FILSAFAT
ISLAM IBNU MISKAWAIH 2
A. Pendahuluan
Segala puji
hanyalah milik Allah Rabb semesta alam yang telah memberikan berbagai
nikmatnya. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Ushwah kita yakni
Nabi Muhamad SAW. Beserta kaluarganya, shahabat dan ummatnya yang setia
mengikuti jejak langkahnya hingga akhir zaman.
Selanjutnya
, ucapan alhamdulillah kembali kami haturkan kepada-NYA ,karena kami dapat
menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas makalah “FILSAFAT ISLAM” dengan
harapan dapat bermanfaat bagi penulis dan juga pembaca sekaliaan.
Filsafat
merupakan salah satu ilmu yang cukup terkenal dan banyak dibicarakan hingga
hari ini. Banyak bermunculan tokoh-tokoh filsafat tak terkecuali tokoh filsafat
Islam, salah satunya adalah Ibnu miskawaih. Dalam makalah ini akan dipaparkan
tentang beliau, biografi, pemikiran filsafatnya dan hubungan dengan para
filsafat lainnya.
B. Biografi
Ibnu
Miskawaih adalah filsuf muslim yang hidup antara tahun 330-421 H/940-1030 M. Ia
menyandang nama lengkap Abu Ali Ahmad Ibnu Miskawaih.[1] Beliau lahir di Raiy,
salah atu kota yang dalam abad sekitar hidupnya sangat terkenal di Persi, yaitu
Teheran sekarang ini.
Mengenai
kemajusiannya sebelum Islam banyak dipersoalkan, Jurzi Zaidan misalnya
berpendapat bahwa ia adalah majusi, kemudian memeluk Islam. Sedangkan Yaqut da
pengarang Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah kurang setuju dengan pendapat itu.
Menurut mereka, neneknyalah yang Majusi kemudia memeluk Islam. Artinya Ibnu
Miskawaih sendiri lahir dalam keluarga Islam, sebagai terlihat dari nama
bapaknya, Muhamad.[2]
Mengenai
pendidikannya, dianggap kuat Ibnu miskawaih tidak mendapat pelajaran privat
(mendatangkan guru ke rumah) sebagaimana kebiasaan anak-anak pada masanya,
karena ekonomi keluarganay yang kurang mampu untuk mendatangkan guru, terutama
untuk pelajaran lanjutan yang biayanya mahal. Perkembangan ilmu Miskawaih
terutama sekali diperoleh dengan jalan banyak membaca buku. Terutama disaat
memperoleh kepercayaan menguasai perpustakaan Ibnu Al-‘Amid, menteri Rukih
Ad-Daulah. Juga akhirnya memperolllleh keperacayaan sebagai bendaharawan ‘Adhud
Ad-Daulah.[3]
Beliau
mengais Ilmu di Baghdad dan meninggal di Isfahan. Setelah menjelajahi berbagai
ilmu pengetahuan Ia akhirnya memusatkan diri dalam kajian sejarah dan Etika.
Gurunya dalam lapangan sejarah adalah Abu Bakr Ahmad Ibnu Kamil Al-Qadhi dan
Ibu Al-Khammar daam lapangan Filsafat.[4]
Menurut
Otto Horrassowitz, Ibnu Miskawaih termasuk tokoh Filosof abad klasik, yang dari
Ibnu Miskawaih dijumpai pemikiran Filsafat tentang moral, pengobatan Rohani dan
filsafat sejarah.[5]
Beliau
bakerja selama puluhan tahun sebagai pustakawan pada sejumlah Wazir dan Amir
Bani Buwaih, yakni Wazir Hasan Al-Mahlabi di Baghdad (348-352 H), Wazir Abu
Al-Fadhl Muhamad Ibu Al-Amid di Raiy (325-360) dan sejumlah amir lainnya.
C. Karya-karya Ibnu Miskawaih
Ibnu
Miskawaih ialah seorang pujangga yang memiliki keahlian dalam bermacam-macam
ilmu, terutama ilimu sejarah, ilmu tabib dan ilmu dalam kebudayaa Islam pada
jamannya. Dan oleh karena itu beberapa buah diantaranya sampai sekarang masih
menjadi bahan penyelidikan dan sudah banyak diterjemahkan orang dalam beberapa
bahasa Eropa dan Asia. [6]
Keseluruhan
karyanya berjumlah 18 buah yang sebagian besar mengkaji masalah jiwa dan Etika.
Diantara karyanya antara lain:
1)
Al-Fauz Al-Ashghar (Tentang keberhasilan)
2)
Tajarib Al-Umam (Tentang pengalamn bangsa-bangsa)
3)
Tahdzib Al-Akhlaq (Tentang pendidikan Akhlak)
4)
Al-Ajwibah wa Al-Asilah fi al-Nafs wa al-‘Aql (Tanya jawab tentang jiwa dan
akal)
5)
Al-Jawab fi al-Masil al-Tsalats (Jawaban tentang tiga masalah)
6)
Thaharah al-Nafs (kesucian jiwa)
7)
Risalah fi al-Ladzdzah wa al-Alam fi Jauhar al-Nafs (Tentang kesenangan dan kesedihan
jiwa) dan
8)
Risalah fi Haqiqah al-‘Aql (Tentang hakikat akal)[7]
9)
Al-Fauz al-Akbar
10)
Uns al-Farid (koleksi anekdot, syai’ir, pribahasa, dan kata-kata hikmah)
11)
Tartib al-Sa’adah (tentang akhlak dan politik
12)
Al-Mustaufa (sya’ir-sya’ir pilihan)
13)
Jawidan Khirad (koleksi ungkapan bijak)
14)
Al-Jami’
15)
Al-Siyar (tentang tingkah laku kehidupan)
16)
On the simple Drugs (tentang kedokteran)
17)
On the composition of the Bajat (seni memasak)
18)
Kitab al-Asyribah (tentang minuman)[8]
D. Filsafat Ibnu Miskawaih
a.
Metafisika
Beliau
tidak memberi perhatian besar terhadap masalah ketuhanan, karena pada masanya
tidak banyak lagi diperbincangkan lagi masalah tersebut. Dengan demikian
pemikirannya tidak tidak banyak berbeda dengan Filsuf sebelumnya, terutama
Al-Farabi dan Al-Kindi. Hal ini tampak bahwa Tuhan menurut Ibnu Miskawaih
adalah zat yan tidak berjisim, azali dan pencipta. Tuhan Esa dalam segala aspek
,Tuhan tidak terbagi-bagi karena tidak mengandung kejamakan dan tidak satupun
yang setara denganNya. Tuhan ada tanpa diadakan, dan ada-Nya tidak tergantung
pada yang lain, sedangkan yang lain membutuhkanNya.[9]
Tuhan
menurutnya adalah penggerak utama yang tidak bergerak dan pencipta yang tidak
berubah-ubah. Ia bersifat abadi dan non materi, serta berbeda dengan entitas
apapun yang tunduk terhadap hukum perubahan. Karena itu Tuhan yang secara
mutlak bebas dari materi, secara mutlak tidak berubah dan kebebasa Tuhan dari
materilah yang membuat kita tidak mungkin menggambarkannya dengan istilah apapun.
Tetapi menurut beliau, keharusan untuk menganggap kesempurnaan tertinggi
berasal dariNya, maka kita harus dibimbing dalam masalah ini oleh keentuan
kitab suci.
Dalam
masalah penciptaan, Ibni MIiskawaih menyajikan teori Emanasi Neo-Platonisme
sebagaimana halnya Al-Farabi. Tetapi dalam perumusan tahapan-tahapan emanasi
dimaksud, antara keduanya terdapat perbedaan:
Menurut
Ibnu miskawaih, entitas pertama yang memancar dari Tuhan adalah ‘Aql Fa’al
(akal aktif). Akal aktif ini tanpa perantara sesuatu pun. Ia kekal, sempurna
dan tak berubah. Pancaran yang terus menerus dari Tuhan dapat memelihara
tatanan di alam ini, sekiranya pancaran Tuhan dimaksud terhenti, maka
berakhirlah kemaujudan dan kehidupan di alam ini.[10]
Berdasarkan
pendapat beliau diatas, maka dapat ditarik perbedaan pendapatnya dengan
Al-Farabi sebagai berikut:
1)
Bagi Ibnu Miskawaih, Tuhan menjadikan alam ini secara emanasi dari tiada
menjadi ada. Sedangkan menurut Al-Farabi, alam dijadikan Tuhan secara pancaran
dari sesuatu atau bahan yang sudah ada menjadi ada.
2)
Bagi Ibnu Miskawaih, ciptaan tuhan yang pertama adalah akal aktif. Sedangkan
bagi Al-Farabi ciptaan Tuhan yang pertama adalah Akal 1, dan Akal aktif adalah
akal yang kesepuluh.
Jika
ditilik pemikiran Ibn Miskawaih ini, hanya dalam masalah pokok bersesuaian
dengan Al-Farabi. Dalam pendekatan masalah terlihat lebih dekat dengan Al-Kindi
atau mutakallimin.
b. Evolusi
Seperti
Ikhwan Al-Safa, Ibnu Miskawaih menganut faham Evolusi. Bila dalam faham IKhwan
Al-Safa dikatakan bahwa yang lebih dahulu muncul dibumi ini adalah alam
mineral, kemudian baru tumbuhan, kemudian binatang, dan kemudian baru manusia.
Dengan penjalaasn bahwa pada puncak perkembangan ala binatang terdapat kera
yang banyak persamaannya dengan dalam betuk dan kelakuan. Maka Ibnu Miskawaih
juga mengajukan prinsip yang sama. Evolusi manurutnya berlangsung dari alam
mineral ke ala tumbuh-tumbuhan, selamjutmua ke alam binatang, seterusnya ke
alam manusia. Transisi dari alam mineral ke alam tumbuhan terjadi melalui
merjan (kerang), dari alam tumbuhan kea lam binatang melalui pohon kurma dan
dari alam binatang ke alam manusia melalui kera.[11]
c. Kenabian
Dalam
masalah kenabian tampaknya tak ada perbedaan pendapat antara Ibu miskawaih dan
Al-Farabi dalam memperkecil perbedaan Nabi dengan Filsuf. Menurut Ibnu
Miskawaih, Nabi adalah manusia pilihan yang memperoleh hakikat-hakikat
kebenaran, karena pengaruh akal aktif atas daya imajenasinya. Hakikat yang sama
juga diperoleh Filsuf. Perbedaannya terletak pada cara memperolehnya. Para Filsuf
memperoleh kebenaran dari bawah ke atas, yaitu dari daya indrawi naik ke daya
khayal, dan naik lagi ke daya piker sehingga dapat berhubungan da menangkap
hakikat-hakikat kebenaran dari akal aktif. Sedangkan para Nabi memperoleh
langsung dari akal aktif sebagai rahmatTuhan.[12] Jadi menurutnya, sumber
kebenaran yang diperoleh oleh Nabi dan filsuf adalah sama, yaitu akal aktif.
Pemikiran
ini sejalan dengan Al-Farabi. Oleh karena kebenaran itu satu, baik yang pada
Nabi maupun yang ada pada Filsuf, maka yang paling awal menerima dan mengakui
apa yang dibawa Nabi adalah Filsuf.
d. Moral
Menurut
beliau, moral atau akhlak adalah suatu sikap mental (halun li al-Nafs) yang
mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berfikir dan pertimbangan. Sikap
mental ini terbagi dua; ada yang berasal dari watak dan ada yang berasal dari
kebiasaan dan latihan.[13]
Akhlak
terpuji sebagai manisfestasi dari watak tidak benyak dijumpai, yang terbanyak
adalah mereka yang memiliki sifat-sifat kurang terpuji karena watak. Karena
itu, menurut beliau kebiasaan atau latihan-latihan dan pendidikan dapat
membantu seseorang untuk memiliki sifat-sifat terpuji tersebut, sebaliknya juga
akan membawa orang kepada sifat tercela.
Ibnu
Miskawaih menolak pendapat yang mengatakan akhlak yang berasal dari watak tidak
mungkin berubah. Oleh beliau ditegaskan kemungkinan perubahan akhlak itu
terutama melalui pendidikan.
Pemikiran
seperti ini sejalan dengan ajaran Islam, Al-Qur’an dan Hadits sendiri
menyatakan secara gamblang bahwa kedatangan Rasulullah SAW adalah untuk
menyempurnakan akhlak. hal ini terlihat dari salah satu tujuan ibadah adalah
pembentukan akhlak yang pada gilirannya akan memperbaiki tingkah laku
mayarakat.
Adapun jiwa
menurut Ibnu Miskawaih adalah jauhar rohani yang kekal, tidak hancur dengan
sebab kematian jasad. Menurutnya, kebahagian dan kesengsaraan diakhirat nanti
hanya dialami oleh jiwa saja, karena kelezatan jasmani bukanah kelezatan
hakiki.
Kemudian
masalah pokok yang dibicarakan dalam kajiannya tentang akhlak adalah kebaikan
(al-Khair), kebahagiaan (al-Sa’adah) dan keutamaan (al-Fadhilah). Menurut
beliau, kebaikan adalah suatu keadaan diaman kita sampai pada batas akhir dan
kesempurnaan wujud. Kebaikan adakalanya umum dan khkusus. Kebaikan umum adalah
kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia. Sedangkan
kebaikan khusus adalah kebaiakan bagi seseorang secara pribadi. Yang terakhir
inilah yang dinamakan kebahagiaan. Jadi menurut beliau, kebaikan dan
kebahagiaan dapat dibedakan. Kebaikan mempunyai identitas tertentu yang berlaku
umum bagi manusia, sedangkan kebahagiaan berbeda-beda bergantung pada
orang-orang yang berusaha memperolehnya.
Kebahagiaan
banyak dibicarakan pemikir Yunani dalam dua versi, yaitu pandangan pertama
diwakili oleh Plato yang berpendapat bahwa hanya jiwalah yang dapat memperoleh
kebahagiaan. Sehingga selama jiwa msih terkait dengan badan, maka selama itu
pula manusia tidak akan mendapat kebahagiaan. Sedangkan kedua diwakili oleh
Aristoteles yang berpandangan bahwa kebahagiaan itu dapat dinikmati oleh
manusia di dunia, kendatipun jiwanya masih terkait dengan badan. Hanya saja
berbeda menurut masing-masing manusianya.
Ibnu
Miskawaih tampil diantara kedua pendapat itu. Menurutnya, karena manusia
mempunyai dua unsur yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan itu meliputi
keduanya. Ada manusia yang bahagia karena terikat dengan hal yang bersifat
benda, namun ia rindu terhadap kebahgiaa jiwa dan terus berusaha
mendapatkannya. Ada pula menusia yang mendapat kebahagian melalui jiwa dan
melepas kebendaan.
Kebahagiaan
yang bersifat benda menurut Ibu miskawaih mengandung kepedihan dan penyesalan
serta menghabat perkembangan jiwanya menuju kehadirat Allah. Kebahagian jiwalah
yang merupakan kebahagian yang paling sempurna, dan mampu mengantar manusia
yang memiliinya kederajat malaikat.[14]
e. Prinsip
sejarah
Ibu
miskawaih menghendaki agar sejarah ditulis dengan sikap kritis dan filosofis.
Sejarah menurutnya bukanlah cerita hiburan tentang pribadi raja, melainka harus
mencerminkan struktur politik, ekonomi, dan social pada masa-masa tertentu juga
harus merekam naik turunnya peradaban, bangsa, dan negara. Menurutnya,
sejarahwan harus menjauhi kecenderungan mencampuradukkan fakta dan fiksi .
sejarahwan tidak saja tekun mencari fakta, tetapi juga harus kritis dalam pengumpulan
data. Selain itu, sejarah juga tidak cukup disajikan melalui data-data, tetapi
juga disertai pula tinjauan filosifis, yaitu menafsirkan dalam bingkai relasi
kuasa yang sarat kepentingan.[15]
E. Kesimpulan
Ibnu
Miskawaih merupakan tokoh filsafat Islam yang cukup terkenal. Keilmuan beliau
sebagian besar di peroleh secara otodidak. Mengenai Kemajusian dan Faham
syi’ahnya masih dibicarakan banyak kalangan.
Dalam hal
pemikirannya, Ibnu miskawaih banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Banyak
pemikiranya yang tidak sesuai dengan Islam, diantaranya pemikiran beliau
tentang Evolusi, menyamakan Nabi dengan para filsuf, kehidupan setelah kematian
yang hanya di alami jiwa saja dan banyak lagi pemikiran lainnya. Namun tentu
ada pula yang sejalan dengan Islam, diantaranya dalam konsep ketuhanan dan
moral atau akhlak, beliau berpendapat bahwa tabiat manusia dapat dirubah
diantarnya malalui pendidikan dan latihan-latihan. Ini sesuai dengan tujuan di
utusnya Rasulullah SAW, yakni untuk menyempurnakan akhlak. Wa Allahu ‘alam.
F. Penutup
Cukup
sekian apa yang dapat kami paparkan dalam makalah ini, tentu saja kekurangan
disana sini masih mungkin dijumpai dalam makalah ini, kritik dan saran dari
semua pihak sangat kami harapkan terutama kepada bapak dosen pengampuh mata kulih
“FILSAFAT ISLAM” dengan harapan makalah ini dapat menjadi lebih baik di
kemudian hari
Tiada
kata yang patut kami haturkan melainkan rasa terima kasih dan ucapan minta maaf
kepada para pembaca sekalian, karena dalam makalah ini mungkin terdapat banyak
kesalahan, akhir kata ihdinashshirotolmustaqim jazakumullah akhsanal jaza’
Pemikiran Filsafat Ibnu Miskawayh
A.
BIOGRAFI DAN KARYA IBNU MISKAWAIH
Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad
bin Yaqub ibn Miskawaih. Ia lahir di kota Ray (Iran) pada 320 H (932) M) dan
wafat di Asfahan 9 Safar 421 H (16 Februari 1030 M). Ia belajar sejarah dan
filsafat, serta pernah menjadi khazin (pustakawan) Ibn al-‘Abid dimana dia
dapat menuntut ilmu dan memperoleh banyak hal positif berkat pergaulannya
dengan kaum elit. Setelah itu Ibnu Miskawaih meninggalkan Ray menuju Bagdad dan
mengabdi kepada istana Pangeran Buwaihi sebagai bendaharawan dan beberapa
jabatan lain. Akhir hidupnya banyak dicurahkannya untuk studi dan menulis.
Ibnu Miskawaih lebih dikenal sebagai filsuf akhlak (etika) walaupun perhatiannya luas meliputi ilmu-ilmu yang lain seperti kedokteran, bahasa, sastra, dan sejarah. Bahkan dalam literatur filsafat Islam, tampaknya hanya Ibnu Miskawaih inilah satu-satunya tokoh filsafat akhlak.
Ibnu Miskawaih meninggalkan banyak karya penting, misalnya
tahdzibul akhlaq (kesempurnaan akhlak), tartib as-sa’adah (tentang akhlak dan
politik), al-siyar (tentang tingkah laku kehidupan), dan jawidan khirad (koleksi
ungkapan bijak).
B.
FILSAFATNYA
Ibnu Miskawaih menggunakan metode eklektik dalam menyusun
filsafatnya, yaitu dengan memadukan berbagai pemikiran-pemikiran sebelumnya
dari Plato, Aristoteles, Plotinus, dan doktrin Islam. Namun karena inilah
mungkin yang membuat filsafatnya kurang orisinal. Dalam bidang-bidang berikut
ini tampak bahwa Ibnu Miskawaih hanya mengambil dari pemikiran-pemikiran yang
sudah dikembangkan sebelumnya oleh filsuf lain.
1.
Metafisika
Menurut Ibnu Miskawaih Tuhan adalah zat yang tidak
berjisim, azali, dan pencipta. Tuhan esa dalam segala aspek, tidak terbagi-bagi
dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya. Tuhan ada tanpa diadakan dan
ada-Nya tidak tergantung pada yang lain sedangkan yang lain membutuhkannya.
Tuhan dapat dikenal dengan proposisi negatif karena memakai proposisi positif
berarti menyamakan-Nya dengan alam.
Tentang penciptaan yang banyak (alam) oleh yang satu
(Tuhan), Ibnu Miskawaih menganut paham emanasi Neo-Platonisme sebagaimana
halnya Al-Farabi. Tetapi dalam perumusannya terdapat perbedaan dengan
Al-Farabi, yaitu bahwa menurut Ibnu Miskawaih, entitas pertama yang memancar
dari Tuhan adalah ‘aql fa’al (akal aktif). Dalam teori Al-Farabi akal aktif ini
menempati tahap pemancaran ke sepuluh (akal 10). Akal aktif ini bersifat kekal,
sempurna, dan tidak berubah. Dari akal ini timbul jiwa dan dengan perantaraan
jiwa timbul planet (al-falak). Pancaran yang terus-menerus dari Tuhan dapat
memelihara tatanan di alam ini, menghasilkan materi-materi baru. Sekiranya
pancaran Tuhan yang dimaksud berhenti, maka berakhirlah kehidupan dunia ini.
Diambilnya teori emanasi ini dimaksudkan untuk mensucikan
ke-esaan Tuhan dari sifat banyak. Ibnu Miskawaih mengatakan, bilamana satu
penyebab melahirkan sejumlah efek yang berlainan, maka kemajemukannya kiranya
tergantung pada alasan-alasan di bawah ini:
a. Penyebab bisa mempunyai bermacam-macam kekuatan.
b. Penyebab bisa menggunakan berbagai sarana untuk menghasilkan keanekaragaman efek.
c. Penyebab bisa menghasilkan keanekaragaman materi.
b. Penyebab bisa menggunakan berbagai sarana untuk menghasilkan keanekaragaman efek.
c. Penyebab bisa menghasilkan keanekaragaman materi.
Tak satu pun pernyataan di atas berlaku untuk penyebab
utama, yaitu Tuhan. Tuhan tidak mungkin dalam zatnya mempunyai bermacam-macam
kekuatan yang berlainan. Jika Tuhan menggunakan berbagai sarana, seperti
manusia menciptakan kursi dengan berbagai sarana seperti kayu, paku, gergaji,
dan sebagainya, maka siapakah yang menciptakan sarana-sarana itu? Jika
sarana-sarana itu diciptakan oleh penyebab yang selain Tuhan, berarti ada
pluralitas penyebab utama. Pernyataan ketiga pun tidak mungkin bagi Tuhan, karena
yang banyak tidak dapat mengalir dari tindak satu agen penyebab. Karena itu
pastilah bahwa penyebab utama hanya menciptakan satu entitas yang darinya
kemudian tercipta entitas-entitas yang lain. Entitas itulah yang disebut akal
aktif.
Ibnu Miskawaih juga mengemukakan teori evolusi makhluk
hidup yang secara mendasar sama dengan Ikhwan al-Shafa’. Teori itu terdiri atas
empat tahapan:
1. Evolusi mineral; yaitu bentuk kehidupan yang dihuni
makhluk-makhluk rendah. Misal batu, air, tanah.
2. Evolusi tumbuhan; yang mula-mula muncul adalah rerumputan spontan, kemudian tanaman, lalu pepohonan tingkat tinggi.
Di antara tumbuhan dan hewan terdapat satu bentuk kehidupan tertentu. yang tidak dapat digolongkan tumbuhan maupun hewan, namun memiliki ciri-ciri tumbuhan dan hewan, yaitu koral, dan euglena.
3. Evolusi hewan; dicirikan antara lain oleh adanya daya gerak dan indera peraba dan pada hewan yang lebih tinggi mulai adanya inteligensi. Hewan paling tinggi adalah kera.
4. Evolusi manusia; ditandai oleh adanya inteligensi dan daya pemahaman.
2. Evolusi tumbuhan; yang mula-mula muncul adalah rerumputan spontan, kemudian tanaman, lalu pepohonan tingkat tinggi.
Di antara tumbuhan dan hewan terdapat satu bentuk kehidupan tertentu. yang tidak dapat digolongkan tumbuhan maupun hewan, namun memiliki ciri-ciri tumbuhan dan hewan, yaitu koral, dan euglena.
3. Evolusi hewan; dicirikan antara lain oleh adanya daya gerak dan indera peraba dan pada hewan yang lebih tinggi mulai adanya inteligensi. Hewan paling tinggi adalah kera.
4. Evolusi manusia; ditandai oleh adanya inteligensi dan daya pemahaman.
2.
Kenabian
Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa Nabi tidaklah berbeda
dengan filsuf dalam hal bahwa kedua-duanya memperoleh kebenaran yang sama.
Hanya cara memperolehnya yang berbeda; Nabi memperoleh kebenaran melalui wahyu,
jadi dari atas (akal aktif) ke bawah; filsuf memperoleh kebenaran dari bawah ke
atas, yaitu dari daya inderawi lalu daya khayal lalu daya pikir sehingga dapat
berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat kebenaran dari akal aktif. Sumber
kebenarannya sama-sama akal aktif.
3. Jiwa
Jiwa menurut Ibnu Miskawaih adalah substansi ruhani yang
kekal, tidak hancur dengan kematian jasad. Kebahagiaan dan kesengsaraan di
akhirat nanti hanya dialami oleh jiwa. Jiwa bersifat immateri karena itu
berbeda dengan jasad yang bersifat materi. Mengenai perbedaan jiwa dengan jasad
Ibnu Miskawaih mengemukakan argumen-argumen sebagai berikut:
a. Indera, setelah mempersepsi suatu rangsangan yang kuat
selama beberapa waktu, tidak mampu lagi mempersepsi rangsangan yang lebih
lemah, sedangkan aksi mental dan kognisi tidak.
b. kita sering memejamkan mata jika sedang merenungkan suatu hal yang musykil. Suatu bukti bahwa indera tidak dibutuhkan waktu itu.
c. mempersepsi rangsangan yang kuat merugikan indera, tetapi intelek bisa berkembang dan menjadi kuat dengan mengetahui ide dan paham-paham umum.
d. kelemahan fisik yang disebabkan usia tua tidak mempengaruhi kekuatan mental.
e. jiwa dapat memahami proposisi-proposisi tertentu yang tidak berkaitan dengan dengan data-data inderawi.
f. ada suatu kekuatan di dalam diri kita yang mengatur organ-organ fisik, membetulkan kesalahan-kesalahan inderawi, dan menyatukan pengetahuan.
b. kita sering memejamkan mata jika sedang merenungkan suatu hal yang musykil. Suatu bukti bahwa indera tidak dibutuhkan waktu itu.
c. mempersepsi rangsangan yang kuat merugikan indera, tetapi intelek bisa berkembang dan menjadi kuat dengan mengetahui ide dan paham-paham umum.
d. kelemahan fisik yang disebabkan usia tua tidak mempengaruhi kekuatan mental.
e. jiwa dapat memahami proposisi-proposisi tertentu yang tidak berkaitan dengan dengan data-data inderawi.
f. ada suatu kekuatan di dalam diri kita yang mengatur organ-organ fisik, membetulkan kesalahan-kesalahan inderawi, dan menyatukan pengetahuan.
Jiwa memiliki tiga daya, yaitu daya berpikir, daya
keberanian, dan daya keinginan. Tiga daya itu masing-masing melahirkan sifat
kebajikan. Yaitu hikmah, keberanian, dan kesederhanaan. Keselarasan ketiga
kebajikan tersebut akan menghasilkan kebajikan keempat, yaitu adil. Hikmah ada
tujuh macam; tajam dalam berpikir, cekatan berpikir, jelas dalam pemahaman,
kapasitas yang cukup, teliti melihat perbedaan, kuat ingatan, dan mampu
mengungkapkan. Keberanian ada sebelas sifat; murah hati, sabar, mulia, teguh,
tentram, agung, gagah, keras keinginan, ramah, bersemangat, dan belas kasih.
Kesederhanaan ada dua belas; malu, ramah, keadilan, damai, kendali diri, sabar,
rela, tenang, saleh, tertib, jujur, dan merdeka.
3.
Moral/Etika
Dalam bidang inilah Ibnu Miskawaih banyak disorot
dikarenakan langkanya filsuf Islam yang membahas bidang ini. Secara praktek
etika sebenarnya sudah berkembang di dunia Islam, terutama karena Islam sendiri
sarat berisi ajaran tentang akhlak. Bahkan tujuan diutusnya Nabi Muhammad Saw
adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Ibnu Miskawaih mencoba menaikkan
taraf kajian etika dari praktis ke teoritis-filosofis, namun dia tidak
sepenuhnya meninggalkan aspek praktis.
Moral, etika atau akhlak menurut Ibnu Miskawaih adalah
sikap mental yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berpikir dan
pertimbangan. Sikap mental terbagi dua, yaitu yang berasal dari watak dan yang
berasal dari kebiasan dan latihan. Akhlak yang berasal dari watak jarang
menghasilkan akhlak yang terpuji; kebanyakan akhlak yang jelek. Sedangkan
latihan dan pembiasaan lebih dapat menghasilkan akhlak yang terpuji. Karena itu
Ibnu Miskawaih sangat menekankan pentingnya pendidikan untuk membentuk akhlak
yang baik. Dia memberikan perhatian penting pada masa kanak-kanak, yang
menurutnya merupakan mata rantai antara jiwa hewan dengan jiwa manusia.
Masalah pokok yang dibicarakan dalam kajian akhlak adalah
kebaikan (al-khair), kebahagiaan (al-sa’adah), dan keutamaan (al-fadhilah).
Kebaikan adalah suatu keadaan dimana kita sampai kepada batas akhir dan
kesempurnaan wujud. Kebaikan ada dua, yaitu kebaikan umum dan kebaikan khusus.
Kebaikan umum adalah kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai
manusia, atau dengan kata lain ukuran-ukuran kebaikan yang disepakati oleh
seluruh manusia. Kebaikan khusus adalah kebaikan bagi seseorang secara pribadi.
Kebaikan yang kedua inilah yang disebut kebahagiaan. Karena itu dapat dikatakan
bahwa kebahagiaan itu berbeda-beda bagi tiap orang.
Ada dua pandangan pokok tentang kebahagiaan. Yang pertama
diwakili oleh Plato yang mengatakan bahwa hanya jiwalah yang mengalami
kebahagiaan. Karena itu selama manusia masih berhubungan dengan badan ia tidak
akan memperoleh kebahagiaan. Pandangan kedua dipelopori oleh Aristoteles, yang
mengatakan bahwa kebahagiaan dapat dinikmati di dunia walaupun jiwanya masih
terkait dengan badan.
Ibnu Miskawah mencoba mengompromikan kedua pandangan yang
berlawanan itu. Menurutnya, karena pada diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa
dan badan, maka kebahagiaan meliputi keduanya. Hanya kebahagiaan badan lebih
rendah tingkatnya dan tidak abadi sifatnya jika dibandingkan dengan kebahagiaan
jiwa. Kebahagiaan yang bersifat benda mengandung kepedihan dan penyesalan,
serta menghambat perkembangan jiwanya menuju ke hadirat Allah. Kebahagiaan jiwa
merupakan kebahagiaan yang sempurna yang mampu mengantar manusia menuju
berderajat malaikat.
Tentang keutamaan Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa asas
semua keutamaan adalah cinta kepada semua manusia. Tanpa cinta yang demikian,
suatu masyarakat tidak mungkin ditegakkan. Ibnu Miskawaih memandang sikap uzlah
(memencilkan diri dari masyarakat) sebagai mementingkan diri sendiri. Uzlah
tidak dapat mengubah masyarakat menjadi baik walaupun orang yang uzlah itu
baik. Karena itu dapat dikatakan bahwa pandangan Ibnu Miskawaih tentang akhlak
adalah akhlak manusia dalam konteks masyarakat.
Ibnu Miskawaih juga mengemukakan tentang penyakit-penyakit
moral. Di antaranya adalah rasa takut, terutama takut mati, dan rasa sedih.
Kedua penyakit itu paling baik jika diobati dengan filsafat.
5.
Sejarah
Sejarah merupakan pencerminan struktur politik dan ekonomi
masyarakat pada masa tertentu, atau dengan kata lain merupakan rekaman tentang
pasang-surut kebudayaan suatu bangsa. Sejarah tidak hanya mengumpulkan
kenyataan-kenyataan yang telah lampau tetapi juga menentukan bentuk yang akan
datang.
Demikianlah sekadar pengantar kepada pemikiran filsafat Ibnu
Miskawaih.
Referensi:
Nasution, Hasyimsyah, Dr., M.A., Filsafat Islam, Jakarta: GMP, 1999.
Shubhi, Ahmad Mahmud, Dr., Filsafat Etika, Jakarta: Serambi, 2001.
Nasution, Hasyimsyah, Dr., M.A., Filsafat Islam, Jakarta: GMP, 1999.
Shubhi, Ahmad Mahmud, Dr., Filsafat Etika, Jakarta: Serambi, 2001.
G. Daftar Pustaka
Aceh Abu Bakar,
sejarah filsafat Isalm, Sala:C.V.Ramdhani, Cet. 2 th 1982
Dahlan Abdul Aziz ,
pemikiran filsafat dalam Islam, Jakarta: Djambatan, Cet, 1 th 2003
Drajat Amroeni,
Filsafat Islam buat yang pengen tahu, Jakarta:Penerbit Erlangga, cet. I th 2006
Mustofa, Filsafat
Islam, Bandung: Pustaka Setia, Cet. 2 th 2004
Nasution
Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta:Gaya media pratama, Cet, 3 th 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar