Rabu, 28 Maret 2012

ibnu tamiyiah


BAB I
PENDAHULUAN

Kontribusi kaum musliniin yang sangat besar terhadap kelangsungan dan perkembangan pemikiran ekonomi pada khususnya dan peradaban dunia pada umumnya. Telah diabaikan oleh para ilmuwan barat. Buku - buku teks Ekonomi Barat hampir tidak pemah menyebutkan peranan kaum muslimin ini.
Sejalan dengan ajaran Islam tentang pemberdayaan akal pikiran dengan tetap berpegang teguh pada Al-qur’an dan hadist nabi. Konsep dan teori Ekonomi dalam Islam pada hakikatnya merupakan respon para cendikiawan muslim terhadap berbagai tantangan ekonomi pada waktu-waktu tertentu. Ini juga berarti bahasa pemikiran ekonomi Islam sesuai Islam itu sendiri.
Berbagai Praktik dan Kebijakan Ekonomi yang berlangsung pada masa Rasulullah dan Al-Khulafa al-Rasyidin merupakan contobh empiris yang dijadikan pijakan bagi para cendikiawan muslim dalam melahirkan teori-teori ekonominya.
Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah terletak pada sistem harga yang adil, Mekanisme Pasar dan Resulasi Harga. Dalam membahas persoalan yang berkaitan dengan harga, ia menggunakan dua istilah yakni kompetensi yang setara (I’wadh al-misti) dan hanya yang setara (tsaman al-misti).
Dalam mekanisme harga Ibnu Taimiyah memiliki sebuah pemahaman yang jelas tentang bagaimana, dalam suatu pasar bebas, harga ditentukan oleh kekuatan Pemikiran dan Penawaran.
Dalam resolusi harga Ibnu Taimiyah melanjutkan pembahasan dengan pemasaran secara detail mengenai konsep kebijakan pengendalian harga oleh pemerintah. Tujuan Regulasi harga adalah untuk menegakan keadilan serta memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Secara jelas akan dipaparkan dalam makalah ini mengenai Pemikiran Ibnu Taimiyah.


BAB II
PEMIKIRAN EKONOMI IBNU TAIMIYAH
(1263 M/661 H - 1328 M/728 H)

A.    Riwayat Hidup
Ibnu Taimiyah yang bernama lengkap Taqayuddin Ahmad bin Abdul Halim lahir di kota Harran pada tanggal 22 Januari 1263 M (10 Rabiul Awwal 661 H). Ia berasal dari keluarga yang berpendidikan tinggi. Ayah, paman dan kakeknya merupakan ulama besar Mazhab Hanbali dan penulis sejumlah buku.
Karena kecerdasan dan kejeniusannya, Ibnu Taimiyah yang berusia masih sangat muda telah mampu menamatkan sejumlah mata pelajaran, seperti tafsir, hadits, fiqih, matematika, dan filsafat, serta berhasil menjadi yang terbaik diantara teman-teman seperguruannya. Guru Ibnu Taimiyah berjumlah 200 orang, diantaranya adalah Syamsuddin Al-Maqdisi, Ahmad bin Abu Al-Khair, Ibn Abi Al-Yusr, dan Al-Kamal bin Abdul Majd bin Asakir.
Ketika berusia 17 tahun, Ibnu Taimiyah telah diberi kepercayaan oleh gurunya, Syamsuddin Al-Maqdisi, untuk mengeluarkan fatwa. Pada saat yang bersamaan, ia juga memulai kiprahnya sebagai seorang guru. Kedalamannya ilmu Ibnu Taimiyah memperoleh penghargaan dan pemenintah pada saat itu dengan menawaninya jabatan kepala kantor pengadilan. Namun, karena hati nuraninya tidak mampu memenuhi berbagai batasan yang ditentukan oleh penguasa, ia menolak tawaran tersebut.
Kehidupan Ibnu Taimiyah tidak hanya terbatas pada dunia buku dan kata-kata. Ketika kondisi menginginkannya, tanpa ragu-ragu ia turut serta dalam dunia politik dan urusan publik. Dengan kata lain, keistimewaan din Ibnu Taimiyah tidak hanya terbatas pada kepiawainnya dalam menulis dan berpidato, tetapi juga mencakup keberaniannya dalam berlaga di medan perang.[1]
Penghonmatan yang begitu besar yang diberikan masyarakat dan pemerintah kepada Ibnu Taimiyah membuat sebagian orang merasa iri dan berusaha untuk menjatuhkan dirinya. Sejarah mencatat bahwa sepanjang hidupnya, Ibnu Taimiyah telah menjalani masa tahanan sebanyak empat kali akibat fitnah yang dilontarkan para penentangnya.
Selama dalam tahanan, Ibnu Taimiyah tidak pernah berhanti untuk menulis dan mengajar. Bahkan, ketika penguasa mencabut haknya untuk menulis dengan cara mcngambil pena dan kertasnya, ia tetap menulis dengan menggunakan batu arang. Ibnu Taimiyah meninggal dunia didalam tahanan pada tanggal 26 September 1328 M (20 Dzul Qo’dah 728 H) setelah mengalami perlakuan yang sangat kasar selama lima bulan.
B.     Pemikiran Ekonomi
Pemikiran Ibnu Taimiyah hanya diambil dari berbagai karya tulisnya, antara lain Majmu’Fatwa Syaikh al-Islam, as-Siyasah asy-Syar’iyyah fil Islhlah ar-Ra’i wa ar-Ra’iyah dan al-Hisbah fi al-Islam.
C.    Harga yang Adil
Konsep harga yang adil pada hakekatnya telah ada dan digunakan sejak awal kehadiran Islam. Al-quran sendiri sangat menekankan keadilan dalam setiap aspek kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, adalah hal yang wajar jika keadilan juga diwujudkan dalam aktivitas pasar, khususnya harga. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah saw menggolongkan riba sebagai penjualan yang terlalu mahal yang melebihi kepercayaan para konsumen.
Istilah harga yang adil juga telah disebutkan dalam beberapa hadits nabi dalam konteks kompensasi seorang pemilik, misalnya dalam kasus seorang majikan yang membebaskan budaknya. Sekalipun penggunaan istilah tersebut sudah ada sejak awal kehadiran Islam, Ibnu Taimiyah tampaknya orang yang pertama kali menaruh perhatian khusus terhadap permasalahan harga yang adil. Dalam membahas persoalan yang berkaitan dengan harga, ia sering kali menggunakan dua istilah, yaitu kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl) dan harga yang setara (tsaman al-mitsl).[2]
Ia menyatakan, “kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara, dan inilah esensi keadilan (nafs Al-adl). ditempat lain, ia membedakan antara dua jenis harga, yakni harga yang tidak adil dan dilarang serta harga yang adil dan disukai. Ibnu Taimiyah menganggap harga yang setara sebagai harga yang adil. Oleh karena itu, ia menggunakan kedua istilah ini secara bergantian.
Setara sebagai harga yang adil. Oleh karena itu, ia menggunakan kedua istilah ini secara bergantian. Konsep Ibnu Taimiyah mengenai kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl) tidak sama dengan harga yang adil (tsaman al-mitsl). Persoalan tentang kompensasi yang adil atau setara (‘iwadh al-mitsl) muncul ketika mengupas persoalan kewajiban moral dan hukum. Menurutnya, prinsip-prinsip ini terkandung dalam beberapa kasus berikut.
a)      Ketika seseorang harus bertanggung jawab karena membahayakan orang lain atau merusak harta atau keuntungan.
b)      Ketika seseorang mempunyai kewajiban untuk membayar kembali sejumlah barang atau keuntungan yang setara atau membayar ganti rugi terhadap luka-luka sebagian orang.
Prinsip umum yang sama berlaku pada pembayaran iuran, kompensasi dan kewajiban finansial lainnya. Misalnya:
a)      Hadiah yang diberikan oleh Gubernur kepada orang-orang muslim, anak-anak yatim dan wakaf.
b)      Kompensasi oleh agen bisnis yang menjadi wakil unuk melakukan pembayaran kompensasi.
Dalam mendefinisikan kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl), Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kesetaraan adalah jumlah yang sama dan objek khusus dimaksud, dalam pemakaian yang umum (urf). Hal ini juga terkait dengan tingkat harga (si’r) dan kebiasaan (‘adah), lebih jauh, ia mengemukakan bahwa evaluasi yang benar terhadap kompensasi yang adil didasarkan atas analogi dan taksiran dan barang tersebut dengan barang lain yang setara.
Ibnu Taimiyah membedakan antara legal-etik dengan aspek ekonomi dan suatu harga yang adil. Ia menggunakan istilah kompensasi yang setara ketika menelaah dari sisi legal etik dan harga yang setara ketika meninjau dan aspek ekonomi. Ia menyatakan:
“sering kali terjadi ambiguitas di kalangan para fuquha dan mereka saling berdebat tentang karakteristik dari suatu harga yang setara, terutama yang berkaitan dengan jenis (jins) dan kuantitas (miqdar).”
Tentang perbedaan antara kompensasi yang setara dengan harga yang adil, ia menjelaskan:
“Jumlah yang tertera dalam suatu akad ada dua macam. Pertama, jumlah yang telah dikenal baik dikalangan masyarakat. Jenis ini telah dapat diterima secara umum. Kedua, jenis yang tidak lazim sebagai akibat dan adanya peningkatan atau penurunan kemauan (righbah) atau faktor lainnya. Hal ini dinyatakan sebagai harga yang setara.”
Tampak jelas bagi Ibnu Taimiyah bahwa kompensasi yang setara itu relatif merupakan sebuah fenomena yang dapat bertahan lama akibat terbentuknya kebiasaan, sedangkan harga yang setara itu bervaniasi, ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran serta dipengaruhi oleh kebutuhan dan keinginan masyarakat.
Berbeda halnya dengan konsep kompensasi yang setara, persoalan harga yang adil muncul ketika menghadapi harga yang sebenarnya, pembelian dan pertukaran barang. Dalam mendefinisikan hal ini, ia menyatakan:
“Harga yang setara adalah harga standar yang berlaku ketika masyarakat menjual barang-barang dagangnnya dan secara umum dapat diterima sebagai sesuatu yang setara barang-barang tersebut atau barang-barang yang serupa pada waktu dan tempat yang khusus.”
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa harga yang setara adalah harya yang dibentuk oleh kekuatan pasar yang berjalan secara bebas, yakni pertemuan antara kekuatan permintaan dengan penawaran. Ia menggambarkan perubahan barga sebagai berikut:
“Jika penduduk menjual barang-barangnya secara normal (al-wajh al-ma’ruf) tanpa menggunakan cara-cara yang tidak adil kemudian harga tersebut meningkat karena pengaruh kelangkaan barang (yakni penurunan supply) atau karena peningkatan jumlah penduduk (yakni peningkatan demand) kenaikan harga-harga tersebut merupakan kehendak Allah swt, dalam kasus ini, memaksa penjual untuk menjual barang-barang mereka pada harga tertentu adalah pemaksaan yang salah (ikrah bi ghairi haq)
D.    Konsep Upah yang Adil
Pada abad pertengahan, konsep upah yang adalah dimaksudkan sebagai tingkat upah yang wajib diberikan kepada para pekerja sehingga mereka dapat hidup secara layak ditengah-tengah masyarakat. Berkenaan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengacu pada tingkat harga yang berlaku dipasar tenaga kerja (tas’ir fil a’mal) dan menggunakan istilah upah yang setara (ujrah al-mitsl). Seperti halnya harga, prinsip dasar yang menjadi objek observasi dalam menentukan suatu tingkat upah adalah definisi menyeluruh tentang kualitas dan kuantitas. Harga dan upah, ketika keduanya tidak pasti dan tidak ditentukan atau tidak dispesifikasikan dan tidak diketahui jenisnya, merupakan hal yang samar dan penuh dengan spekulasi.
Tentang bagaimana upah yang setara itu ditentukan, Ibnu Taimiyah menjelaskan, “upah yang setara akan ditentukan oleh upah yang telah diketahui (musamma’) jika ada, yang dapat menjadi acuan bagi kedua belah pihak. Seperti halnya dalam kasus jual dan sewa, harga yang telah diketahui (tsaman musamma’) akan diperlakuan sebagai harga yang setara.
E.     Konsep Laba yang Adil
Menurutnya, para pedagang berhak memperoleh keuntungan melalui cara-cara yang dapat diterima secara umum tanpa merusak kepentingan dirinya sendiri dan kepentingan para pelanggannya.
Berdasarkan definisi tentang harga yang adil, Ibnu Taimiyah mendefinisikan laba yang adil sebagai laba normal yang secara umum diperoleh dari jenis perdagangan tertentu, tenpa merugikan orang lain. Ia menentang tingkat keuntungan yang tidak lazim, bersifat eksplotif dengan memanfaatkan ketidakpedulian masyarakat terbadap kondisi pasar yang ada. Ia menjelaskan:
“seseorang yang memperoleh barang untuk mendapatkan pemasukan dan memperdagangkannya dikemudian hari diizinkan melakukan hal tersebut. Namun, ia tidak boleh mengenakan keuntungan terhadap orang-orang miskin yang lebih tinggi daripada yang sedang berlaku dan seharusnya tidak menaikan harga terhadap mereka yang sedang sangat membutuhkan.”
Ibnu Taimiyah memandang laba sebagai penciptaan tenaga kerja dan modal secara bersamaan. Oleh karena itu, pemilik kedua faktor produksi tersebut berhak memperoleh bagian keuntungan. Dalam hal tejadi suatu perselisihan, ia menyatakan bahwa keuntungan dibagi menurut cara yang dapat diterima secara umum oleh kedua belah pihak, yakni pihak yang menginvestasikan tenaganya dan pihak yang menginvestasikan uangnya. Ia menyatakan:
“karena keuntungan merupakan tambahan yang dihasilkan oleh tenaga disatu pihak dan harta dipihak lain, maka pembagian keuntungan dilakukan dengan cara yang sama sebagai tambahan yang diciptakan oleh kedua faktor tersebut.”
F.     Relevansi Konsep Harga Adil dan Laba yang Adil bagi Masyarakat
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, adil bagi para pedagang berarti barang-barang dagangan mereka tidak dipaksa untuk dijual pada tingkat harga yang dapat menghilangkan keuntungan normal mereka. Menurutnya “setiap individu mempunyai hak pada apa yang mereka miliki. Tidak ada seorang pun yang bisa mengambilnya, baik sebagian maupun seluruhya, tanpa izin dan persetujuan mereka.
Penggunaan dan implikasi dan konsep upah yang adil adalah sama halnya dengan konsep harga yang adil. Tujuan dasar dan harga yang adil adalah untuk melindungi kepentingan pekerja dan majikan serta melindungi mereka dari aksi saling mengeksploitasi. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah menyatakan, “apabila seorang majikan memperkerjakan seseorang secara zalim dengan membayar pada tingkat upah yang lebih rendah daripada upah yang adil, yang secara normal tidak ada seorangpun menerimanya, pekerja berhak meminta upah yang adil.


G.    Mekanisme Pasar
Ibnu Taimiyah memiliki sebuah pemahaman yang jelas tentang bagaimana, dalam suatu pasar bebas, harga ditentukan oleh kekuatan pennintaan dan penawaran. Ia menyatakan, “naik dan turunnya harga tidak selalu diakibatkan oleh kezaliman orang-orang tertentu. Terkadang, hal tersebut disebabkan oleb kekurangan produksi atau penurunan impor barang-barang yang diminta. Oleh karena itu, apabila permintaan naik dan penawaran turun, harga-harga naik. Di sisi lain, apabila persediaan barang meningkat dan permintaan terhadapnya menurun, harga pun turun, kelangkaan atau kelimpahan ini bukan disebabkan oleh tindakan orang-orang tertentu. Ta bisa jadi disebabkan oleh sesuatu yang tidak mengandung kezaliman, atau terkadang, ia juga bisa disebabkan oleh kezaliman. Hai ini adalah kemahakuasaan Allah yang telah menciptakan keinginan dihati manusia.
Ibnu Taimiyah mencatat beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan serta konsekuensinya terhadap harga, yaitu:
1.      Keinginan masyarakat (raghbah) terhadap berbagai jenis barang yang berbeda dan selalu berubah-ubah. Perubahan ini sesuai dengan langka atau tidaknya barang-barang yang diminta. Semakin sedikit jumlah suatu barang yang tersedia akan semakin diminati oleh masyarakat. barang yang diminta. Semakin sedikit jumlah suatu barang yang tersedia akan semakin diminati oleh masyarakat.
2.      Jumlah para peminat terbadap suatu barang. Jika jumlah masyarakat yang menginginkan suatu barang semakin banyak, harga barang tersebut akan semakin meningkat, dan begitu pula sebaliknya.
3.      lemah atau kuatnya kebutuhan terhadap suatu barang serta besar atau kecilnya tingkat dan ukuran kebutuhan. Apabila kebutuhan besar dan kuat harga akan naik. Sebaliknya, jika kebutuhan kecil dan lemah, harga akan turun.
4.      kualitas pembeli. Jika pembeli adalah seseorang yang kaya dan tcrpercaya dalam membayar utang, harga yang diberikan lebth rendah. Sebaliknya, harga yang diberikan lebih tinggi jika pembeli adalah seorang yang sedang bangkrut, suka mengulur-ulur pembayaran utang serta mengingkari utang.
5.      jenis uang yang digunakan dalam transaksi. Harga akan lebih rendah jika pembayaran dilakukan dengan menggunakan uang yang umum dipakai daripada uang yang jarang dipakai.
6.      Tujuan transaksi yang menghendaki adanya kepemilikan resiprokal diantara kedua belah pihak. Harga suatu barang yang telah tersedia dipasaran lebih readah daripada harga suatu barang yang belum ada di pasaran. Begitu pula halnya harga akan lebih rendah jika pembayaran dilakukan secara tunai daripada pembayaran dilakukan secara angsuran.
7.      Besar kecilnya biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen atau penjual Semakin besar biaya yang dibutuhkan oleh produsen atau penjual untuk menghasilkan atau memperoleh barang akan semakin tinggi pula harga yang diberikan dan begitu pula sebaliknya.
H.    Regulasi Harga
Tujuan regulasi harga adalah untuk menegakan keadilan serta rnemenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Ibnu Taimiyah membedakan dua jenis penetapan harga, yakni penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum serta penetapan harga yang adil dan sah menurut hukum. Penerapan harga yang tidak adil dan cacat hukum adalah penetapan harga yang dilakukan pada saat kenaikan harga-harga terjadi akibat persaingan pasar bebas, yakni kelangkaan supply atau kenaikan demand. Dalam melakukan penetapan harga, harus dibedakan antara para pedagang lokal yang memiliki persediaan barang dengan para importir. Dalam hal ini, para importir tidak boleh dikenakan kebijakan tersebut. Namun, mereka dapat diminta untuk menjual barang dagangannya seperti halnya rekanan Importir mereka. Penetapan harga akan menimbulkan dampak yang merugikan persediaan barang-barang impor mengingat penetapan hanya tidak diperlukan terhadap barang-barang yang tersedia ditempat itu, karena akan merugikan para pembeli.
1)      Pasar yang Tidak Sempurna
Di samping dalam kondisi kekeringan dan perang, Ibnu Taimiyah merekomendasikan kepada pemerintah agar melakukan kebijakan penetapan harga pada saat ketidaksempurnaan melanda pasar. Contoh nyata dan pasar yang tidak sempurna adalah adanya monopoli terhadap makanan dan barang-barang kebutuhan dasar lainnya.
Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah memberikan gambaran tentang prinsip daras untuk menghilangkan kezaliman. Ia menyatakan:
“Jika penghapusan seluruh kezaliman tidak mungkin dilakukan, seseorang wajib melenyapkannya semaksimal mungkin.”
Ibnu Taimiyah melarang para pedagang dan pembeli membuat perjanjian untuk menjual barang pada harga yang telah ditetapkan sebelumnya sehingga dapat memperoleh harga yang lebih rendah, sebuah kasus yang menyerupai monopsoni.
2)      Musyawarah untuk menetapkan harga
Sebelum menerapkan kebijakan penetapan harga, terlebih dahulu pemerintah harus melakukan musyawarah dengan masyarakat terkait.
Pemikiran Ibnu Taimiyah tentang regulasi harga ini juga berlaku terhadap berbagai faktor produksi lainnya. Seperti yang telah disinggung di muka, ia menyatakan bahwa apabila para tenaga kerja menolak memberikan jasa mereka sementara masyarakat sangat membutuhkannya atau terjadi ketidaksempurnaan dalam pasar tenaga kerja, pemerintah harus menetapkan upah para tenaga kerja. Tujuan penetapan harga ini adalah untuk melindungi para majikan dan pekerja dari aksi saling mengeksplotasi di antara mereka.
Lebih jauh lagi Ibnu Taimiyah membatasi keabsahan pemerintah dalam menetapkan  intervensi pemerintah dalam pasar pada empat situasi dan kondisi berikut:
1.      Kebutuhan masyarakat atau hajat orang banyak akan sebuah komoditas (barang maupun jasa). Para fuqaha sepakat bahwa sesuatu yang menjadi hajat orang banyak tidak dapat diperjualbelikan kecuali dengan harga yang sesuai
2.      Terjadi kasus monopoli (penipuan), para fuqaha sepakat untuk memberlakukan hak hajat (ketetapan yang membatasi hak guna dan hak pakai atas kepemilikan barang) oleh pemerintah
3.      Terjadi keadaan al-hasr (pemboikotan) dimana distribusi barang hanya pada suatu atau pihak tertentu.
4.      Terjadi koalisi dan kolusi antar para penjual, dimana sejumlah pedagang sepakat untuk kolusi antara para penjual, dimana mereka sendiri dengan harga penjualan yang tentunya di bawah harga pasar. Ketetapan intervensi disni untuk megnhindari dari kemungkinan terjadi fluktuasi harga barang yang ekstrem dan dramatis.[3]


BAB III
UANG DAN KEBIJAKAN MONETER

A.    Karakteristik dan Fungsi Uang
Secara khusus, Ibnu Taimiyah menyebutkan dua fungsi utama uang, yakni sebagai pengukur nilai dan media pertukaran bagi sejumlah barang yang berbeda. Ia menyatakan, “Atsaman dimaksudkan sebagai pengukur nilai barang-barang dapat diketahui dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri.”
Berdasarkan pandangannya tersebut, Ibnu Taimiyah menentang keras segala bentuk perdagangan uang, karena hal ini berarti mengalihkan fungsi uang dan tujuan yang sebenarnya.
B.     Penurunan Nilai Mata Uang
Ibnu Taimiyah menentang keras terjadinya penerunan nilai mata uang dan pencetakan mata uang yang sangat banyak. Ia menyatakan, “penguasa seharusnya mencetak fulus sesuai dengan nilai yang adil (proposional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka.
C.    Mata Uang yang Buruk akan Menyingkirkan Mata Uang yang baik
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk akan menyingkirkan mata uang yang berkualitas baik dari peredaraan. Ia menggambarkan hal ini sebagai berikut, “apabila penguasa membatalkan penggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena jatuhnya nilai uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan kezaliman karena menghilangkan nilai tinggi yang semula mereka miliki. Lebih dari pada itu, apabila nilai intristik mata uang tersebut berbeda, hal ini akan menjadi sebuah sumber keuntungan bagi penjahat untuk mengumpulkan mata uang yang buruk dan menukarkannya dengan mata uang yang baik dan kemudian mereka akan membawanya ke daerah lain dan menukarkannya dengan mata uang yang buruk didaerah tersebut untuk dibawa kembali kedaerahnya. Dengan demikian, nilai barang-barang masyarakat akan menjadi hancur.[4]
D.    Keuangan Negara dan Zakat
Negara menurut Ibnu Taimiyah bertugas untuk menghapuskan kemiskinan rakyat. Namun dari sisi lain beliau juga sangat mendorong meraih kekayaan secara mandiri untuk dapat hidup sejahtera dan mampu membayar zakat, berinfak dan bersedekah.[5]
Pendapatan Negara yang sesuai dengan syariah ada tiga macam yaitu gharimah, zakat dan fa’i.
Dalam fa’i antara lain:
a)      Gizyah (pajak)
b)      Harta tebusan perang
c)      Hadiah-hadiah yang dipersembahkan untuk raja
d)     Bea masuk atas komoditas milik Negara musuh
e)      Denda dan
f)       Kharaj, yaitu pajak atas tanah pertanian.
Ibnu Taimiyah juga menjelaskan bahwa pendapatan Negara harus dibelanjakan untuk kepentingan rakyat berdasarkan petunjuk Allah.
a)      Fakir dan miskin
b)      Membiayai perang jihad dan pertahanan
c)      Penguatan hukum dan peradilan
d)     Dana pension dan gaji pegawai Negara
e)      Pembangunan infrastruktur
f)       Kesejahteraan umum.



BAB IV
KESIMPULAN

Pemikiran Ibnu Taimiyah banyak di ambil dari karya tulisnya antara lain Majmu Fatawa Syaikh al-Islam, As-Siyasah Asy-Syariyyah fi ishlah ar-rai wa ar-Ra’iyah, dan al-Hisbah fi al-Islam.
Harga yang adil, mekanisme pasar dan resulasi harga
a.       Harga yang adil, walaupun konsep harga yang adil pada hakikatnya telah ada dan digunakan sejak awal kehadiran Islam. Disini Ibnu Taimiyah dalam membahas persoalan yang berkaitan dengan barga, ia sering kali menggunakan dua istilah yakni kompensasi yang setara (iwadh al-mitsl) dan harga yang setara (tsaman al mitsl). Kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara dan inilah esensi keadilan dan pemikiran ekonomi harga yang adil ini Ibnu Taimiyah membuat konsep.
§  Konsep upah yang adil dimana konsep upah yang adil dimaksudkan sebagai tingkat upah yang wajib diberikan kepada para pekerja sehingga mereka dapat hidup secara layak ditengah-tengah masyarakat.
§  Konsep laba yang adil Ibnu Taimiyah mendefmisikan laba yang adil sebagai laba normal yang secara umum diperoleh dari jenis perdagangan tertentu tanpa merugikan orang lain.
§  Relevansi konsep harga adil dan laba yang adil bagi masyarakat dan kedua konsep ini dimaksudkan sebagai panduan bagi para penguasa untuk melindungi masyarakat dan berbagai tindakan eksploitatif.
b.      Mekanisme Pasar
Ibnu Taimiyah memiliki sebuah pemahaman yang jelas tentang bagaimana, dalam suatu pasar bebas, hanya ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran.
c.       Regulasi Harga
Dimana regulasi harga ini adalah untuk menegakkan keadilan serta memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.

Uang dan Kebijakan Moneter
a)      Karakteristik dan fungsi uang
Fungsi utama uang yakni sebagai pengukur nilai dan media pertukatan bagi sejumlah barang yang berbeda.
b)      Penurunan nilai mata uang
Ibnu Taimiyah menentang keras terjadinya penurunan nilai mata uang dan percetakan mata uang yang sangat banyak.
Mata uang yang buruk akan menyingkirkan mata uang yang baik Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk akan menyingkirkan mata uang yang berkualitas baik dari peredaran.



DAFTAR PUSTAKA

Karim, Adiwarman Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004
Nasution, Mustafa Edwin, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, Jakarta: Kencan, 2010
Purwataatmadja, Karen A., Jejak Rekam Ekonomi Islam, Jakarta: Citero Design, 2008



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................      i
DAFTAR ISI ..............................................................................................      ii
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................      1
BAB II PEMIKIRAN EKONOMI IBNU TAIMIYAH ..........................      2
A.    Riwayat Hidup .....................................................................      2
B.    Pemikiran Ekonomi ..............................................................      3
C.    Harga yang Adil ...................................................................      3
D.    Konsep Upah yang Adil .......................................................      6
E.     Konsep Laba yang Adil .......................................................      6
F.     Relevansi Konsep Harga yang Adil dan Laba yang Adil Bagi Masyarakat                7
G.    Mekanisme Pasar ..................................................................      8
H.    Regulasi Harga .....................................................................      9
BAB III UANG DAN KEBIJAKAN MONETER ...................................      12
A.    Karakteristik dan Fungsi Uang ............................................      12
B.    Penurunan Nilai Mata Uang .................................................      12
C.    Mata uang yang Buruk akan Menyingkirkan Mata Uang
yang Baik .............................................................................      12
D.    Keuangan Negara dan Zakat ................................................      13
BAB IV KESIMPULAN ...........................................................................      14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................     


[1] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 351
[2] Ibid, h. 352
[3] Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencan, 2010), h. 162
[4] Adi Warman Karim,op. cit, h. 574
[5] Karen A. Purwataatmadja, Jejak Rekam Ekonomi Islam, (Jakarta: Citero Design, 2008), h. 158

Tidak ada komentar:

Posting Komentar