Rabu, 28 Maret 2012

FILSAFAT ISLAM IBNU MISKAWAIH 2


FILSAFAT ISLAM IBNU MISKAWAIH 2

A. Pendahuluan
Segala puji hanyalah milik Allah Rabb semesta alam yang telah memberikan berbagai nikmatnya. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Ushwah kita yakni Nabi Muhamad SAW. Beserta kaluarganya, shahabat dan ummatnya yang setia mengikuti jejak langkahnya hingga akhir zaman.
Selanjutnya , ucapan alhamdulillah kembali kami haturkan kepada-NYA ,karena kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas makalah “FILSAFAT ISLAM” dengan harapan dapat bermanfaat bagi penulis dan juga pembaca sekaliaan.
Filsafat merupakan salah satu ilmu yang cukup terkenal dan banyak dibicarakan hingga hari ini. Banyak bermunculan tokoh-tokoh filsafat tak terkecuali tokoh filsafat Islam, salah satunya adalah Ibnu miskawaih. Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang beliau, biografi, pemikiran filsafatnya dan hubungan dengan para filsafat lainnya.
B. Biografi
Ibnu Miskawaih adalah filsuf muslim yang hidup antara tahun 330-421 H/940-1030 M. Ia menyandang nama lengkap Abu Ali Ahmad Ibnu Miskawaih.[1] Beliau lahir di Raiy, salah atu kota yang dalam abad sekitar hidupnya sangat terkenal di Persi, yaitu Teheran sekarang ini.
Mengenai kemajusiannya sebelum Islam banyak dipersoalkan, Jurzi Zaidan misalnya berpendapat bahwa ia adalah majusi, kemudian memeluk Islam. Sedangkan Yaqut da pengarang Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah kurang setuju dengan pendapat itu. Menurut mereka, neneknyalah yang Majusi kemudia memeluk Islam. Artinya Ibnu Miskawaih sendiri lahir dalam keluarga Islam, sebagai terlihat dari nama bapaknya, Muhamad.[2]
Mengenai pendidikannya, dianggap kuat Ibnu miskawaih tidak mendapat pelajaran privat (mendatangkan guru ke rumah) sebagaimana kebiasaan anak-anak pada masanya, karena ekonomi keluarganay yang kurang mampu untuk mendatangkan guru, terutama untuk pelajaran lanjutan yang biayanya mahal. Perkembangan ilmu Miskawaih terutama sekali diperoleh dengan jalan banyak membaca buku. Terutama disaat memperoleh kepercayaan menguasai perpustakaan Ibnu Al-‘Amid, menteri Rukih Ad-Daulah. Juga akhirnya memperolllleh keperacayaan sebagai bendaharawan ‘Adhud Ad-Daulah.[3]
Beliau mengais Ilmu di Baghdad dan meninggal di Isfahan. Setelah menjelajahi berbagai ilmu pengetahuan Ia akhirnya memusatkan diri dalam kajian sejarah dan Etika. Gurunya dalam lapangan sejarah adalah Abu Bakr Ahmad Ibnu Kamil Al-Qadhi dan Ibu Al-Khammar daam lapangan Filsafat.[4]
Menurut Otto Horrassowitz, Ibnu Miskawaih termasuk tokoh Filosof abad klasik, yang dari Ibnu Miskawaih dijumpai pemikiran Filsafat tentang moral, pengobatan Rohani dan filsafat sejarah.[5]
Beliau bakerja selama puluhan tahun sebagai pustakawan pada sejumlah Wazir dan Amir Bani Buwaih, yakni Wazir Hasan Al-Mahlabi di Baghdad (348-352 H), Wazir Abu Al-Fadhl Muhamad Ibu Al-Amid di Raiy (325-360) dan sejumlah amir lainnya.
C. Karya-karya Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih ialah seorang pujangga yang memiliki keahlian dalam bermacam-macam ilmu, terutama ilimu sejarah, ilmu tabib dan ilmu dalam kebudayaa Islam pada jamannya. Dan oleh karena itu beberapa buah diantaranya sampai sekarang masih menjadi bahan penyelidikan dan sudah banyak diterjemahkan orang dalam beberapa bahasa Eropa dan Asia. [6]
Keseluruhan karyanya berjumlah 18 buah yang sebagian besar mengkaji masalah jiwa dan Etika. Diantara karyanya antara lain:
1) Al-Fauz Al-Ashghar (Tentang keberhasilan)
2) Tajarib Al-Umam (Tentang pengalamn bangsa-bangsa)
3) Tahdzib Al-Akhlaq (Tentang pendidikan Akhlak)
4) Al-Ajwibah wa Al-Asilah fi al-Nafs wa al-‘Aql (Tanya jawab tentang jiwa dan akal)
5) Al-Jawab fi al-Masil al-Tsalats (Jawaban tentang tiga masalah)
6) Thaharah al-Nafs (kesucian jiwa)
7) Risalah fi al-Ladzdzah wa al-Alam fi Jauhar al-Nafs (Tentang kesenangan dan kesedihan jiwa) dan
8) Risalah fi Haqiqah al-‘Aql (Tentang hakikat akal)[7]
9) Al-Fauz al-Akbar
10) Uns al-Farid (koleksi anekdot, syai’ir, pribahasa, dan kata-kata hikmah)
11) Tartib al-Sa’adah (tentang akhlak dan politik
12) Al-Mustaufa (sya’ir-sya’ir pilihan)
13) Jawidan Khirad (koleksi ungkapan bijak)
14) Al-Jami’
15) Al-Siyar (tentang tingkah laku kehidupan)
16) On the simple Drugs (tentang kedokteran)
17) On the composition of the Bajat (seni memasak)
18) Kitab al-Asyribah (tentang minuman)[8]
D. Filsafat Ibnu Miskawaih
a. Metafisika
Beliau tidak memberi perhatian besar terhadap masalah ketuhanan, karena pada masanya tidak banyak lagi diperbincangkan lagi masalah tersebut. Dengan demikian pemikirannya tidak tidak banyak berbeda dengan Filsuf sebelumnya, terutama Al-Farabi dan Al-Kindi. Hal ini tampak bahwa Tuhan menurut Ibnu Miskawaih adalah zat yan tidak berjisim, azali dan pencipta. Tuhan Esa dalam segala aspek ,Tuhan tidak terbagi-bagi karena tidak mengandung kejamakan dan tidak satupun yang setara denganNya. Tuhan ada tanpa diadakan, dan ada-Nya tidak tergantung pada yang lain, sedangkan yang lain membutuhkanNya.[9]
Tuhan menurutnya adalah penggerak utama yang tidak bergerak dan pencipta yang tidak berubah-ubah. Ia bersifat abadi dan non materi, serta berbeda dengan entitas apapun yang tunduk terhadap hukum perubahan. Karena itu Tuhan yang secara mutlak bebas dari materi, secara mutlak tidak berubah dan kebebasa Tuhan dari materilah yang membuat kita tidak mungkin menggambarkannya dengan istilah apapun. Tetapi menurut beliau, keharusan untuk menganggap kesempurnaan tertinggi berasal dariNya, maka kita harus dibimbing dalam masalah ini oleh keentuan kitab suci.
Dalam masalah penciptaan, Ibni MIiskawaih menyajikan teori Emanasi Neo-Platonisme sebagaimana halnya Al-Farabi. Tetapi dalam perumusan tahapan-tahapan emanasi dimaksud, antara keduanya terdapat perbedaan:
Menurut Ibnu miskawaih, entitas pertama yang memancar dari Tuhan adalah ‘Aql Fa’al (akal aktif). Akal aktif ini tanpa perantara sesuatu pun. Ia kekal, sempurna dan tak berubah. Pancaran yang terus menerus dari Tuhan dapat memelihara tatanan di alam ini, sekiranya pancaran Tuhan dimaksud terhenti, maka berakhirlah kemaujudan dan kehidupan di alam ini.[10]
Berdasarkan pendapat beliau diatas, maka dapat ditarik perbedaan pendapatnya dengan Al-Farabi sebagai berikut:
1) Bagi Ibnu Miskawaih, Tuhan menjadikan alam ini secara emanasi dari tiada menjadi ada. Sedangkan menurut Al-Farabi, alam dijadikan Tuhan secara pancaran dari sesuatu atau bahan yang sudah ada menjadi ada.
2) Bagi Ibnu Miskawaih, ciptaan tuhan yang pertama adalah akal aktif. Sedangkan bagi Al-Farabi ciptaan Tuhan yang pertama adalah Akal 1, dan Akal aktif adalah akal yang kesepuluh.
Jika ditilik pemikiran Ibn Miskawaih ini, hanya dalam masalah pokok bersesuaian dengan Al-Farabi. Dalam pendekatan masalah terlihat lebih dekat dengan Al-Kindi atau mutakallimin.
b. Evolusi
Seperti Ikhwan Al-Safa, Ibnu Miskawaih menganut faham Evolusi. Bila dalam faham IKhwan Al-Safa dikatakan bahwa yang lebih dahulu muncul dibumi ini adalah alam mineral, kemudian baru tumbuhan, kemudian binatang, dan kemudian baru manusia. Dengan penjalaasn bahwa pada puncak perkembangan ala binatang terdapat kera yang banyak persamaannya dengan dalam betuk dan kelakuan. Maka Ibnu Miskawaih juga mengajukan prinsip yang sama. Evolusi manurutnya berlangsung dari alam mineral ke ala tumbuh-tumbuhan, selamjutmua ke alam binatang, seterusnya ke alam manusia. Transisi dari alam mineral ke alam tumbuhan terjadi melalui merjan (kerang), dari alam tumbuhan kea lam binatang melalui pohon kurma dan dari alam binatang ke alam manusia melalui kera.[11]
c. Kenabian
Dalam masalah kenabian tampaknya tak ada perbedaan pendapat antara Ibu miskawaih dan Al-Farabi dalam memperkecil perbedaan Nabi dengan Filsuf. Menurut Ibnu Miskawaih, Nabi adalah manusia pilihan yang memperoleh hakikat-hakikat kebenaran, karena pengaruh akal aktif atas daya imajenasinya. Hakikat yang sama juga diperoleh Filsuf. Perbedaannya terletak pada cara memperolehnya. Para Filsuf memperoleh kebenaran dari bawah ke atas, yaitu dari daya indrawi naik ke daya khayal, dan naik lagi ke daya piker sehingga dapat berhubungan da menangkap hakikat-hakikat kebenaran dari akal aktif. Sedangkan para Nabi memperoleh langsung dari akal aktif sebagai rahmatTuhan.[12] Jadi menurutnya, sumber kebenaran yang diperoleh oleh Nabi dan filsuf adalah sama, yaitu akal aktif.
Pemikiran ini sejalan dengan Al-Farabi. Oleh karena kebenaran itu satu, baik yang pada Nabi maupun yang ada pada Filsuf, maka yang paling awal menerima dan mengakui apa yang dibawa Nabi adalah Filsuf.
d. Moral
Menurut beliau, moral atau akhlak adalah suatu sikap mental (halun li al-Nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berfikir dan pertimbangan. Sikap mental ini terbagi dua; ada yang berasal dari watak dan ada yang berasal dari kebiasaan dan latihan.[13]
Akhlak terpuji sebagai manisfestasi dari watak tidak benyak dijumpai, yang terbanyak adalah mereka yang memiliki sifat-sifat kurang terpuji karena watak. Karena itu, menurut beliau kebiasaan atau latihan-latihan dan pendidikan dapat membantu seseorang untuk memiliki sifat-sifat terpuji tersebut, sebaliknya juga akan membawa orang kepada sifat tercela.
Ibnu Miskawaih menolak pendapat yang mengatakan akhlak yang berasal dari watak tidak mungkin berubah. Oleh beliau ditegaskan kemungkinan perubahan akhlak itu terutama melalui pendidikan.
Pemikiran seperti ini sejalan dengan ajaran Islam, Al-Qur’an dan Hadits sendiri menyatakan secara gamblang bahwa kedatangan Rasulullah SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak. hal ini terlihat dari salah satu tujuan ibadah adalah pembentukan akhlak yang pada gilirannya akan memperbaiki tingkah laku mayarakat.
Adapun jiwa menurut Ibnu Miskawaih adalah jauhar rohani yang kekal, tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Menurutnya, kebahagian dan kesengsaraan diakhirat nanti hanya dialami oleh jiwa saja, karena kelezatan jasmani bukanah kelezatan hakiki.
Kemudian masalah pokok yang dibicarakan dalam kajiannya tentang akhlak adalah kebaikan (al-Khair), kebahagiaan (al-Sa’adah) dan keutamaan (al-Fadhilah). Menurut beliau, kebaikan adalah suatu keadaan diaman kita sampai pada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan adakalanya umum dan khkusus. Kebaikan umum adalah kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia. Sedangkan kebaikan khusus adalah kebaiakan bagi seseorang secara pribadi. Yang terakhir inilah yang dinamakan kebahagiaan. Jadi menurut beliau, kebaikan dan kebahagiaan dapat dibedakan. Kebaikan mempunyai identitas tertentu yang berlaku umum bagi manusia, sedangkan kebahagiaan berbeda-beda bergantung pada orang-orang yang berusaha memperolehnya.
Kebahagiaan banyak dibicarakan pemikir Yunani dalam dua versi, yaitu pandangan pertama diwakili oleh Plato yang berpendapat bahwa hanya jiwalah yang dapat memperoleh kebahagiaan. Sehingga selama jiwa msih terkait dengan badan, maka selama itu pula manusia tidak akan mendapat kebahagiaan. Sedangkan kedua diwakili oleh Aristoteles yang berpandangan bahwa kebahagiaan itu dapat dinikmati oleh manusia di dunia, kendatipun jiwanya masih terkait dengan badan. Hanya saja berbeda menurut masing-masing manusianya.
Ibnu Miskawaih tampil diantara kedua pendapat itu. Menurutnya, karena manusia mempunyai dua unsur yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan itu meliputi keduanya. Ada manusia yang bahagia karena terikat dengan hal yang bersifat benda, namun ia rindu terhadap kebahgiaa jiwa dan terus berusaha mendapatkannya. Ada pula menusia yang mendapat kebahagian melalui jiwa dan melepas kebendaan.
Kebahagiaan yang bersifat benda menurut Ibu miskawaih mengandung kepedihan dan penyesalan serta menghabat perkembangan jiwanya menuju kehadirat Allah. Kebahagian jiwalah yang merupakan kebahagian yang paling sempurna, dan mampu mengantar manusia yang memiliinya kederajat malaikat.[14]
e. Prinsip sejarah
Ibu miskawaih menghendaki agar sejarah ditulis dengan sikap kritis dan filosofis. Sejarah menurutnya bukanlah cerita hiburan tentang pribadi raja, melainka harus mencerminkan struktur politik, ekonomi, dan social pada masa-masa tertentu juga harus merekam naik turunnya peradaban, bangsa, dan negara. Menurutnya, sejarahwan harus menjauhi kecenderungan mencampuradukkan fakta dan fiksi . sejarahwan tidak saja tekun mencari fakta, tetapi juga harus kritis dalam pengumpulan data. Selain itu, sejarah juga tidak cukup disajikan melalui data-data, tetapi juga disertai pula tinjauan filosifis, yaitu menafsirkan dalam bingkai relasi kuasa yang sarat kepentingan.[15]
E. Kesimpulan
Ibnu Miskawaih merupakan tokoh filsafat Islam yang cukup terkenal. Keilmuan beliau sebagian besar di peroleh secara otodidak. Mengenai Kemajusian dan Faham syi’ahnya masih dibicarakan banyak kalangan.
Dalam hal pemikirannya, Ibnu miskawaih banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Banyak pemikiranya yang tidak sesuai dengan Islam, diantaranya pemikiran beliau tentang Evolusi, menyamakan Nabi dengan para filsuf, kehidupan setelah kematian yang hanya di alami jiwa saja dan banyak lagi pemikiran lainnya. Namun tentu ada pula yang sejalan dengan Islam, diantaranya dalam konsep ketuhanan dan moral atau akhlak, beliau berpendapat bahwa tabiat manusia dapat dirubah diantarnya malalui pendidikan dan latihan-latihan. Ini sesuai dengan tujuan di utusnya Rasulullah SAW, yakni untuk menyempurnakan akhlak. Wa Allahu ‘alam.
F. Penutup
Cukup sekian apa yang dapat kami paparkan dalam makalah ini, tentu saja kekurangan disana sini masih mungkin dijumpai dalam makalah ini, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan terutama kepada bapak dosen pengampuh mata kulih “FILSAFAT ISLAM” dengan harapan makalah ini dapat menjadi lebih baik di kemudian hari
Tiada kata yang patut kami haturkan melainkan rasa terima kasih dan ucapan minta maaf kepada para pembaca sekalian, karena dalam makalah ini mungkin terdapat banyak kesalahan, akhir kata ihdinashshirotolmustaqim jazakumullah akhsanal jaza’

Pemikiran Filsafat Ibnu Miskawayh

A. BIOGRAFI DAN KARYA IBNU MISKAWAIH
Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Yaqub ibn Miskawaih. Ia lahir di kota Ray (Iran) pada 320 H (932) M) dan wafat di Asfahan 9 Safar 421 H (16 Februari 1030 M). Ia belajar sejarah dan filsafat, serta pernah menjadi khazin (pustakawan) Ibn al-‘Abid dimana dia dapat menuntut ilmu dan memperoleh banyak hal positif berkat pergaulannya dengan kaum elit. Setelah itu Ibnu Miskawaih meninggalkan Ray menuju Bagdad dan mengabdi kepada istana Pangeran Buwaihi sebagai bendaharawan dan beberapa jabatan lain. Akhir hidupnya banyak dicurahkannya untuk studi dan menulis.

Ibnu Miskawaih lebih dikenal sebagai filsuf akhlak (etika) walaupun perhatiannya luas meliputi ilmu-ilmu yang lain seperti kedokteran, bahasa, sastra, dan sejarah. Bahkan dalam literatur filsafat Islam, tampaknya hanya Ibnu Miskawaih inilah satu-satunya tokoh filsafat akhlak.
Ibnu Miskawaih meninggalkan banyak karya penting, misalnya tahdzibul akhlaq (kesempurnaan akhlak), tartib as-sa’adah (tentang akhlak dan politik), al-siyar (tentang tingkah laku kehidupan), dan jawidan khirad (koleksi ungkapan bijak).
B. FILSAFATNYA
Ibnu Miskawaih menggunakan metode eklektik dalam menyusun filsafatnya, yaitu dengan memadukan berbagai pemikiran-pemikiran sebelumnya dari Plato, Aristoteles, Plotinus, dan doktrin Islam. Namun karena inilah mungkin yang membuat filsafatnya kurang orisinal. Dalam bidang-bidang berikut ini tampak bahwa Ibnu Miskawaih hanya mengambil dari pemikiran-pemikiran yang sudah dikembangkan sebelumnya oleh filsuf lain.
1. Metafisika
Menurut Ibnu Miskawaih Tuhan adalah zat yang tidak berjisim, azali, dan pencipta. Tuhan esa dalam segala aspek, tidak terbagi-bagi dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya. Tuhan ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak tergantung pada yang lain sedangkan yang lain membutuhkannya. Tuhan dapat dikenal dengan proposisi negatif karena memakai proposisi positif berarti menyamakan-Nya dengan alam.
Tentang penciptaan yang banyak (alam) oleh yang satu (Tuhan), Ibnu Miskawaih menganut paham emanasi Neo-Platonisme sebagaimana halnya Al-Farabi. Tetapi dalam perumusannya terdapat perbedaan dengan Al-Farabi, yaitu bahwa menurut Ibnu Miskawaih, entitas pertama yang memancar dari Tuhan adalah ‘aql fa’al (akal aktif). Dalam teori Al-Farabi akal aktif ini menempati tahap pemancaran ke sepuluh (akal 10). Akal aktif ini bersifat kekal, sempurna, dan tidak berubah. Dari akal ini timbul jiwa dan dengan perantaraan jiwa timbul planet (al-falak). Pancaran yang terus-menerus dari Tuhan dapat memelihara tatanan di alam ini, menghasilkan materi-materi baru. Sekiranya pancaran Tuhan yang dimaksud berhenti, maka berakhirlah kehidupan dunia ini.
Diambilnya teori emanasi ini dimaksudkan untuk mensucikan ke-esaan Tuhan dari sifat banyak. Ibnu Miskawaih mengatakan, bilamana satu penyebab melahirkan sejumlah efek yang berlainan, maka kemajemukannya kiranya tergantung pada alasan-alasan di bawah ini:
a. Penyebab bisa mempunyai bermacam-macam kekuatan.
b. Penyebab bisa menggunakan berbagai sarana untuk menghasilkan keanekaragaman efek.
c. Penyebab bisa menghasilkan keanekaragaman materi.
Tak satu pun pernyataan di atas berlaku untuk penyebab utama, yaitu Tuhan. Tuhan tidak mungkin dalam zatnya mempunyai bermacam-macam kekuatan yang berlainan. Jika Tuhan menggunakan berbagai sarana, seperti manusia menciptakan kursi dengan berbagai sarana seperti kayu, paku, gergaji, dan sebagainya, maka siapakah yang menciptakan sarana-sarana itu? Jika sarana-sarana itu diciptakan oleh penyebab yang selain Tuhan, berarti ada pluralitas penyebab utama. Pernyataan ketiga pun tidak mungkin bagi Tuhan, karena yang banyak tidak dapat mengalir dari tindak satu agen penyebab. Karena itu pastilah bahwa penyebab utama hanya menciptakan satu entitas yang darinya kemudian tercipta entitas-entitas yang lain. Entitas itulah yang disebut akal aktif.
Ibnu Miskawaih juga mengemukakan teori evolusi makhluk hidup yang secara mendasar sama dengan Ikhwan al-Shafa’. Teori itu terdiri atas empat tahapan:
1. Evolusi mineral; yaitu bentuk kehidupan yang dihuni makhluk-makhluk rendah. Misal batu, air, tanah.
2. Evolusi tumbuhan; yang mula-mula muncul adalah rerumputan spontan, kemudian tanaman, lalu pepohonan tingkat tinggi.
Di antara tumbuhan dan hewan terdapat satu bentuk kehidupan tertentu. yang tidak dapat digolongkan tumbuhan maupun hewan, namun memiliki ciri-ciri tumbuhan dan hewan, yaitu koral, dan euglena.
3. Evolusi hewan; dicirikan antara lain oleh adanya daya gerak dan indera peraba dan pada hewan yang lebih tinggi mulai adanya inteligensi. Hewan paling tinggi adalah kera.
4. Evolusi manusia; ditandai oleh adanya inteligensi dan daya pemahaman.
2. Kenabian
Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa Nabi tidaklah berbeda dengan filsuf dalam hal bahwa kedua-duanya memperoleh kebenaran yang sama. Hanya cara memperolehnya yang berbeda; Nabi memperoleh kebenaran melalui wahyu, jadi dari atas (akal aktif) ke bawah; filsuf memperoleh kebenaran dari bawah ke atas, yaitu dari daya inderawi lalu daya khayal lalu daya pikir sehingga dapat berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat kebenaran dari akal aktif. Sumber kebenarannya sama-sama akal aktif.
3. Jiwa
Jiwa menurut Ibnu Miskawaih adalah substansi ruhani yang kekal, tidak hancur dengan kematian jasad. Kebahagiaan dan kesengsaraan di akhirat nanti hanya dialami oleh jiwa. Jiwa bersifat immateri karena itu berbeda dengan jasad yang bersifat materi. Mengenai perbedaan jiwa dengan jasad Ibnu Miskawaih mengemukakan argumen-argumen sebagai berikut:
a. Indera, setelah mempersepsi suatu rangsangan yang kuat selama beberapa waktu, tidak mampu lagi mempersepsi rangsangan yang lebih lemah, sedangkan aksi mental dan kognisi tidak.
b. kita sering memejamkan mata jika sedang merenungkan suatu hal yang musykil. Suatu bukti bahwa indera tidak dibutuhkan waktu itu.
c. mempersepsi rangsangan yang kuat merugikan indera, tetapi intelek bisa berkembang dan menjadi kuat dengan mengetahui ide dan paham-paham umum.
d. kelemahan fisik yang disebabkan usia tua tidak mempengaruhi kekuatan mental.
e. jiwa dapat memahami proposisi-proposisi tertentu yang tidak berkaitan dengan dengan data-data inderawi.
f. ada suatu kekuatan di dalam diri kita yang mengatur organ-organ fisik, membetulkan kesalahan-kesalahan inderawi, dan menyatukan pengetahuan.
Jiwa memiliki tiga daya, yaitu daya berpikir, daya keberanian, dan daya keinginan. Tiga daya itu masing-masing melahirkan sifat kebajikan. Yaitu hikmah, keberanian, dan kesederhanaan. Keselarasan ketiga kebajikan tersebut akan menghasilkan kebajikan keempat, yaitu adil. Hikmah ada tujuh macam; tajam dalam berpikir, cekatan berpikir, jelas dalam pemahaman, kapasitas yang cukup, teliti melihat perbedaan, kuat ingatan, dan mampu mengungkapkan. Keberanian ada sebelas sifat; murah hati, sabar, mulia, teguh, tentram, agung, gagah, keras keinginan, ramah, bersemangat, dan belas kasih. Kesederhanaan ada dua belas; malu, ramah, keadilan, damai, kendali diri, sabar, rela, tenang, saleh, tertib, jujur, dan merdeka.
3. Moral/Etika
Dalam bidang inilah Ibnu Miskawaih banyak disorot dikarenakan langkanya filsuf Islam yang membahas bidang ini. Secara praktek etika sebenarnya sudah berkembang di dunia Islam, terutama karena Islam sendiri sarat berisi ajaran tentang akhlak. Bahkan tujuan diutusnya Nabi Muhammad Saw adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Ibnu Miskawaih mencoba menaikkan taraf kajian etika dari praktis ke teoritis-filosofis, namun dia tidak sepenuhnya meninggalkan aspek praktis.
Moral, etika atau akhlak menurut Ibnu Miskawaih adalah sikap mental yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berpikir dan pertimbangan. Sikap mental terbagi dua, yaitu yang berasal dari watak dan yang berasal dari kebiasan dan latihan. Akhlak yang berasal dari watak jarang menghasilkan akhlak yang terpuji; kebanyakan akhlak yang jelek. Sedangkan latihan dan pembiasaan lebih dapat menghasilkan akhlak yang terpuji. Karena itu Ibnu Miskawaih sangat menekankan pentingnya pendidikan untuk membentuk akhlak yang baik. Dia memberikan perhatian penting pada masa kanak-kanak, yang menurutnya merupakan mata rantai antara jiwa hewan dengan jiwa manusia.
Masalah pokok yang dibicarakan dalam kajian akhlak adalah kebaikan (al-khair), kebahagiaan (al-sa’adah), dan keutamaan (al-fadhilah). Kebaikan adalah suatu keadaan dimana kita sampai kepada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan ada dua, yaitu kebaikan umum dan kebaikan khusus. Kebaikan umum adalah kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia, atau dengan kata lain ukuran-ukuran kebaikan yang disepakati oleh seluruh manusia. Kebaikan khusus adalah kebaikan bagi seseorang secara pribadi. Kebaikan yang kedua inilah yang disebut kebahagiaan. Karena itu dapat dikatakan bahwa kebahagiaan itu berbeda-beda bagi tiap orang.
Ada dua pandangan pokok tentang kebahagiaan. Yang pertama diwakili oleh Plato yang mengatakan bahwa hanya jiwalah yang mengalami kebahagiaan. Karena itu selama manusia masih berhubungan dengan badan ia tidak akan memperoleh kebahagiaan. Pandangan kedua dipelopori oleh Aristoteles, yang mengatakan bahwa kebahagiaan dapat dinikmati di dunia walaupun jiwanya masih terkait dengan badan.
Ibnu Miskawah mencoba mengompromikan kedua pandangan yang berlawanan itu. Menurutnya, karena pada diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan meliputi keduanya. Hanya kebahagiaan badan lebih rendah tingkatnya dan tidak abadi sifatnya jika dibandingkan dengan kebahagiaan jiwa. Kebahagiaan yang bersifat benda mengandung kepedihan dan penyesalan, serta menghambat perkembangan jiwanya menuju ke hadirat Allah. Kebahagiaan jiwa merupakan kebahagiaan yang sempurna yang mampu mengantar manusia menuju berderajat malaikat.
Tentang keutamaan Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa asas semua keutamaan adalah cinta kepada semua manusia. Tanpa cinta yang demikian, suatu masyarakat tidak mungkin ditegakkan. Ibnu Miskawaih memandang sikap uzlah (memencilkan diri dari masyarakat) sebagai mementingkan diri sendiri. Uzlah tidak dapat mengubah masyarakat menjadi baik walaupun orang yang uzlah itu baik. Karena itu dapat dikatakan bahwa pandangan Ibnu Miskawaih tentang akhlak adalah akhlak manusia dalam konteks masyarakat.
Ibnu Miskawaih juga mengemukakan tentang penyakit-penyakit moral. Di antaranya adalah rasa takut, terutama takut mati, dan rasa sedih. Kedua penyakit itu paling baik jika diobati dengan filsafat.
5. Sejarah
Sejarah merupakan pencerminan struktur politik dan ekonomi masyarakat pada masa tertentu, atau dengan kata lain merupakan rekaman tentang pasang-surut kebudayaan suatu bangsa. Sejarah tidak hanya mengumpulkan kenyataan-kenyataan yang telah lampau tetapi juga menentukan bentuk yang akan datang.
Demikianlah sekadar pengantar kepada pemikiran filsafat Ibnu Miskawaih.
Referensi:
Nasution, Hasyimsyah, Dr., M.A., Filsafat Islam, Jakarta: GMP, 1999.
Shubhi, Ahmad Mahmud, Dr., Filsafat Etika, Jakarta: Serambi, 2001.


G. Daftar Pustaka
Aceh Abu Bakar, sejarah filsafat Isalm, Sala:C.V.Ramdhani, Cet. 2 th 1982
Dahlan Abdul Aziz , pemikiran filsafat dalam Islam, Jakarta: Djambatan, Cet, 1 th 2003
Drajat Amroeni, Filsafat Islam buat yang pengen tahu, Jakarta:Penerbit Erlangga, cet. I th 2006
Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, Cet. 2 th 2004
Nasution Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta:Gaya media pratama, Cet, 3 th 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar