A.
Hadist Tentang Anjuran
Nikah
عن عبد الله بن مسعود رضى
الله عنه قال: قال لنا رسول الله صلىَّ الله عليه وسلََّمَ يا معشر الشباب من
استطاع منكم الباءة فليتزوج فانه اغض للبصر واحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم
فانه له وجاه. (متفق عليه)
“Dari Abdullah bin Mas’ud r.a ia berkata: Rasulullah SAW bersabda kepada kami: Hai kum pemuda, apabila
diantara kalian mampu untuk kawin, dan lebih memelihara kemaluan dan barang
siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa karena puasa itu sebagai
kebiri baginya.” (Di sepakati oleh Bukhari dan Muslim)
Penjelasan:
Dalam hadits di atas Rasulullah SAW, memerintahkan kepada para pemuda
agar supaya kawin itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan,
karena pemuda tempat dugaan kuatnya syahwat terhadap wanita. Para Ulama
berselisih pendapat tentang kata (bah), yang lebih shahih, ialah; Jima'
maksudnya: barang siapa yang 'mampu jima', karena ia sanggup memberi biaya
perkawinan, maka hendaklah ia kawin, dan barang siapa yang tidak mampu jima'
karena ia tidak mampu memberi biaya untuk kawin, maka hendaklah ia berpuasa karena
puasa itu dapat menolak syahwatnya dan memutuskan kejahatan syahwatnya.
sebagaimana kebiri dapat memutuskannya., menurut riwayat Ibnu Hibban,
menafsirkannya kata (wija') yaitu: kebiri. ada yang
mengatakan arti
(wija') yaitu: memecahkandua biji kemaluan, dan kebiri; mengeluarkan keduanya. Yang
dimaksud, bahwa puasa itu seperti kebiri. perintah kawin menurut wajibnya
beserta mampu untuk mendapatkan biayanya,demikian pendapat Dawud dan Ahmad lbnu
Hazim berkata: Fardu bagi orang yang mampu bersetubuh, jikalau ia mendapat
biaya supaya kawin dengan hamba sahaya, jikalau ia tidak mampu yang demikian,
hendaklah banyak-banyak berpuasa begitu juga pendapat sekelompok dari Ulama
shalaf. Menurut Jumhur, bahwa perintatr kawin itu sunnat berdasarkan firman
Allah swt, yang memerintahkan supaya memilih di antara kawin dan membeli
budak"
"Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil Maka (kawinilah)
seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki.” (QS. An-Nisaa’ : 3)
Membeli budak tidak wajib, menurut kesepakatan Ulama begitu juga kawin
karena tidak ada pilihan di antara yang wajib dengan yang tidak wajib, kecuali
anggapan kesepakatan Ulama tidak benar, karena berbeda dengan pendapat Dawud
dan Ibnu Hazim.
Ibnu Diqiqil'id nrenyebutkan, bahwa di antara Fuqaha ada yang berkata
kawin itu wajib bagi orang yang dikhawatirkan berbuat dosa dan malapu untuk
kawin, namun tidak sanggup kawin dengan hamba sahaya begitu juga pendapat
Al-Qurtuhubi, maka wajib kawin bagi orang yang tidak dapat meninggalkan
perbuatan zina kecuali kawin. Bagi orang yang tidak dapat meninggalkan
perbuatan zina, kecuali kawin. Kemudian ia menyebutkan, ada orang yang haram
kawin, yang makruh, ymg sunnat dan yang mubah, maka haram bagi orang yang tidak
mau bersetubuh dan tidak mau memberi nafkah kepada istrinya padahal ia mampu serta
ingin kepadanya, makruh kepada hak orang seperti ini kalau tidak membahayakan istri,
mubah pada orang yang tidak ada keinginan dan halangan, sunnat pada hak setiap orang
yang mengharapkan keturunan walaupun ia tidak berkeinginan untuk bersetubuh,
karena Nabi SAW bersabda: "Sesunguhnya aku memperbanyak ummatku dengan
kalian, dari pada ummat para Nabi yang lain dan karena akhirya anjuran untuk
kawin.
Nabi SAW bersabda: "Hendaklah ia berpuasa" merupakan anjuran
selalu berpuasa, karena itu sebagai kebiri, dan karena mengurangi makan dan
minum menjadikan nafsu syahwat itu kurang. Allah swt menjadikan rahasia dalam
kuasa, maka tidak ada gunanya mengurangi makanan saja tanpa puasa.
Al-Khutthabi bersitidal dengan hadits di atas, boleh minum obat untuk
memutuskan syahwat, diceritakan oleh Al-Bagawi di dalam kitab Syarhus Sunnah.
Tetapi seyogyanya obat itu untuk memenangkan syahwat dan bukan untuk memutuskannya
sama sekali, karena kita dapat menguat kembali jika ia mendapatkanya biaya
untuk kawin.
Bahkan Allah swt telah menjanjikan bagi orang yang menjaga kesucian
dirinya sehingga Allah memampukannya dari karunia-Nya Allah swt berfirman:
"Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
Karunia-Nya.” (QS. An-Nur:32)
Karena Allah swt menjadikan kemampuan sebagai untuk menjaga kesucian
diri. para ulama sepakat mencegah memotong dan mengebiri. Dalam hadits di atas
merupakan anjuran untuk memperoleh sesuatu yang menundukkan pandangan mata dan
memelihara kemaluan, tidak membebani seseorang untuk kawin dengan yang mungkin seperti
hutang.
Al-Iraqi beristidal bahwa menyekutukan dalam beribadah tidak merusak
berbeda dengan riya'. Tetapi dikatakan bahwa oramg yang menyekutukan ibadah
seperti orang yang menyekutukan kuasa, tidak merusak, karena dengan kuasa, ,memperoleh
memelihara kemaluan dan menundukkan pandangan mata. Adapun menyekutukan yang mubah,
seperti orang yang mengerjakan shalat karena meninggalkan perkataan orang yang
membuat dan yang demikian merupakan penalaran yang kemungkinan kekiaskan kepada
yang tersebut, dan kemungkinan tidak sahnya kias. Jikalau ia mengerjakan
shalat, karena meninggalkan perkataan yang sia-sia atau mengumpat dan mendengarnya,
yang demikian maksud yang benar. Sebagian dari golongan Malikiyah, mengharamkan
onani, karena kalau membolehkan, niscaya diberi petunjuk, karena onani lebih
mudah. Sebagian dari golongan Hanabilah dan Hanafiah membolehkan onani.
Kesimpulan:
.
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Wajib nikah bagi orang yang mampu
memberi nafkah lahir dan batin, demikian juga pendapat Dawud dan Ahmad.
2.
Sunnah menurut Jumhur.
3.
Anjuran untuk menundukkan
pandangan mata dan memelihara kemaluan.
4.
Anjuran untuk berpuasa bagi orang
yang tidak mampu menikah.
B.
Larangan Membujang
عن انس رضى الله عنه قال: كان
رسول الله صلىَّ الله عليه وسلََّمَ يا مرمابالباءة وينهى من التبل نهيا شديد.
ويقول تزوجوا الولودود فانى مكاثر بكم الاثم يوم القيامة. (رواه
احمد وصحه ابن حبان وله شاهد عند ابن داودوالمسائى وابن حبان من حديث معقل ابن
يسار)
“Dari Anas r.a. ia berkata: Rasulullah SAW, menyuruh kita supaya
kawin dan melarang dengan keras membiarkan perempuan (tidak kawin). Beliau
bersabda: "Hendaklah kalian mengawini perempuan yang subur(tidak mandul)
dan penyanyang, sebab dengan kalianlah umatku menjadi lebih banyak dari pada
umat para Nabi yang lain dihari kiamat."
Diriwayatkan oleh Ahmad, disahkan oleh Ibnu Hibban dan baginya ada saksi
dari riwayat Abu bawud, Nasai dan Ibnu dari Hadits Maq'il bin yasar.
Penjelasan:
Dalam hadits di atas Rasuluilah saw, menyuruh kita supaya kawin dan
melarang membujang karena dengan banyak ummatnya_beliau bangga terhadap ummat
para Nabi yang lain di hari kiamat. Kata (tabattul). Memutuskan diri dari
wanita yang meninggalkan kawin serta memutuskan diri untuk beribadah kepada Allah,
asal kata (tabattul) memutuskan diri, seperti dikatakan (Mariam Al-Batul) dan seperti
(Fatimah Al-Batul) karena memutuskan diri dari wanita di jamannya tentang agama
keutamaan dan ingin kepada akhirat. Kata (Al-Walud); wanita yang banyak
anaknya, yang demikian dapat diketahui pada anak gadis, dan keadaan
keluarganya. Kata (Al-Wadud), wanita yang penyayang, yang banyak memiliki
sifat_sifat yang baik, budi pekertinya baik dan.sayang kepada suami. Kata (Muktasir),
bangga, yang demikian dibolehkan diakhirat yag di maksud adalah dengan yang
demikian bahwa siapa yang banyak umatnya, maka banyak pula penghalangnya,
karena baginya pahala seperti pahala para pengikutnya
Kesimpulan:
Dari Uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Wajib kawin bagi yang mampu
memberikan biaya untuk kawin
- Haram membujang bagi yang mampu memberikan biaya
untuk kawin
- Anjuran untuk menikahi kawin peranak dan penyayang.
C.
Cara Memilih Calon isteri
عن ابى هريرة رضى الله عنه عن
النبى صلىَّ الله عليه وسلََّمَ قال: تنكح المراة لاربع: لمالها ولحسبها ولجماله
ولدينها فاظفر بذاث الذين تربت يداك. (متفق عليه مع بقية
السبعة)
“Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi saw, beliau bersabda:
“perempuan dikawini karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya,
keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya: hendaklah engkau
memilih yang beragama, agar engkau bahagia.” (Disepakati oleh Bukhari dan
Muslim serta sisa dari tujuh Imam Hadits).
Penjelasan:
Dalam hadits di atas Rasulullah SAW menerangkan bahwa yang menyeru
laki-laki untuk kawin, ialah salah satu dari empat perkara di atas dan diakhi dengan
yang beragama Nabi saw. Menyeluruh mereka, jika mereka mendapat wanita yang
beragama, maka jangan berpaling dari padanya. Ada riwayat melarang mengawini wanita selain
yang beragama, Ibnu Majah, Al-Bazzar dan Baihaqi meriwayatkan hadits Abdullah
bin Amir yang disandarkan kepada Nabi saw. "Janganlah kamu kawin dengar perempuan
karena cantiknya barangkali kecantikan itu akar membinasakannya. Dan janganlah
kamu kawin dengar perempuan karena hartanya barangkali kekayaannya itu akar menyebabkan
durhaka tetapi kawinlah kamu dengar perempuan karena agamanya sesungguhnya
hamba perempuan yang hitam tak berhidung tetapi agama lebih baik dari pada yang
lainnya."
Kesimpulan:
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
- Anjurkan untuk memilih istri yang mengerti agama.
- Larangan mengawini wanita yang tidak mengerti agama.
D.
Meminang Wanita Yang Masih
Dalam Pinangan Orang Lain
عن ابن عمر رضى الله عنه قال:
قال رسول الله صلىَّ الله عليه وسلََّمَ لا يفطب احدكم على خطبةاخيه حتى يترك
الخاطب قلبه, أو باذن له. (متفق عليه واللفظ المذكر)
"Dari lbnu Umar r.a ia berkata : Rasulullah saw Bersabda:
Janganlah seseorang di antara kalian meminang perempuan yang telah dipinang
oleh saudaranya, sehingga peminang sebelumnya melepaskan atau memberi ijin kepadanya".
Disepakati oleh Bukhari dan Muslim, dan Lafadh ini dalam riwayat Bukhari.
Penjelasan:
Dalam hadits di atas Rasulullah saw melarang meminang wanita yang sudah
dipinang oleh orang lain sehingga peminang sebelumnya melepaskan atau memberi
ijin kepadanya. Larangan itu pada asalnya menunjukan haram, kecuali ada dalil
yang mimalingkan dari padanya. Al-Khathabi berkata: larangan itu untuk mendidik
bukan menunjukan haram. Menurut lahirnya bahwa yang dilarang itu baik peminang
itu diterima atau tidak. Para ulama sudah sepakat
atas haramnya Jikalau menerimanya sudah jelas dan tidak memberi izin serta
tidak rnelepaskannya. Menurut Malik dan Dawud; perkawinannya batal,
Sesungguhnya di syaratkan jelas menerimanya, walaupun larangan itu umum pada
hadits Fatimah binti Qais ia berkata: "Abu Jaham dan Mu'awiyah meminangku,
Rasulullah SAW tidak mengingkari pinangan sebagian terhadap sebagian yang lain,
malah beliau meminangnya untuk Usamah."
Perkataan itu kemungkinan bahwa salah satu dari keduanya tidak mengetahui
tunangan yang lainnya, bahwa Nabi saw mengisyaratkan kepada Usamah dan tidak meminangnya,
berbeda dengan lahirya. Kata (akhkihi) saudaranya yakni seagama. Mafhumnya
kalau bukan saudara seagama, seperti orang kafir maka tidak haram meminangnya
atau wanita Kitabiah dan boleh menikahinya kata (Al-Aujai). Orang lain berkata:
juga haram meminang wanita yang telah dipinang oleh orang kafir hadis di atas dikaitkan
menurut kebiasaan, maka tidak dianggap mafhumnya. Adapun laki-laki yang tidak
sepadan, ,maka harus mendapat izin dari wali dengan kata bahwa ia menolak, dan
jawaban ini jelas. Syaf’i berkata: bahwa diamnya anak gadis, menunjukan bahwa
ia rela dengan peminang ialah jawabannya.Adapun akad nikah dengan haramnya
meminang, Jumhur berkata: akad nikahnya sah. Dawud berkata: nikahnya batal,
baik sebelum kumpul dan saudaranya. Kata (an Ya'dzanalahu) atau memberi izin
kepadanya, yakni
boleh melamar setelah memberi iTtn tepaaa yang meminta izin atau orang lain,
karena izinnya itu minunjukan atas berpatingnya maka boleh merninangnya bagi
siapa saja yang hendak mengawininya
Adapun jika yang meminang
itu orang fasiq apakah boleh bagi orang yang terhormat meminang atas pinangan orang
fasiq? Al-Amir Al-Husein berkata di dalam kitab Asy-Syifa: Boleh meminang atas
pinangan orang fasik, diriwayatkan dari Ibnul Qasim muridnya Malik dan dikuatlan
oleh Ibnul Arabi. Jikalau wanita yang dipinang itu wanita yang terhormat, maka
orang yang fasik tidak sepadan dengannya dab pinangannya seperti tidak ada
pinangan' Jumhur tidak menganggap yang demikian, jikalau nampak dari padanya
tanda penerimaan.
Kesimpulan:
Dari uraian di atas diambil kesimpulan sebagai berikut:
- Haram meminang wanita yang sudah dipinang orang lain.
- Boleh meminang wanita yang peminang sebelumnya atau
padanya. sudah dilepas mendapat izin oleh dari padanya.
- Menurut Jumhur, menikahi wanita yang di pandang orang
hukumnya sah.
- Menurut Dawud, menikahi wanita orang hukumnya
batal. yang dipandang yang dipinang
E.
Kewajiban mwelaksanakan
Janji Perkawinan
عن عقبة بن عامر رضى الله عنهما
قال: قال رسول الله صلىَّ الله عليه وسلََّمَ انّ احق الشروط ان يوفى به ما
استحللتم به الفروج. (متفق عليه)
“Dari Uqbah bin Amir r.a. ia berlaka: Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya
syarat yang paling hak dipenuhi ialah apa yang menghalalkan kemaluan.”
Disepakati oleh Bukhari dan Muslim
Penjelasan:
Dalam hadits di atas Rasulullah saw menerangkan bahwa syarat yang paling
hak dipenuhi ialah syarat nikah, karena urusannya paling dijaga dan pintunya
paling sempit. Hadits di atas merupakan dalil bahwa syarat-syarat tersebut ditetapkan
untuk disempurnakan pada waktu akad nikah, sama ada syarat itu berupa moral
atau harta di mana syarat itu hak wanita, karena menghalalkan kemaluan hanya
yang berhubungan dengannya atau relanya terhadap yang lain.
Para Ulama dalam
masalah ini ada beberapa pendapat: Al Khathtabi berkata: Syarat-syarat dalam
nikah itu berbeda: Di antaranya ada yang wajib dipenuhi dan telah diperintahkan
oleh Allah swt.
"Setelah itu boleh rujuk lagi dengon cara yang ma'ruf atau
menceraikan dengan cara yang baik " (Al Baqarah:229)
Yakni bergaul dengan baik atau bercerai dengan baik pula. Di antaranya
ada yang tidak boleh dipenuhi dan telah disepakati oleh para Ulama, seperti
mentalak saudaranya. Di antaranya ada yang diperselisihkan seperti syarat tidak
boleh dimadukan, tidak boleh kawin dengan hamba sahaya dan tidak boleh memindahkan
dari rumahnya (istri) kerumahnya (suami). Adapun yang disyariatkan oleh wali
bagi dirinya selain dari mahar dikatakan yang demikian itu wanita seluruhnya ialah,
pendapat golongan Hadawiah, Ath' dan sekelompok dari Ulama. Ada yang mengatakan yang demikian untuk
mensyaratkannya ada yang mengatakan yang demikian khusus bagi ayah dan bukan
bagi wali selain
ayah.
Malik berkata pula: Hadits ini diamalkan oleh sebagian Ulama sahabat
antaranya Umar; Umar berkata: Jikalau seorang laki-laki kawin dengan wanita
dengan syarat tidak mengeluarkan dari rumahnya ia wajib melaksanakannya, begitu
juga pendapat Syafi’i, Ahmad terkenal dari golongan Syafiiyah bahwa yang
dimaksud dari syarat-syarat itu, ialah: yang tidak menafikan nikah, tetapi dari
tuntutan dan tujuannya, seperti syarat bergaul dengan baik memberi nafkah, pakaian
dan tempat tinggal, tidak mengurangi sesuatupun dari haknya dari giliran,
nafkah dan syarat bagi istri tidak boleh keluar dari rumah kecuali dengan izinnya
tidak boleh melakukan sesuatu pada perkakas rumah tangga dan sebagainya.
Ash-Shan'ani berkata: syarat-syarat ini jika mereka bermaksud membawa
Hadits tersebut, sungguh mereka telah mengurangi faedahnya, karena hal-hal seperti
itu merupakan kegarusan akad nikah.dan tidak memperlakukan syarat, jika
mereka bermaksud
selain itu apa dia? Ya, jika wanita itu mensyaratkan sesuatu yang menafikan
akad nikah seperti tidak boleh dikurangi gilirannya dan tidak boleh kawin-
dengan hamba sahaya, maka syarat seperti ini mendahului syarat
wanita itu, Yang dimaksud dengan hadits di atas, ialah; syarat wanita yang
ditetapkan seperti; tidak boleh mengeluarkan dari rumahnya, maka syarat ini
tidak dilarang dan harus dipenuhi.
Kesimpulan:
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
- Wajib dipenuhi syarat-syarat yang disebut pada waktu
akad nikah.
- Syarat yang harus dipenuhi itu, seperti bergaul dengan
baik atau bercerai dengan baik pula.
- Syarat yang harus dipenuhi, seperti tidak boleh mengurangi
gilirannya atau tidak boleh dengan hamba sahaya.
F.
STATUS PERSETUJUAN WAI\IITA
YANG AKAN DI KAWINKAN:
عن ابى هريرة رضى الله عنه ان
رسول الله صلىَّ الله عليه وسلََّمَ قال: لا تنكح الا نيم حتى تسامر ولا
تنكحالبكرحتى تستاذن. قالوا يارسولوالله وكيف اذنها؟ قال: ان تسكت. (متفق
عليه)
“Dari Abi Hurairah r.a. bahwasannya Rasulullah saw bersabda:
"Janda itu tidak boleh dikawinkan kecuali sesudah ditanya, dan perawan
tidak boleh dikawinkan kecuali sesudah diminta izinnya." Para
sahabat bertanya: Bagaimanakah izinnya itu ? Beliau bersabda: "Diamnya."
Disepakati oleh Bukhari dan Muslim
Dalam hadits di atas Rasulullah saw melarang mengawinkan janda kecuali
sesudah ditanya, maka wali tidak boleh mengadakan akad nikahnya kecuali sesudah
musyawarah dan mendapat izin dari padanya untuk melakukan akad nikahnya, ymg
dimaksud dengan yang demikian ialah relanya, yakni dia lebih berhak pada
dirinya dari walinya. Kata (bikir) ialah perawan yang sudah
balig,dikatakan di sini dengan minta izin, sedangkan janda dengan kata ditanya,
menunjukan ada perbedaan di antara keduanya bahwa janda itu perlu
dimusyawarahkan, dan wali memerlukan perkataan yang jelas yaitu izin dari
padanya pada waktu akad nikahnya.
Adapun izin dari perawan berkisar di antara perkataan dan diam, berbeda
dengan musyawarah karena jelas pada perkataan. Sesungguhnya perawan itu cukup
dengan diamnya, karena kadangkala ia malu mengucapkannya. Ada riwayat "Bahwa’ Aisyah berkata :
YaRasulullah bahwa perawan itu malu. Beliau bersabda: “Relanya ialah diam".
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Tetapi Ibnul Mundzir berkata: Sunnat mengetahui
diamnya itu ia rela. Ibnu Sya'ban berkata: Diucapkan tiga kali; Jika engkau
rela diam jika engkau benci katakanlah.
Adapun jika ia tidak berbicara, tetapi ia menangis, pada waktu itu tidak
dikatakan, bahwa diamnya ia rela, dikatakan tidak ada bekasnya tangisan itu,
bahwa ia enggan kecuali disertai teriak dan sebagainya, dikatakan yang di anggap
jika air mata itu panas, menunjukan bahwa ia enggan atau dingin, menunjukan
bahwa ia rela. Yang lebih baik kembali kepada tanda-tanda yang nyata. Hadits di
atas umum bagi para wali dari ayah lainnya bahwa perawan yang
sudah balig,
harus ada izin dari padanya.
Demikian pendapat golongan Hadawiyah, Hanafiah dan lainnya, mengamalkan
umum Hadits di atas, dan dikhusukan hadits yang diriwayatkan Muslim dengan lafd:
" Perawan itu ayahnya meminta izin kepadanya"'
Kesimpulan:
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan berikut:
- Wajib bermusyawarah dengan janda ketika mengadakan
akad nikahnya.
- Wajib meminta izin dengan perawan ketika mengadakan
- Anjuran untuk memberi kesempatan berfikir dalam segala hal terutama dalam memilih jodoh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar