetapi hanya satu orang, atau dua orang, atau sejumlah orang yang tidak mencapai tingkat kemutawatiran yang menerimanya dari Rasulallah saw. Sedangkan tingkatan-tingkatan lainnya merupakan kelompok perawi yang mencapai kemutawatiran.
Sunnah Ahad adalah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. oleh perseorangan yang tidak mencapai jumlah kemutawatiran. Misalnya hadits itu diriwayatkan dari Rasulullah saw. oleh satu orang saja, atau dua orang saja, atau perawi ini perawi yang sepadannya meriwayatkan sunnah itu. Demikian seterusnya sehingga sampai kepada kita dengan suatu sanad yang seluruh tingkatannya adalah perseorangan, bukan kelompok yang mutawatir. Di antara kategori sunnah ini adalah kebanyakan hadits yang dihimpun di dalam kitab-kitab sunnah, dan disebut dengan khabar wahid.
D.    As-Sunnah Yang Qath’i dan Zhanni.
Adapun sunnah ditinjau dari segi kedatangannya, maka sunah mutawatiran merupakan sunnah yang pasti kedatangannya dari Rasulullah saw (Qath iyyatul wurud) karena kemutawatiran periwayatan menunjukkan kepastian mengenai kebenaran bentanya sebagaimana telah kami kemukakan Sedangkan sunnah masyhurah merupakan sunnah yang pasti datangnya (Qath’iyyatul wurud) dan shahabi atau sahabat yang menerimanya dari Rasulullah saw., karena kemutawatiran periwayatan dari mereka, Akan tetapi sunnah ini tidak pasti kedatangannya dari Rasulullah saw., karena orang yang pertama kali menerimanya dari beliau bukanlah kelompok perawi mutawatir Oleh karena inilah, maka ulama Hanafiyyah menjadikan sunnah masyhurah ini dalam hukum sunnah mutawatirah. Jadi ia dapat mentakhshiahkan keumuman Al-Qur’an, membatasi kemutlakannya, karena sunnah ini dipastikan kedatangannya dari sahabat. Sedangkan sahabat adalah hujjah dan dapat dipercayai dalam periwayatannya dan Rasulullah saw. Oleh karena inilah, maka dalam mazhab mereka tingkatan sunnah masyhurah adalah berada di antara hadits mutawatir dan khabar wahid.
Sunnah Ahad adalah zhanniyyah (bersifat dugaan kuat) datangnya dan Rasulullah saw., karena sanadnya tidak menunjukkan kepastian. Adapun dari segi dalalahnya (pengertiannya), maka setiap. sunnah dan beberapa bahagian ini, maka kadangkala ada yang dalalahnya qath’i apabila nashnya tidak memungkinkan pentakwilan, dan ada kalanya dalalahnya zhanni apabila nashnya mengandung kemungkinan takwil.
Dari perbandingan antara nash-nash Al-Qur’an dan nash-nash sunnah ditinjau dan segi qath’i dan zhanni diperoleh kesimpulan, bahwasanya nash- nash Al-Qur’an Karim adalah qath’iyyah wurud seluruhnya, lalu di antaranya ada yang dalalahnya qathi dan ada pula yang dalalahnya zhanni. Adapun As-Sunnah, maka ada kalanya yang kedatangannya qath’i dan adapula yang kedatangannya zhanni. Kemudian masing-masing dan kedua macam itu, ada kalanya dalalahnya qathi, dan ada pula yang dalalahnya zhanni.
Setiap As-Sunnah dan tiga macam sunnah itu, yaitu sunnah mutawatirah, sunnah masyhurah, dan sunnah ahad, adalah hujjah yang wajib diikuti dan wajib diamalkan. Adapun sunnah mutawatirah, maka disebabkan bahwa sunnah itu dipastikan kemunculannya dan kedatangannya dari Rasulullah saw., sedangkan sunnah masyhurah dan sunnah ahad, maka sebenarnya meskipun sunnah itu kedatangannya zhanni dan Rasulullah saw., hanya saja dugaan itu dimenangkan dengan terpenuhinya beberapa syarat dalam diri para rawi, yaitu keadilannya, sempurna kedhabitannya dan keitqanannya. Keunggulan dugaan ini cukup untuk mewajibkan diamalkan. Oleh karena inilah, seorang qadhi memutuskan dengan persaksian saksi, padahal persaksian inmi hanyalah menunjukkan dugaan terhadap sesuatu yang disaksikannya. Shalat juga sah dengan kecermatan dalam menghadap kiblat, padahal ini juga, hanya menunjukkan zhann (dugaan) yang kuat. Dan masih banyak. lagi hukum yang didasarkan atas dugaan kuat. Kalau sekiranya diharuskan kepastian dan keyakinan di dalam segala persoalan amal perbuatan, niscaya manusia akan mendapat kesulitan.

E.     Di Antara Sabda Dan Perbuatan Rasul Ada Sesuatu Yang Bukan Pembinaan Hukum.
Sabda dan perbuatan yang keluar dari Rasulullah saw. merupakan hujjah atas ummat Islam, yang wajib diikuti hanyalah apabila Ia keluar dari beliau dalam fungsinya sebagai Rasulallah dan hal itu dimaksudkan untuk membentuk hukum secara umum dan sebagai tuntunan.
Hal ini disebabkan bahwa Rasulullah saw. juga merupakan seorang manusia sebagaimana manusia-manusia lainnya, beliau dipilih oleh Allah untuk menjadi Rasul kepada mereka, sebagaimana Allah SWT. berfirman:
ö@è% !$yJ¯RÎ) O$tRr& ׎|³o0 ö/ä3è=÷WÏiB #Óyrqム¥n<Î)
Artinya:
“Katakanlah, sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu yang diwahyukan kepadaku...” (Q.S. Al-Kahfi: 110).
1.      Hal-hal yang keluar dari Rasulullah saw. yang bersifat naluri kemanusiaan, seperti berdiri, duduk, berjalan, tidur, makan, minum, adalah bukan syari’at, karena hal ini bukanlah bersumber kepada risalahnya, akan tetapi sumbernya adalah kenmanusiaannya. Akan tetapi apabila suatu perbuatan yang bersifat kemanusiaan keluar dari beliau, dan dalil menunjukkan bahwa yang dimaksud dari perbuatannya itu merupakan tasyri, berdasarkan dalil ini.
2.      Hal-hal yang keluar dari Rasulullah yang berkenaan dengan pengalaman. kemanusiaan, kecerdasan, dan percobaan dalam berbagai urusan keduniawiaan, seperti hal sewa-menyewa, pertanian, pengaturan pasukan, strategi peperangan, resep obat bagi suatu penyakit, atau semisal hal-hal ini, maka ini juga bukan tasyri’ (penetapan hukum Islam). Karena hal itu tidaklah keluar dari misi kerasulannya. Ia hanyalah keluar dari pengalamannya yang bersifat duniawiyah, dan perkiraannya secara pribadi. Oleh karena inilah dalam sebagian peperangannya, beliau ketika berpendapat untuk menurunkan tentara pada suatu tempat tertentu, maka sebagian sahabatnya berkata kepadanya: “Apakah ini tempat di mana Allah menurunkan kamu di sana ataukah ini merupakan pendapat, peperangan, dan tipu daya”.
Beliau menjawab: Justru itu adalah pendapat, peperangan dan tipu daya’.
Sahabat berkata: “Kalau begitu, ini bukan tempatnya”. Lalu sahabat itu menunjukkan untuk menurunkan tentara di tempat lainnya, karena beberapa sebab peperangan yang telah dijelaskannya kepada Rasulullah saw.
Selanjutnya ketika Rasulullah saw. melihat penduduk Madinah mengawinkan pohon kurma. maka beliau memberitahukan kepada mereka untuk tidak usah mengawinkan pohon kurma, kemudian mereka tidak mengawinkannya, dan rusaklah buah-buahnya, kemudian beliau bersabda kepada mereka:
اَبِّرُوْا اَنْتُمْ اَعْلَمُ بَاُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ
Artinya:
“Kawinkanlah, kamu adalah lebih tahu mengenai urusan duniamu.”
3.      Hal-hal yang keluar dan Rasulullah saw. dan dalil menunjukkan bahwa hal itu adalah khusus bagi beliau, dan bukan pula merupakan tuntunan, maka hal itu bukanlah hukum syari’at Islam secara umum, sebagaimana beliau menikah dengan lebih dari empat orang istri, karena sesungguhnya firman Allah SWT.:
(#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur
Artinya:
“...Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat...” (Q.S. An-Nisa’ : 3).
Ayat itu menunjukkan bahwa batas maksimum jumlah istri adalah empat orang. Juga seperti beliau mencukupkan kesaksian Khuzaimah seorang diri saja dalam membuktikan dakwaan, karena sebenarnya nash adalah sharih bahwa bukti adalah dua saksi Di samping itu harus diperhatikan bahwa putusan Rasulullah dalam berbagai sengketanya mengandung dua hal:
a.       Beliau menetapkan kejadian-kejadian itu, dan
b.      Putusan hukumnya di dasarkan atas penentuan tetapnya ke jadian-kejadian itu.
Penetapan beliau terhadap kejadian merupakan suatu perkiraannya saja, bukan suatu penetapan hukum Islam, sedangkan putusan hukumnya Setelah menentukan suatu kepastian suatu kejadian, maka hal itu merupakan suatu penetapan hukum Islam. Oleh karena inilah, maka Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ummu Salamah ra.:
اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ سَمِعَ خُصُوْمَةً بِبَابِ حُجْرَتِهِ فَخَرَجَ اِلَيْهِمِ وَقَالَ اِنَّمَا اَنَابَشَرٌ وَاِنَّهُ يَأْتِيْنِى اْلخُصُوْمُ فَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ اَنْ يَكُوْنَ اَبْلَغَ مِنْ بَعْضٍ فَاَحْسَبُهُ اَنَّهُ صَادِقٌ فَاَقْضِىْ لَهُ بِذَلِكَ. فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقٍّ مُسْلِمٍ فَإِنَّمَا هِىَ قِطْعَةٌ مِنَ النَّارِ فَلْيَأْخُذْهَا اَوْلِيَتْرُكْهَا.
Artinya:
“Bahwasanya Rasulullah mendengar percekcokan di pintu kamarnya maka beliau keluar kepada mereka dan berkata; “Sesungguhnya saya hanyalah manusia dan sesungguhnya orang-orang yang bersengketa datang kepadaku. Maka boleh jadi sebagian dari kamu tebih petah daripada sebagian yang lain, sehingga saya mengira bahwa ia jujur. lalu saya memutuskan hal itu untuknya. Maka barang siapa yang telah kuputuskan untuknya terhadap hak seorang muslim, maka sesungguhnya hal itu adalah sebahagian dari api neraka maka hendaklah Ia mengambilnya atau meninggalkannya”.
Kesimpulannya ialah bahwa sesuatu yang keluar dari Rasulullah saw, baik berupa ucapan, maupun perbuatan dalam salah satu dan tiga kondisi yang telah kami jelaskan maka itulah termasuk sunnah beliau akan tetapi bukan merupakan suatu penetapan hukum Islam dan bukan pula merupakan undang undang yang wajib diikuti Adapun sesuatu yang keluar dari beliau baik ucapan maupun perbuatan dalam fungsinya sebagai seorang rasul dan dimaksudkan sebagai suatu pembentukan hukum Islam secara umum dan menjadi tuntunan bagi ummat Islam maka ia merupakan hujjah atas kaum muslimin dan undang-undang yang wajib diikuti.
Jadi sunnah itu jika dimaksudkan sebagai suatu perjalanan Rasulullah saw dan hal hal yang dilakukannya semasa hidupnya maka ia adalah segala sesuatu yang keluar dari beliau; baik ucapan, perbuatan maupun penetapan. yang dimaksudkan untuk membentuk hukum syara’ dan menjadi tuntunan manusia untuk menunjukkan mereka.
F.     Kedudukan Sunah terhadap Al-Quran
Sunah merupakan sumber kedua setelah Al-Quran. Karena Sunah merupakan penjelas dan Al-Quran, maka yang dijelaskan berkedudukan lebih tinggi dari pada yang menjelaskan. Namun demikian, kedudukan Sunah terhadap Al-Quran sekurang-kurangnya ada tiga hal berikut ini.
1.      Sunah sebagai ta’kid (penguat) Al-Quran
Hukum Islam disandarkan kepada dua sumber, yaitu Al-Quran dan Sunah. Tidak heran kalau banyak sekali sunah yang menerangkan tentang kewajiban shalat, zakat, puasa, larangan musyrik, dan lain-lain.
2.      Sunah sebagai penjelas Al-Quran
Sunah adalah penjelas (bayanu tasyri) sesuai dengan firman Allah surat An-Nahl ayat 44:
3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ
Artinya:
“Dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka[829] dan supaya mereka memikirkan,” (QS. An-Nahi : 44)
Diakui bahwa sebagian umat Islam tidak mau menerima Sunah, padahal dari mana mereka mengetahui babwa shalat Zhuhur itu empat raka’at, Magrib tiga raka’at, dan sebagainya kalau bukan dari sunah.
Maka jelaslah bahwa sunah itu berperan penting dalam menjelaskan maksud-maksud yang terkandung dalam Al-Quran, sehingga dapat menghilangkan kekeliruan dalam memahami Al-Quran.
Penjelasan sunah terhdap Al-Quran dapat dikategorikan menjadi tiga bagian
1.      Penjelasan terhadap hal yang global, seperti diperintahkannya shalat dalam Al-Quran tidak diiringi penjelasan mengenai rukun, syarat dan ketentuan-ketentuan shalat lainnya. Maka hal itu dijelaskan oleh sunah sebagaimana sabda Rasulullah SAW.:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنىِ أُصّلِّى
Artinya:
Shalatlah kamu senua, sebagaimana kamu telah melihat saya shalat.”
2.      Penguat secara mutlaq, Sunah merupakan penguat terhadap dalil-dalil umum yang ada dalam Al-Quran.
3.      Sunah sebagai takhsis terhadap dalil-dalil Al-Quran yang masih umum.
3.      Sebagai Musyar ‘i (Pembuat Syari’at)
Sunah tidak diragukan lagi merupakan pembuat syari’at dan yang tidak ada dalam Al-Quran, misalnya diwajibkannya zakat fitrah, disunahkan aqiqah, dan lain-lain. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat:
1.      Sunah itu memuat hal-hal baru yang belum ada dalam Al-Quran.
2.      Sunah tidak memuat hal-hal baru yang tidak dalam Al-Quran, tetapi hanya memuat hal-hal yang ada landasannya dalam Al-Quran.”