Kamis, 22 Maret 2012

asbab al-nuzul


A.    Pengertian dan Macam-Macam Asbab Al-Nuzul
Dalam bahasa Indonesia asbab nuzul artinya, adalah sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur'an. Kitab-kitab yang berkaitan dengan asbab nuzul ini di antaranya adalah Ali Ibn al-Madini, guru Imam Bukhari, al-Wahidi, al-Ja’bari, Ibn Hajar dan al-Sayuthi dengan kitabnya Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul.
Sebab-sebab turun ayat yang dalam bentuk peristiwa ini, menurut al-Zarqani (t.t, I: 100-101) ada tiga macam.
  1. Peristiwa berupa pertengkaran.
  2. Peristiwa berupa kesalahan fatal yang dilakukan.
  3. Peristiwa berupa harapan dan keinginan.
Asbab Nuzul dibagi dua macam, yaitu:
1.      تعدّدالأسباب والنازل واحدا (Bermacam-macam sebab turun, sedang ayat yang turun hanya satu).
2.      تعدّد النازل والسبب واحد      (Bermacam-macam ayatnya yang turun, sedang sebabnya hanya satu).
Dalam menghadapi beberapa riwayat tentang sebab turunnya suatu ayat, sedang ayat yang turun hanya satu atau ta’addud al-Asbab wa al-Nazil Wahid, para ulama telah memiliki cara penyelesaiannya dalam empat macam, yaitu:
  1. Apabila ada dua riwayat, salah satunya shahih, sedang yang lainnya tidak shahih, maka yang dipegangi adalah riwayat tidak shahih.
  2. Apabila terdapat dua riwayat, dimana kedua-duanya shahih, maka salah satunya harus ditarjihkan. Dan yang dipegangi adalah yang rajah. Riwayat yang ditarjihkan hendaknya lebih shahih dari yang satunya atau perawi dari salah satu riwayat itu menyaksikan sendiri peristiwanya.
  3. Apabila kedua riwayat itu shahih kedua-duanya, sedangkan salah satunya tidak dapat ditarjihkan, maka hendaklah dikompromikan, dengan menetapkan bahwa ayat itu turun setelah terjadinya dua sebab.
  4. Apabil kedua riwayat itu shahih kedua-duanya, tetapi tidak dapat ditarjihkan salah satunya atau dikompromikan, karena antara kejadian yang satu dengan yang lainnya berselang lama, maka hendaklah dipandang bahwa ayat itu turun berulang kali.

B.     Ungkapan-Ungkapan Asbab al-Nuzul
Ungkapan atau ibarat yang dipergunakan dalam menerangkan sebab Nuzul suatu ayat itu berbeda-beda.
Ada yang dengan jelas menyatakan lafadz sebab, seperti سبب نزول الآية      كذا (sebab, turun ayat begini), maka ungkapan yang demikian itu jelas merupakan nash yang sharih (pernyataan yang jelas) tentang sebab turunnya ayat itu dan tidak mengandung pengertian yang lainnya.
Ada pula yang menyatakan bukan dengan lafadz sebab tetapi dengan menggunakan huruf fa (huruf ‘athaf) yang masuk ke dalam materi turunnya ayat, mengiringi suatu peristiwa yang terjadi, maka ungkapan yang demikian itu dipandang nash yang sharih (pernyataan yang jelas) pula tentang sebab turunnya ayat itu.
Ada pula ungkapan atau ibarat yang digunakan dalam meriwayatkan sebab nuzul suatu ayat, dimana salah satunya merupakan nash yang sharih (jelas) tentang sebab nuzulnya, sedang yang lainnya tidak jelas, maka yang dipegangi adalah nash yang jelas. Adapun yang tidak jelas itu dipandang sebagai penjelasan tentang hukum yang dikandung oleh ayat itu. Nash yang jelas adalah lebih kuat dalalahnya daripada ucapannya yang masih mengandung beberapa kemungkinan.

C.    Urgensi dan Kegunaan Asbab al-Nuzul
Di kalangan sementara orang, ada yang berpendapat bahwa mempelajari ilmu asbab al-Nuzul ini tidak ada gunanya, karena ilmu ini tidak lebih dari pada hanya merupakan sejarah tentang turunnya suatu ayat, atau dengan kata lain berjalan sesuai dengan perjalanan sejarah. Karena ternyata gunanya banyak, yaitu:
  1. Untuk mengetahui hikmah (rahasia) yang mendorong disyari’atkannya suatu hukum. Misalnya kenap judi, minum khamer, riba, memakan harta anak yatim itu diharamkan dan sebagainya.
  2. Untuk mengetahui pengecualian hukum (takhshish) terhadap orang yang berpendirian bahwa hukum itu harus diloihat terlebih dahulu dari sebab-sebab yang khusus. Misalnya, ayat-ayat zhihar pada permulaan surat al-Mujadilah sebab turunnya adalah Aus ibn al-Shamit yang menzhihar istrinya, Khaulah binti Hakam ibn Tsa’labah. Hukum yang terkandung dalam ayat-ayat ini khusus bagi keduanya menurut pondangan ini. Adapun hukum zhihar yang dilakukan orang selain mereka berdua dapat diketahui dari dalil yang lain, berupa qias (analogi) atau lainnya.
  3. Untuk membantu atau menghilangkan kesulitan-kesulitan dalam memahami suatu ayat. Contoh lain adalah firman Allah SWT:
¬!ur ä-̍ô±pRùQ$# Ü>̍øópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷ƒr'sù (#q9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4 žcÎ) ©!$# ììźur ÒOŠÎ=tæ ÇÊÊÎÈ  
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah : 115)
            Seandaina orang tidak mengetahui tentang sebab Nuzul ayat ini, tentulah mereka shalat menghadap kea rah mana saja yang mereka sukai, karena berpegangan pada zhahirnya ayat tersebut. Padahal ayat ini diturunkan khusus untuk shalat sunnah dalam perjalanan atau juga shalat fardlu, tetapi tidak tahu arah kiblat, kemudian berijtihad, tetapi ternyata ijtihadnya salah. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Umar r.a bahwa ayat ini diturunkan untuk shalat sunnah dalam perjalanan di atas kendaraan, kemana saja ia boleh menghadap. Menurut riwayat lain bahwa sahabat-sahabat Nabi pernah kehilangan arah kiblat, karena cuaca yang sangat buruk, kemudian mereka shalat menurut ijtihadnya masing-masing, setelah pagi-pagi ternyata ijtihad mereka itu salah, yaitu tidak menghadp kiblat, lalu turunlah ayat tersebut.

  1. Untuk menolak dugaan adanya hashr (pembatasan) pada ayat yang menurut lahirnya mengandung hashr (pembatasan) seperti firman Allah SWT dalam surat al-An’am ayat 145
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜtƒ HwÎ) br& šcqä3tƒ ºptGøŠtB ÷rr& $YByŠ %·nqàÿó¡¨B ÷rr& zNóss9 9ƒÍ\Åz ¼çm¯RÎ*sù ê[ô_Í ÷rr& $¸)ó¡Ïù ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ 4 ÇÊÍÎÈ  
“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah". (QS. Al-An’am : 145)
Menurut al-Syafe’i bahwa yang dimaksud pada ayat itu bukanlah hashr, tetapi Nuzul ayat itu sendiri.
  1. Untuk mengetahui bahwa sebab Nuzul ayat tidak pernah ke luar dari hukum yang terkandung dalam ayat tersebut, sekalipun dating mukhashishnya (yang mengkhususkannya). Hal ini didasarkan atas ijma’ yang menyatakan bahwa hukum sebab tetap selama-lamanya. Dengan demikian, takhshish (pengkhususan) terbatas pada masalah yang di luar sebab. Sekiranya sebab Nuxul tidak diketahui, tentunya boleh dipahami bahwa sebab tidak termasuk yang ke luar dari hukum dengan adanya takhshish (pengkhususan). Padahal, sesungguhnya tidak bolehnya mengeluarkan sebab dari hukum ayat yang lafadznya umum itu adalah qath’i (pasti) menurt Ijma’
  2. Untuk mengetahui dengan jelas kepada siapa ayat itu diturunkan, sehingga tidak keliru dengan yang lainnya. Marwan pernah menyangka bahwa ayat 17 dari surat al-Ahqaf :
Ï%©!$#ur tA$s% Ïm÷ƒt$Î!ºuqÏ9 7e$é& !$yJä3©9 -  الأية ÇÊÐÈ  



Diturunkan kepada Abd al-Rahman saudara Aisyah. Tetapi karena aisyah tahu kepada siapa ayat itu diturunkan, maka ia menolkanya dengan berkata: “Demi Allah SWT bukan dia itu, dan sekitarnya saya mau menyebutnya, saya dapat menyebut namanya”.demikianlah seterusnya samapi akhir kisahnya.
  1. Untuk memudahkan menghafal, memahami serta melekatkan wahyu itu pada hati setiap orang yang mendengarnya, apabila ia mengetahui sebab nuzulnya. Demikian itu karena dihubungkan langsung dengan sebab-sebab peristiwanya, pribadi-pribadinya, masa dan tempatnya, sehingga memudahkan orang untuk mengingatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar