Kamis, 22 Maret 2012

hadist tentang ajurkan nikah


A.    Hadist Tentang Anjuran Nikah
عن عبد الله بن مسعود رضى الله عنه قال: قال لنا رسول الله صلىَّ الله عليه وسلََّمَ يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فانه اغض للبصر واحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فانه له وجاه. (متفق عليه)
“Dari Abdullah bin Mas’ud r.a ia berkata: Rasulullah SAW  bersabda kepada kami: Hai kum pemuda, apabila diantara kalian mampu untuk kawin, dan lebih memelihara kemaluan dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa karena puasa itu sebagai kebiri baginya.” (Di sepakati oleh Bukhari dan Muslim)
Penjelasan:
Dalam hadits di atas Rasulullah SAW, memerintahkan kepada para pemuda agar supaya kawin itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan, karena pemuda tempat dugaan kuatnya syahwat terhadap wanita. Para Ulama berselisih pendapat tentang kata (bah), yang lebih shahih, ialah; Jima' maksudnya: barang siapa yang 'mampu jima', karena ia sanggup memberi biaya perkawinan, maka hendaklah ia kawin, dan barang siapa yang tidak mampu jima' karena ia tidak mampu memberi biaya untuk kawin, maka hendaklah ia berpuasa karena puasa itu dapat menolak syahwatnya dan memutuskan kejahatan syahwatnya. sebagaimana kebiri dapat memutuskannya., menurut riwayat Ibnu Hibban, menafsirkannya kata (wija') yaitu: kebiri. ada yang
mengatakan arti (wija') yaitu: memecahkandua biji kemaluan, dan kebiri; mengeluarkan keduanya. Yang dimaksud, bahwa puasa itu seperti kebiri. perintah kawin menurut wajibnya beserta mampu untuk mendapatkan biayanya,demikian pendapat Dawud dan Ahmad lbnu Hazim berkata: Fardu bagi orang yang mampu bersetubuh, jikalau ia mendapat biaya supaya kawin dengan hamba sahaya, jikalau ia tidak mampu yang demikian, hendaklah banyak-banyak berpuasa begitu juga pendapat sekelompok dari Ulama shalaf. Menurut Jumhur, bahwa perintatr kawin itu sunnat berdasarkan firman Allah swt, yang memerintahkan supaya memilih di antara kawin dan membeli budak"
 
"Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil Maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki.” (QS. An-Nisaa’ : 3)
Membeli budak tidak wajib, menurut kesepakatan Ulama begitu juga kawin karena tidak ada pilihan di antara yang wajib dengan yang tidak wajib, kecuali anggapan kesepakatan Ulama tidak benar, karena berbeda dengan pendapat Dawud dan Ibnu Hazim.
Ibnu Diqiqil'id nrenyebutkan, bahwa di antara Fuqaha ada yang berkata kawin itu wajib bagi orang yang dikhawatirkan berbuat dosa dan malapu untuk kawin, namun tidak sanggup kawin dengan hamba sahaya begitu juga pendapat Al-Qurtuhubi, maka wajib kawin bagi orang yang tidak dapat meninggalkan perbuatan zina kecuali kawin. Bagi orang yang tidak dapat meninggalkan perbuatan zina, kecuali kawin. Kemudian ia menyebutkan, ada orang yang haram kawin, yang makruh, ymg sunnat dan yang mubah, maka haram bagi orang yang tidak mau bersetubuh dan tidak mau memberi nafkah kepada istrinya padahal ia mampu serta ingin kepadanya, makruh kepada hak orang seperti ini kalau tidak membahayakan istri, mubah pada orang yang tidak ada keinginan dan halangan, sunnat pada hak setiap orang yang mengharapkan keturunan walaupun ia tidak berkeinginan untuk bersetubuh, karena Nabi SAW bersabda: "Sesunguhnya aku memperbanyak ummatku dengan kalian, dari pada ummat para Nabi yang lain dan karena akhirya anjuran untuk kawin.
Nabi SAW bersabda: "Hendaklah ia berpuasa" merupakan anjuran selalu berpuasa, karena itu sebagai kebiri, dan karena mengurangi makan dan minum menjadikan nafsu syahwat itu kurang. Allah swt menjadikan rahasia dalam kuasa, maka tidak ada gunanya mengurangi makanan saja tanpa puasa.
Al-Khutthabi bersitidal dengan hadits di atas, boleh minum obat untuk memutuskan syahwat, diceritakan oleh Al-Bagawi di dalam kitab Syarhus Sunnah. Tetapi seyogyanya obat itu untuk memenangkan syahwat dan bukan untuk memutuskannya sama sekali, karena kita dapat menguat kembali jika ia mendapatkanya biaya untuk kawin.
Bahkan Allah swt telah menjanjikan bagi orang yang menjaga kesucian dirinya sehingga Allah memampukannya dari karunia-Nya Allah swt berfirman:
  

"Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan Karunia-Nya.” (QS. An-Nur:32)
Karena Allah swt menjadikan kemampuan sebagai untuk menjaga kesucian diri. para ulama sepakat mencegah memotong dan mengebiri. Dalam hadits di atas merupakan anjuran untuk memperoleh sesuatu yang menundukkan pandangan mata dan memelihara kemaluan, tidak membebani seseorang untuk kawin dengan yang mungkin seperti hutang.
Al-Iraqi beristidal bahwa menyekutukan dalam beribadah tidak merusak berbeda dengan riya'. Tetapi dikatakan bahwa oramg yang menyekutukan ibadah seperti orang yang menyekutukan kuasa, tidak merusak, karena dengan kuasa, ,memperoleh memelihara kemaluan dan menundukkan pandangan mata. Adapun menyekutukan yang mubah, seperti orang yang mengerjakan shalat karena meninggalkan perkataan orang yang membuat dan yang demikian merupakan penalaran yang kemungkinan kekiaskan kepada yang tersebut, dan kemungkinan tidak sahnya kias. Jikalau ia mengerjakan shalat, karena meninggalkan perkataan yang sia-sia atau mengumpat dan mendengarnya, yang demikian maksud yang benar. Sebagian dari golongan Malikiyah, mengharamkan onani, karena kalau membolehkan, niscaya diberi petunjuk, karena onani lebih mudah. Sebagian dari golongan Hanabilah dan Hanafiah membolehkan onani.


Kesimpulan: .
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Wajib nikah bagi orang yang mampu memberi nafkah lahir dan batin, demikian juga pendapat Dawud dan Ahmad.
2.      Sunnah menurut Jumhur.
3.      Anjuran untuk menundukkan pandangan mata dan memelihara kemaluan.
4.      Anjuran untuk berpuasa bagi orang yang tidak mampu menikah.

B.     Larangan Membujang
عن انس رضى الله عنه قال: كان رسول الله صلىَّ الله عليه وسلََّمَ يا مرمابالباءة وينهى من التبل نهيا شديد. ويقول تزوجوا الولودود فانى مكاثر بكم الاثم يوم القيامة. (رواه احمد وصحه ابن حبان وله شاهد عند ابن داودوالمسائى وابن حبان من حديث معقل ابن يسار)
“Dari Anas r.a. ia berkata: Rasulullah SAW, menyuruh kita supaya kawin dan melarang dengan keras membiarkan perempuan (tidak kawin). Beliau bersabda: "Hendaklah kalian mengawini perempuan yang subur(tidak mandul) dan penyanyang, sebab dengan kalianlah umatku menjadi lebih banyak dari pada umat para Nabi yang lain dihari kiamat."
Diriwayatkan oleh Ahmad, disahkan oleh Ibnu Hibban dan baginya ada saksi dari riwayat Abu bawud, Nasai dan Ibnu dari Hadits Maq'il bin yasar.
Penjelasan:
Dalam hadits di atas Rasuluilah saw, menyuruh kita supaya kawin dan melarang membujang karena dengan banyak ummatnya_beliau bangga terhadap ummat para Nabi yang lain di hari kiamat. Kata (tabattul). Memutuskan diri dari wanita yang meninggalkan kawin serta memutuskan diri untuk beribadah kepada Allah, asal kata (tabattul) memutuskan diri, seperti dikatakan (Mariam Al-Batul) dan seperti (Fatimah Al-Batul) karena memutuskan diri dari wanita di jamannya tentang agama keutamaan dan ingin kepada akhirat. Kata (Al-Walud); wanita yang banyak anaknya, yang demikian dapat diketahui pada anak gadis, dan keadaan keluarganya. Kata (Al-Wadud), wanita yang penyayang, yang banyak memiliki sifat_sifat yang baik, budi pekertinya baik dan.sayang kepada suami. Kata (Muktasir), bangga, yang demikian dibolehkan diakhirat yag di maksud adalah dengan yang demikian bahwa siapa yang banyak umatnya, maka banyak pula penghalangnya, karena baginya pahala seperti pahala para pengikutnya

Kesimpulan:
Dari Uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Wajib kawin bagi yang mampu memberikan biaya untuk kawin
  1. Haram membujang bagi yang mampu memberikan biaya untuk kawin
  2. Anjuran untuk menikahi kawin peranak dan penyayang.

C.    Cara Memilih Calon isteri
عن ابى هريرة رضى الله عنه عن النبى صلىَّ الله عليه وسلََّمَ قال: تنكح المراة لاربع: لمالها ولحسبها ولجماله ولدينها فاظفر بذاث الذين تربت يداك. (متفق عليه مع بقية السبعة)
“Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi saw, beliau bersabda: “perempuan dikawini karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya: hendaklah engkau memilih yang beragama, agar engkau bahagia.” (Disepakati oleh Bukhari dan Muslim serta sisa dari tujuh Imam Hadits).



Penjelasan:
Dalam hadits di atas Rasulullah SAW menerangkan bahwa yang menyeru laki-laki untuk kawin, ialah salah satu dari empat perkara di atas dan diakhi dengan yang beragama Nabi saw. Menyeluruh mereka, jika mereka mendapat wanita yang beragama, maka jangan berpaling dari padanya. Ada riwayat melarang mengawini wanita selain yang beragama, Ibnu Majah, Al-Bazzar dan Baihaqi meriwayatkan hadits Abdullah bin Amir yang disandarkan kepada Nabi saw. "Janganlah kamu kawin dengar perempuan karena cantiknya barangkali kecantikan itu akar membinasakannya. Dan janganlah kamu kawin dengar perempuan karena hartanya barangkali kekayaannya itu akar menyebabkan durhaka tetapi kawinlah kamu dengar perempuan karena agamanya sesungguhnya hamba perempuan yang hitam tak berhidung tetapi agama lebih baik dari pada yang lainnya."
Ada riwayat tentang sifat wanita yang baik. Nasai meriwayatkan hadits Abi Hurairah r.a. ia berkata: "dikatakan hai Rasulullah : wanita mana yang baik? Beliau bersabda: wanita yang baik, apabila dilihat menyenangkannya apabila disuruh mematuhinya, tidak menyalahi pada dirinya dan hartanya dengan yang tidak disukai."

Kesimpulan:
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
  1. Anjurkan untuk memilih istri yang mengerti agama.
  2. Larangan mengawini wanita yang tidak mengerti agama.

D.    Meminang Wanita Yang Masih Dalam Pinangan Orang Lain
عن ابن عمر رضى الله عنه قال: قال رسول الله صلىَّ الله عليه وسلََّمَ لا يفطب احدكم على خطبةاخيه حتى يترك الخاطب قلبه, أو باذن له. (متفق عليه واللفظ المذكر)
"Dari lbnu Umar r.a ia berkata : Rasulullah saw Bersabda: Janganlah seseorang di antara kalian meminang perempuan yang telah dipinang oleh saudaranya, sehingga peminang sebelumnya melepaskan atau memberi ijin kepadanya". Disepakati oleh Bukhari dan Muslim, dan Lafadh ini dalam riwayat Bukhari.
Penjelasan:
Dalam hadits di atas Rasulullah saw melarang meminang wanita yang sudah dipinang oleh orang lain sehingga peminang sebelumnya melepaskan atau memberi ijin kepadanya. Larangan itu pada asalnya menunjukan haram, kecuali ada dalil yang mimalingkan dari padanya. Al-Khathabi berkata: larangan itu untuk mendidik bukan menunjukan haram. Menurut lahirnya bahwa yang dilarang itu baik peminang itu diterima atau tidak. Para ulama sudah sepakat atas haramnya Jikalau menerimanya sudah jelas dan tidak memberi izin serta tidak rnelepaskannya. Menurut Malik dan Dawud; perkawinannya batal, Sesungguhnya di syaratkan jelas menerimanya, walaupun larangan itu umum pada hadits Fatimah binti Qais ia berkata: "Abu Jaham dan Mu'awiyah meminangku, Rasulullah SAW tidak mengingkari pinangan sebagian terhadap sebagian yang lain, malah beliau meminangnya untuk Usamah."
Perkataan itu kemungkinan bahwa salah satu dari keduanya tidak mengetahui tunangan yang lainnya, bahwa Nabi saw mengisyaratkan kepada Usamah dan tidak meminangnya, berbeda dengan lahirya. Kata (akhkihi) saudaranya yakni seagama. Mafhumnya kalau bukan saudara seagama, seperti orang kafir maka tidak haram meminangnya atau wanita Kitabiah dan boleh menikahinya kata (Al-Aujai). Orang lain berkata: juga haram meminang wanita yang telah dipinang oleh orang kafir hadis di atas dikaitkan menurut kebiasaan, maka tidak dianggap mafhumnya. Adapun laki-laki yang tidak sepadan, ,maka harus mendapat izin dari wali dengan kata bahwa ia menolak, dan jawaban ini jelas. Syaf’i berkata: bahwa diamnya anak gadis, menunjukan bahwa ia rela dengan peminang ialah jawabannya.Adapun akad nikah dengan haramnya meminang, Jumhur berkata: akad nikahnya sah. Dawud berkata: nikahnya batal, baik sebelum kumpul dan saudaranya. Kata (an Ya'dzanalahu) atau memberi izin
kepadanya, yakni boleh melamar setelah memberi iTtn tepaaa yang meminta izin atau orang lain, karena izinnya itu minunjukan atas berpatingnya maka boleh merninangnya bagi siapa saja yang hendak mengawininya
 Adapun jika yang meminang itu orang fasiq apakah boleh bagi orang yang terhormat meminang atas pinangan orang fasiq? Al-Amir Al-Husein berkata di dalam kitab Asy-Syifa: Boleh meminang atas pinangan orang fasik, diriwayatkan dari Ibnul Qasim muridnya Malik dan dikuatlan oleh Ibnul Arabi. Jikalau wanita yang dipinang itu wanita yang terhormat, maka orang yang fasik tidak sepadan dengannya dab pinangannya seperti tidak ada pinangan' Jumhur tidak menganggap yang demikian, jikalau nampak dari padanya tanda penerimaan.

Kesimpulan:
Dari uraian di atas diambil kesimpulan sebagai berikut:
  1. Haram meminang wanita yang sudah dipinang orang lain.
  2. Boleh meminang wanita yang peminang sebelumnya atau padanya. sudah dilepas mendapat izin oleh dari padanya.
  3. Menurut Jumhur, menikahi wanita yang di pandang orang hukumnya sah.
  4. Menurut Dawud, menikahi wanita orang hukumnya batal. yang dipandang yang dipinang

E.     Kewajiban mwelaksanakan Janji Perkawinan
عن عقبة بن عامر رضى الله عنهما قال: قال رسول الله صلىَّ الله عليه وسلََّمَ انّ احق الشروط ان يوفى به ما استحللتم به الفروج. (متفق عليه)  
“Dari Uqbah bin Amir r.a. ia berlaka: Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya syarat yang paling hak dipenuhi ialah apa yang menghalalkan kemaluan.” Disepakati oleh Bukhari dan Muslim


Penjelasan:
Dalam hadits di atas Rasulullah saw menerangkan bahwa syarat yang paling hak dipenuhi ialah syarat nikah, karena urusannya paling dijaga dan pintunya paling sempit. Hadits di atas merupakan dalil bahwa syarat-syarat tersebut ditetapkan untuk disempurnakan pada waktu akad nikah, sama ada syarat itu berupa moral atau harta di mana syarat itu hak wanita, karena menghalalkan kemaluan hanya yang berhubungan dengannya atau relanya terhadap yang lain.
Para Ulama dalam masalah ini ada beberapa pendapat: Al Khathtabi berkata: Syarat-syarat dalam nikah itu berbeda: Di antaranya ada yang wajib dipenuhi dan telah diperintahkan oleh Allah swt.
 
"Setelah itu boleh rujuk lagi dengon cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik " (Al Baqarah:229)
Yakni bergaul dengan baik atau bercerai dengan baik pula. Di antaranya ada yang tidak boleh dipenuhi dan telah disepakati oleh para Ulama, seperti mentalak saudaranya. Di antaranya ada yang diperselisihkan seperti syarat tidak boleh dimadukan, tidak boleh kawin dengan hamba sahaya dan tidak boleh memindahkan dari rumahnya (istri) kerumahnya (suami). Adapun yang disyariatkan oleh wali bagi dirinya selain dari mahar dikatakan yang demikian itu wanita seluruhnya ialah, pendapat golongan Hadawiah, Ath' dan sekelompok dari Ulama. Ada yang mengatakan yang demikian untuk mensyaratkannya ada yang mengatakan yang demikian khusus bagi ayah dan bukan bagi wali selain
ayah.
Malik berkata pula: Hadits ini diamalkan oleh sebagian Ulama sahabat antaranya Umar; Umar berkata: Jikalau seorang laki-laki kawin dengan wanita dengan syarat tidak mengeluarkan dari rumahnya ia wajib melaksanakannya, begitu juga pendapat Syafi’i, Ahmad terkenal dari golongan Syafiiyah bahwa yang dimaksud dari syarat-syarat itu, ialah: yang tidak menafikan nikah, tetapi dari tuntutan dan tujuannya, seperti syarat bergaul dengan baik memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal, tidak mengurangi sesuatupun dari haknya dari giliran, nafkah dan syarat bagi istri tidak boleh keluar dari rumah kecuali dengan izinnya tidak boleh melakukan sesuatu pada perkakas rumah tangga dan sebagainya.
Ash-Shan'ani berkata: syarat-syarat ini jika mereka bermaksud membawa Hadits tersebut, sungguh mereka telah mengurangi faedahnya, karena hal-hal seperti itu merupakan kegarusan akad nikah.dan tidak memperlakukan syarat, jika
mereka bermaksud selain itu apa dia? Ya, jika wanita itu mensyaratkan sesuatu yang menafikan akad nikah seperti tidak boleh dikurangi gilirannya dan tidak boleh kawin- dengan hamba sahaya, maka syarat seperti ini mendahului syarat wanita itu, Yang dimaksud dengan hadits di atas, ialah; syarat wanita yang ditetapkan seperti; tidak boleh mengeluarkan dari rumahnya, maka syarat ini tidak dilarang dan harus dipenuhi.

Kesimpulan:
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
  1. Wajib dipenuhi syarat-syarat yang disebut pada waktu akad nikah.
  2. Syarat yang harus dipenuhi itu, seperti bergaul dengan baik atau bercerai dengan baik pula.
  3. Syarat yang harus dipenuhi, seperti tidak boleh mengurangi gilirannya atau tidak boleh dengan hamba sahaya.

F.     STATUS PERSETUJUAN WAI\IITA YANG AKAN DI KAWINKAN:
عن ابى هريرة رضى الله عنه ان رسول الله صلىَّ الله عليه وسلََّمَ قال: لا تنكح الا نيم حتى تسامر ولا تنكحالبكرحتى تستاذن. قالوا يارسولوالله وكيف اذنها؟ قال: ان تسكت. (متفق عليه)
“Dari Abi Hurairah r.a. bahwasannya Rasulullah saw bersabda: "Janda itu tidak boleh dikawinkan kecuali sesudah ditanya, dan perawan tidak boleh dikawinkan kecuali sesudah diminta izinnya." Para sahabat bertanya: Bagaimanakah izinnya itu ? Beliau bersabda: "Diamnya." Disepakati oleh Bukhari dan Muslim
Dalam hadits di atas Rasulullah saw melarang mengawinkan janda kecuali sesudah ditanya, maka wali tidak boleh mengadakan akad nikahnya kecuali sesudah musyawarah dan mendapat izin dari padanya untuk melakukan akad nikahnya, ymg dimaksud dengan yang demikian ialah relanya, yakni dia lebih berhak pada dirinya dari walinya. Kata (bikir) ialah perawan yang sudah balig,dikatakan di sini dengan minta izin, sedangkan janda dengan kata ditanya, menunjukan ada perbedaan di antara keduanya bahwa janda itu perlu dimusyawarahkan, dan wali memerlukan perkataan yang jelas yaitu izin dari padanya pada waktu akad nikahnya.
Adapun izin dari perawan berkisar di antara perkataan dan diam, berbeda dengan musyawarah karena jelas pada perkataan. Sesungguhnya perawan itu cukup dengan diamnya, karena kadangkala ia malu mengucapkannya. Ada riwayat "Bahwa’ Aisyah berkata : YaRasulullah bahwa perawan itu malu. Beliau bersabda: “Relanya ialah diam". Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Tetapi Ibnul Mundzir berkata: Sunnat mengetahui diamnya itu ia rela. Ibnu Sya'ban berkata: Diucapkan tiga kali; Jika engkau rela diam jika engkau benci katakanlah.
Adapun jika ia tidak berbicara, tetapi ia menangis, pada waktu itu tidak dikatakan, bahwa diamnya ia rela, dikatakan tidak ada bekasnya tangisan itu, bahwa ia enggan kecuali disertai teriak dan sebagainya, dikatakan yang di anggap jika air mata itu panas, menunjukan bahwa ia enggan atau dingin, menunjukan bahwa ia rela. Yang lebih baik kembali kepada tanda-tanda yang nyata. Hadits di atas umum bagi para wali dari ayah lainnya bahwa perawan yang
sudah balig, harus ada izin dari padanya.




Demikian pendapat golongan Hadawiyah, Hanafiah dan lainnya, mengamalkan umum Hadits di atas, dan dikhusukan hadits yang diriwayatkan Muslim dengan lafd: " Perawan itu ayahnya meminta izin kepadanya"'

Kesimpulan:
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan berikut:
  1. Wajib bermusyawarah dengan janda ketika mengadakan akad nikahnya.
  2. Wajib meminta izin dengan perawan ketika mengadakan
  3. Anjuran untuk memberi kesempatan berfikir dalam segala hal terutama dalam memilih jodoh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar