1.
Pengertian Fawatih as-Suwar
Dari segi makna bahasa, fawatih as-suwar berarti pembukaan-pembukaan surat karena posisinya yang mengawali perjalanan teks-teks
setiap surat .
Atau dengan kata lain satu atau beberapa huruf hijaiyah yang terdapat pada
permulaan dari sebagian surat-surat al-Qur'an dan merupakan suatu perkataan
yang tidak dikenal artinya oleh bangsa Arab dalam bahasa yang mereka pakai.
Bila sebuah surat dimulai oleh huruf-huruf hijaiyah, huruf itu biasa
dinamakan ahruf muqatta’ah (huruf-huruf yang terpisah) karena posisi
huruf tersebut cenderung “menyendiri”, tidak bergabung untuk membentuk sebuah
kalimat secara kebahasaan.[1] Namun, segi pembacaannya tidak berbeda dari
lafadz yang diucapkan pada huruf hijaiyah.
Sebagian besar surat-surat yang menggunakan fawatih as-suwar ini adalah
surat-surat Makiyah, sedang pada surat
Madaniyah hanya sebagian kecil saja. Hal ini merupakan salah satu keistimewaan
surat-surat Makiyah, yang secara tidak langsung menuntut manusia untuk
mengetahui dan mempelajari hikmahnya, mengapa Allah memulainya surat-surat itu
dengan huruf hijaiyah di samping susunan huruf hijaiyah itu sendiri dalam
fawatih as-suwar sukar dimengerti arti dan maksudnya, karena ia kelompok
kalimat (ayat-ayat) mutasyabihat.
2.
Macam-macam Fawatih
as-Suwar
Fawatih as-Suwar terdiri dari beberapa macam bentuk, di dalam al-Qur'an
dapat dijelaskan sebagai berikut:[2]
a.
Terdiri atas satu huruf, terdapat
pada 3 tempat:
-
Dimulai dengan huruf shaad,
terdapat pada surat ke-38 surat Shaad.
-
Dimulai dengan huruf qaaf,
terdapat pada surat ke-50 surat Qaaf.
-
Dimulai dengan huruf nun,
terdapat pada surat ke-68 surat al-Qalam.
b.
Terdiri atas dua huruf, terdapat
pada 10 tempat:
-
Surat al-Mukmin [40]: 1
-
Surat Fushilat [41]: 1
-
Surat asy-Syura [42]: 1
-
Surat az-Zukhruf [43]: 1
-
Surat ad-Dukhan [44]: 1
-
Surat al-Jasiyah [45]: 1
-
Surat al-Ahqaf [46]: 1 diawali dengan huruf ha
mim
-
Surat al-Thaha [20]: 1 diawali dengan huruf tha
ha
-
Surat an-Naml [27]: 1 diawali dengan huruf tha
sin
-
Surat Yasin [36]: 1 diawali dengan
huruf ya sin
c.
Terdiri atas tiga huruf, terdapat
pada 13 tempat:
-
Surat al-Baqarah [2]: 1
-
Surat Ali Imran [3]: 1
-
Surat al-Ankabut [29]: 1
-
Surat ar-Ruum [30]: 1
-
Surat Luqman [31]: 1
-
Surat as-Sajadah [32]: 1 diawali dengan huruf
alim lam mim
-
Surat Yunus [10]: 1
-
Surat Hud [11]: 1
-
Surat Yusuf [12]: 1
-
Surat Ibrahi [14]: 1
-
Surat al-Hijr [15]: 1 diawali dengan huruf alim
lam ra
-
Surat asy-Syura’ [26]: 1
-
Surat al-Qashshash [28]: 1 diawali dengan
huruf tha sin mim
d.
Terdiri atas empat huruf, terdapat
pada 2 tempat:
-
Surat al-A'raf [7]: 1 diawali dengan huruf alif
lam mim shad
-
Surat ar-Ra’d [13]: 1 diawali dengan huruf alif
lam mim ra
e.
Terdiri atas lima huruf, terdapat pada 1 tempat:
-
Surat Maryam [19]: 1
diawali dengan huruf kaf ha ya ‘ain shad
Menurut Ibnu Abi al-Asba’ menulis sebuah kitab yang membahas tentang
beberapa kategori dari pembukaan-pembukaan surat yang ada dalam al-Qur'an,
yaitu:[3]
pertama, pujian terhadap Allah yang dinisbahkan pada sifat-sifat kesempurnaan
Tuhan; kedua, penggunaan huruf-huruf hijaiyah yang terdapat di 29 surat;
ketiga, penggunaan kata seru atau sapaan yang terdapat di 10 surat dengan
rincian: 5 seruan ditunjukkan kepada Rasul secara khusus, dan 5 seruan lagi
ditunjukkan kepada umat; keempat, berbentuk sumpah yang terdapat di 15 surat.
Sedangkan Rachmat Taufiq mengatakan ada 10 kategori dari
pembukaan-pembukaan surat
yang ada dalam al-Qur'an, yaitu:[4]
-
14 surat dimulai dengan lafal pujian
-
10 surat dimulai dengan lafal seruan
-
23 surat dimulai dengan kalimat berita
-
15 surat dimulai dengan lafal sumpah
-
7 surat dimulai dengan lafal syarat
-
6 surat dimulai dengan kalimat perintah
-
6 surat dimulai dengan kalimat pertanyaan
-
3 surat dimulai dengan lafal kutukan
-
1 surat dimulai dengan lafal karena
-
29 surat dimulai dengan huruf-huruf potong
3.
Pendapat Ulama tentang
Fawatih as-Suwar
Sehubungan dengan fawatih as-suwar yang telah disebutkan sebelumnya tidak
dikenal artinya oleh bangsa Arab dalam bahasa yang mereka pakai dan juga tidak
ada riwayat dari Nabi SAW yang menerangkan tentang arti dan maksudnya, maka
muncullah di kalangan ulama pikiran-pikiran arti yang pada garis besarnya dapat
dibagi kepada dua macam:
-
Mereka yang mengambil sikap bahwa
arti dan maksudnya tidak dapat diketahui atau dipahami secara pasti, karena hal
itu merupakan rahasia Tuhan yang tidak ditampakkannya kepada manusia.
Mereka sungguh-sungguh beriman tentulah meyakini bahwa fawatih as-suwar
itu berasal dari Allah, walaupun mereka tidak memahami makna dan maksud
kitabnya baik yang tersembunyi maupun tidak.[5]
-
Bahwa fawatih as-suwar ini
mempunyai makna yang dapat dipahami. Mereka berpendirian, bahwa al-Qur'an
adalah kitab suci yang mengandung hidayah (petunjuk), jika ia sebagai hidayah
maka harus dapat dipahami makna-maknanya.
Ahli-ahli hadits menukilkan dari pada Ibnu Mas’ud dan Khulafa
ar-Rasyidin, bahwa beliau-beliau itu berkata:
إِنَّ هدِهِ الْحُرُوْفِ عِلْمٌ مَسْتُوْرٌ مَحْجُوْبٌ
اِسْتَأْثَرَهُ اللهُ بِهِ
“Sesungguhnya huruf-huruf ini, adalah ilmu yang tersembunyi dan
rahasia yang terdinding, yang hanya Allah sendiri yang mengetahuinya”[6]
Ibnu Qatadah mengatakan bahwa tidak mungkin Allah SWT menurunkan sesuatu
yang ada di dalam al-Qur'an kecuali akan memberi manfaat dan kemaslahatan bagi
hambanya, dan tentu ada sesuatu yang bisa menunjukkan kepada maksud yang
dikehendakinya.[7]
Pada dasarnya, terdapat dua kubu ulama yang mengomentari persoalan di
atas tentang fawatih as-suwar, pertama kubu salaf yang memahaminya
sebagai rahasia yang hanya diketahui Allah. Di antara mereka adalah Ali bin Abi
Thalib dan Abu Bakar.[8]
Dalam satu riwayat, Ali berkata:
إِنَّ لِكُلِّ كِتَابٍ صَفْوَاةٌ وَصَفْوَةُ هَذَا
الْكِتَابِ حُرُوْفُ التَّحَجِّيْ
“Setiap kitab memiliki sari pati (safwah) dan sari pati
al-Qur'an adalah huruf-huruf ejaannya”
Riwayat senada diucapkan Abu Bakar,
فِى كُلِّ كِتَابٍ سِرٌّ وَسِرُّهُ فِى الْقُرْانِ
أَوَائِلِ السُّوَرِ
“Setiap kitab memiliki rahasia dan rahasia al-Qur'an adalah
permulaan-permulaan suratnya (awa’il as-suwar)”
Adapun kubu kedua melihat persoalan ini sebagai suatu rahasia yang juga
dapat diketahui manusia.
a.
Menurut ahli tafsir
Menurut Ibn ‘Abbas, berdasarkan riwayat Ibn Abi Hatim
huruf-huruf itu menunjukkan nama Tuhan. Alif Lam Mim, yang terdapat
dalam pembukaan surat
al-Baqarah, ditafsirkan dengan Ana Allah A'lam (Akulah Tuhan yang
Mahatau), Alif Lam Ra’ ditafsirkan dengan Ana Allah Ara (Akulah
Tuhan yang Maha melihat). Juga menurutnya Alif Lam Ra’ dan Ha Mim
merupakan ejaan ar-Rahman yang dipisahkan. Dalam mengomentari huruf kaf ya
ha ‘ain shad, ia berkata, “kaf sebagai lambang karim (pemurah), ha
berarti hadin (pemberi petunjuk), ya’ berarti hakim (bijaksana), ain
berarti ‘alim (maha mengetahui), dan shad berarti shadiq (yang
mahabenar).[9]
Pembahasan-pembahasan yang dilakukan oleh ulama ahli
tafsir menunjukkan bahwa pembuka surat
yang berbentuk huruflah yang sering menimbulkan kontroversi. Itulah sebabnya,
huruf-huruf tersebut sering dimasukkan dalam kategori ayat mutasyabihat yang
tak seorang pun “mengetahui” artinya selain Allah, atau yang biasa disebut
salah satu bentuk “rahasia Tuhan” yang terdapat dalam al-Qur'an.
Adapula ulama tafsir yang berpendapat bahwa Allah
memakai huruf tersebut sebagai huruf sumpah. Allah bersumpah atas nama
huruf-huruf tersebut dalam bentuk ringkasan sehingga penyebutannya hanya
sebagian. Tegasnya, Dia menyebut sebagian huruf untuk makna seluruh huruf. Misalnya,
Dia menyebut Alim Lam Mim untuk menunjukkan bahwa Dia bersumpah dengan
seluruh al-Muqatta’ah. Makna ini bisa diilustrasikan dalam sebuah kalimat aku
telah mempelajari Alim Lam Mim, artinya seseorang tidak hanya
mempelajari huruf-huruf yang dimaksud karena ia harus mempelajari huruf lainnya
di antara 28 huruf hijaiyah.
Sebagian lagi ada yang mengemukakan bahwa huruf
tersebut diambil dari sifat-sifat Allah, yang dengannya terkumpullah banyak
sifat. Ini merupakan salah satu bentuk seni dari “seni meringkas” yang sering
kali dilakukan oleh orang-orang Arab di saat mereka bermain syair.[10]
Dalam hal ini huruf-huruf potong yang berada di awal
surat-surat tertentu itu dapat menggugah orang untuk selalu ingat kepada Allah
dalam segala keadaan. Ingat kepada Allah merupakan suatu prestasi spriritual
manusia yang sangat tinggi nilainya.
b.
Menurut ahli teologi dan tasawuf
Kelompok teolog biasanya menafsirkan al-Qur'an untuk
melegitimasi doktrin-doktrin mereka. Begitu pula dalam penjelasan
rahasia-rahasia huruf al-Qur'an ini. Syi’ah umpamanya, berpendapat bahwa
apabila pengulangan dalam kelompok huruf itu dibuang, akan terbentuk sebuah
pernyataan صِرَاطُ عَلِيُّ عَلَى حَقٍّ
(jalan yang ditempuh ‘Ali adalah kebenaran yang harus kita pegang). Ulama
Sunni, dengan kecendrungan teologi pula, membantah pendapat Syi’ah di atas.
Mereka kemudian mengubah pernyataan ulama Syi’ah tersebut menjadiصَحَّ
طَرِيْقُكَ مَعَ السُّنَّةِ (telah benar jalanmu dengan mengikuti
sunah). Kata as-Sunnah itu dimunculkan untuk untuk memperlihatkan kebenaran
aliran teologi Ahlussunah wal Jama’ah.[11]
Dalam tradisi para sufi, rahasia-rahasia huruf itu
dijelaskan dengan perspektif esoterik-simbolik. Ibnu ‘Arabi dianggap sebagai
pelopor dalam hal ini. Ia menjelaskan bahwa Alim adalah nama esensi
Ilahi, yang menunjukkan bahwa ia merupakan yang pertama dari segala eksistensi,
sedangkan Lam sebaliknya terbentuk dair dua Alif, dan keduanya
dikandung oleh Mim. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa setiap nama adalah
referensi untuk hakikat (esensi), yaitu yang mengandung satu atau sifat lain
(atribut). Oleh karena itu, Mim merupakan referensi terhadap tindakan
Muhammad, maka Lam yang mengantarkan Alif dan Mim
merupakan simbol nama malaikat Jibril.
c.
Menurut kalangan orientalis
Noldeke, seorang orientalis Jerman adalah orang yang
pertama kali mengemukakan dugaan bahwa huruf-huruf itu merupakan penunjukkan
nama-nama para pengumpulnya. Misalnya, Sin sebagai kependekatan dari Sa’id
bin Waqqash. Mim sebagai kependekan dari nama Utsman bin Affan, dan Ha
sebagai kependekan nama Abu Hurairah. Ia kemudian mengemukakan pandangan bahwa
huruf-huruf itu merupakan simbol yang tidak bermakna, mungkin merupakan tanda-tanda
magis atau tiruan-tiruan dari tulisan kitab samawi yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad.[12]
Sebagai ayat mutasyabihat, tentu saja penafsiran
terhadap huruf-huruf itu tidak akan berhingga atau tak ada batasnya. Apa yang
dikemukakan di atas hanyalah penakwilan-penakwilan individu yang sangat
diwarnai berbagai orientasi dan kecendrungan yang tidak menutup kemungkinan
untuk dikritik.
Bahkan ada pula ulama yang tidak terlalu menganggap
serius huruf-huruf pembuka itu, misalnya Qurthubi, ia mengatakan: “Aku tidak
melihat kehadiran huruf al-Awqatta’ah kecuali terdapat pada awal surat . Dan aku sendiri
tidak menangkap maksud-maksud tertentu yang dikehendaki oleh Allah.[13]
4.
Hikmah Adanya Fawatih
as-Suwar
Fawatih as-Suwar merupakan salah satu masalah yang paling rumit yang
dihadapi oleh para peneliti al-Qur'an, baik sudut ilmiah maupun historis di
kalangan para sahabat Nabi, sampai sekarang dalam penafsirannya belum menemukan
secara pasti. Meskipun demikian ditetapkan dari sejumlah pendapat-pendapat
tersebut di atas yang mendekati rasional ada tiga yaitu:
-
Mereka yang mengatakan bahwa
fawatih as-suwar yang terdapat pada sebagian surat-surat al-Qur'an itu
dimaksudkan untuk mengalihkan pandangan kaum musyrikin agar mau mendengarkan
al-Qur'an yang tersusun dari huruf-huruf tersebut.
-
Mereka yang berpendapat, bahwa
yang dimaksudkan dengan fawatih as-suwar itu untuk menunjukkan pandangan mereka
bahwa al-Qur'an tersusun dari huruf-huruf itu, tetapi mereka tidak mampu
membuatnya, padahal mereka sehari-harinya sering mengucapkan dengan kata-kata
huruf tersebut.
Dengan demikian maka al-Qur'an menjadi bukti bahwa ia datang dari Allah
dan bukan dari Muhammad SAW. Kalau mereka (orang musyrikin dan ahli kitab, baik
yang berada di Makkah, Madinah atau di luar) itu jujur dengan melihat kenyataan
yang ada.
-
Bagi orang Arab membaca
huruf-huruf (alif lam mim dan seterusnya) seperti itu menarik perhatian
sekali karena belum pernah mereka dengar. Jadi, perhatian mereka tertuju
sepenuhnya pada apa yang akan disebutkan Rasulullah SAW. Sesudah itu pada
umumnya yang diterangkan sesudah itu ialah tentang al-Qur'anul Karim.
Mukjizatnya, kebenarannya, wahyu Allah SWT dan lain-lain soal yang sangat
penting. Kalau diumpakan dalam rapat ibarat perlu ketua rapat untuk menenangkan
rahadirin agar perhatian penuh tertuju kepada uraian ketua rapat. Inilah tafsir
yang masuk akal.[14]
Al-Qur'an memiliki banyak keistimewaan dari segi makna dan kebahasaan.
Dari segi makna, memang banyak sekali penafsiran-penafsiran spekulatif terhadap
huruf-huruf itu. Dikatakan spekulatif karena penafsiran-penafsiran mengenai hal
itu tidak didahului pengungkapan konteks historisnya.
Menjadi penting pula untuk diperhatikan asumsi sebagian ulama bahwa
fenomena huruf muwatta’ah sebagai fawatih as-suwar bisa jadi karakter-karakter
tampilan huruf atau kalimat yang ada di dalam al-Qur'an itu sangat kuat
dipengaruhi gaya
bahasa dan seni syair bangsa Arab. Misalnya yang berhubungan dengan teori
singkatan-singkatan. Diriwayatkan oleh al-Farra’ dan az-Zajjaj bahwa suatu kaum
menafsirkan makna Qaf dengan qadhallahu ma huwa kain (Allah
menakdirkan apa yang terjadi). Mereka berpendapat dengan (kukakatakan
kepadanya: “Berhentilah!”, ia menjawab Qaf maknanya: “Berhentilah
engkau”).[15]
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah al-Qurthubi, Abu, al-Jami’
li Ahkam al-Qur'an, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), Jilid I
Abdullah az-Zanzani, Abu, Wawasan
Tarikh al-Qur'an, Terjemah Kamuluddin Marzuki, (Bandung: Mizan, 1991)
Al-Abyari, Ibrahim, Tarikh al-Qur'an,
(Cairo: Dar al-Qalam, 1965)
Al-Zarqani, Manahil al-Irfan, (Cairo : Isaal Bab
al-Halabi, t.t.,)
Anwar, Rosihon, Ulumul
Qur’an, (Bandung :
CV. Pustaka Setia, 2004)
Bakry, Gemar, Tafsir Rahmat, (Jakarta:
Majelis Ulama Indonesia, 1983)
Chirzin, Muhammad, Al-Qur'an
dan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Primayasa, 1998), Cet.
ke-1
Hasbi ash-Shiddieqy, Muhammad,
Ilmu-ilmu al-Qur'an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972)
Izzan, Ahmad, Ulumul Qur’an, (Bandung : Tafakur, 2005)
Taufiq Hidayat, Rachmat, Khazanah Istilah
al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1989)
[1]
Drs. Ahmad Izzan, M.Ag., Ulumul Qur’an, (Bandung : Tafakur, 2005), h. 192
[2]
Drs. Rosihon Anwar, M.Ag., Ulumul Qur’an, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2004), mengutip
ash-Shalih, Op. Cit., h. 234-235
[3]
Drs. Ahmad Izzan, M.Ag., Ulumul Qur’an, (Bandung : Tafakur, 2005), h. 192, mengutip
Ibnu Abi al-Asba’ dalam bukunya Khaqatir as-Sawarih fi Asrar al-Fawatih
[4]
Rachmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah al-Qur'an, (Bandung:
Mizan, 1989), h. 176-177
[5]
Al-Zarqani, Manahil al-Irfan, (Cairo : Isaal Bab al-Halabi, t.t.,), h.
219-220
[6] M.
Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur'an, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1972), h. 127-128 mengutip Tafsir al-Manah VIII: 302
[7]
Ibrahim al-Abyari, Tarikh al-Qur'an, (Cairo: Dar al-Qalam, 1965),
h. 158
[8]
Drs. Rosihon Anwar, M.Ag., Ulumul Qur’an, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2004), mengutip
ash-Shalih, Op. Cit., h. 136-137, Ibid., h. 236
[9]
Drs. Rosihon Anwar, M.Ag., Ulumul Qur’an, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2004), mengutip
ash-Shalih, Op. Cit., h. 137, mengutip as-Suyuthi, Op. Cit.,
h. 9-11
[10]
Drs. M. Chirzin, M.Ag., Al-Qur'an dan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Primayasa, 1998), Cet. ke-1,
h. 63, mengutip al-Abyari, Op. Cit., h. 159-160
[11]
Drs. Rosihon Anwar, M.Ag., Ulumul Qur’an, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2004), h. 139,
mengutip ash-Shalih, Op. Cit., h. 237
[12]
Drs. Rosihon Anwar, M.Ag., Ulumul Qur’an, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2004), h. 140,
mengutip W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an,
Edinburgh University Press, 1991, h. 64
[13]
Abu Abdullah al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur'an, (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), Jilid I, h. 108
[14]
H. Gemar Bakry, Tafsir Rahmat, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia,
1983)
[15]
Abu Abdullah az-Zanzani, Wawasan Tarikh al-Qur'an, Terjemah
Kamuluddin Marzuki, (Bandung: Mizan, 1991), h. 128
Tidak ada komentar:
Posting Komentar