perjalanan, kemudian waktu shalat
datang kepada mereka, namun mereka tidak mendapatkan air, lalu mereka
bertayamum dan melakukan shalat, lantas mereka menemukan air pada waktu shalat
itu, kemudian salah seorang dan mereka mengulangi shalatnya dan seorang lagi
tidak mengulangi. Lalu ketika mereka menceritakan perihal mereka kepada
Rasulullah saw., maka beliau mengikrarkan kepada masing-masing dan keduanya
atas apa yang telah diperbuatnya. Beliau mengatakan kepada orang yang tidak
mengulangi shalatnya: “Kamu telah melakukan sunnah dan shalatmu telah
mencukupimu”. Dan kepada orang yang mengulangi shalatnya beliau berkãta: “Kamu
rnendapit pahala dua kali”.
Juga seperti hadits yang diriwayatkan:
اَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بَعَثَ مُعَاذَابْنَ جَبَلٍ اِلىَ اْليَمَنِ قَالَ لَهُ بِمَا تَقْضِىْ؟ قَالَ: اَقْضِىْ
بِكِتَابِ اللهِ فَإِنْ لَمْ اَجِدْ فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ، فَإِنْ لَمْ اَجِدْ
اَجْتَهِدُ رَأْيىِْ. فَاَقَرَّهُ الرَّسُوْلُ وَقَالَ: اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ
وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لِمَا يُرْضِىْ رَسُوْلَ اللهِ.
Artinya :
“Sesungguhnya
beliau saw. ketika mengutus Mu‘adz bin Jabal menuju Yaman, beliau bersabda kepadanya.:
“Dengan apakah kamu mengadili?“. Mu’adz menjawab. “Saya akan mengadili
berdasarkan kitab Allah !“. Jika saya tidak menemukan, maka berdasarkan sunnah
Rasulullah, kemudian jika saya tidak menemukan, maka saya berijtihad dengan
pendapatku”.
Lantas
Rasululiah saw. mengakuinya dan bersabda: “Segala puji adalah bagi Allah yang
telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah pada sesuatu yang diridhai
oleh Rasululiah “.
A.
Kehujjahan As-Sunnah.
Ummat Islam telah sepakat
bahwasanya apa yang keluar dan Rasulullah saw., baik berupa perkataan,
perbuatan, atau taqriri, dan hal itu dimaksudkan sebagai pembentukan hukum-hukum
Islam dan sebagai tuntunan, serta diriwayatkan kepada kita dengan sanad yang
shahih yang menunjukkan kepastian atau dugaan kuat tentang kebenarannya, maka
ia menjadi hujjah atas kaum muslimin, dan sebagai sumber hukum syara’ yang mana
para mujtahid mengistimbathkan berbagai hukum syara’ dari padanya berkenaan
dengan perbuatan orang-orang mukallaf. Maksudnya, bahwasanya hukum-hukum yang
terdapat dalam sunnah-sunnah ini, bersama dengan hukum-hukum yang terdapat. di
dalam Al-Qur’an membentuk suatu undang-undang yang wajib diikuti.
Bukti-bukti atas kehujjahan
sunnah banyak, antara lain:
Pertama: Nash-nash Al-Qur’an.
Sesungguhnya Allah SWT dalam beberapa ayat kitab Al-Qur’an telah memerintahkan
untuk mentaati Rasul-Nya, dan menjadikan ketaatan kepada Rasul-Nya sebagai
suatu ketaatan kepada-Nya. Allah juga memerintahkan kaum muslimin apabila
mereka bertentangan mengenai sesuatu untuk mengembalikannya kepada Allah dan
Rasul. Dia juga tidak memberikan kebebasan memilih kepada orang yang beriman apabila
Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sesuatu hal. Bahkan Allah meniadakan iman
dan orang yang tidak merasa tenteram menerima putusan Rasulullah saw. dan tidak
menyerahkan kepadanya. Kesemuanya ini merupakan bukti dan Allah, bahwa
pembentukan hukum syara’ dan Rasulullah saw. sekaligus merupakan pembentukan
hukum syara’ oleh Tuhan, yang wajib diikuti.
Allah SWT. berfirman:
ö@è% (#qãèÏÛr& ©!$# ^qߧ9$#ur ( bÎ*sù (#öq©9uqs? ¨bÎ*sù ©!$# w =Ïtä tûïÍÏÿ»s3ø9$# ÇÌËÈ
Artinya:
“Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul...”(Q.S. Ali ‘Imran : 32).
Juga berfirman:
`¨B ÆìÏÜã
tAqߧ9$# ôs)sù
tí$sÛr& ©!$# (
Artinya:
“Barang
siapa yang mentaati Rasul itu, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah....” (Q.S.
An-Nisa’: 80).
Dia juga berfirman:
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù
÷Läêôãt»uZs? Îû
&äóÓx«
çnrãsù
n<Î)
«!$# ÉAqߧ9$#ur
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya dan
ulil amri dan kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (AlQur’an) dan Rasul (Sunnahnya). (Q.S.
An-Nisa’ : 59).
Dia juga
berfirman:
$tBur
tb%x. 9`ÏB÷sßJÏ9 wur >puZÏB÷sãB #sÎ)
Ó|Ós% ª!$# ÿ¼ã&è!qßuur #·øBr& br& tbqä3t ãNßgs9
äouzÏø:$#
ô`ÏB öNÏdÌøBr& 3
Artinya:
“Dan
tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan yang lain“. (Q.S. Al-Ahzab: 36).
Kemudian Allah
juga berfinnan:
xsù y7În/uur w cqãYÏB÷sã
4Ó®Lym
x8qßJÅj3ysã
$yJÏù
tyfx©
óOßgoY÷t/ §NèO w (#rßÅgs þÎû öNÎhÅ¡àÿRr& %[`tym $£JÏiB |MøÒs% (#qßJÏk=|¡çur
$VJÎ=ó¡n@ ÇÏÎÈ
Artinya:
“Maka demi
Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
dalam diri mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka
menerima dengan sepenuhnya “. (Q.S.
An-Nisa’. 65).
Lalu dia berfirman:
4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù
$tBur öNä39pktX çm÷Ytã
(#qßgtFR$$sù
4 (
Artinya:
“Apa yang
diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah ia dan apa yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah…..
“ (Q. S. Al-Hasyr: 7).
Dengan
berhimpunnya ayat-ayat tersebut dan saling menopang, maka ayat-ayat itu
menunjukkan dengan suatu dalalah yang pasti, bahwa Allah meriwayatkan untuk
mengikuti Rasul-Nya berkenaan dengan apa yang disyari’atkannya.
Kedua: Ijma’ para sahabat, baik
pada masa hidup Rasulullah saw. maupun sesudah wafatnya, terhadap kewajiban
mengikuti sunnahnya. Páda masa hidup Nabi, mereka melaksanakan hukum-hukunmya
dan menjalankan Segala perintah dan laranganya, apa yang dihalalkannya dan apa
yang diharamkannya.
Dalam kewajiban mengikuti itu,
mereka tidak membeda-bedakan antara hukum yang diwahyukan kepadanya di dalam Al-Qur’an
dan hukum yang keluar dari Raslullah saw. sendiri. Oleh karena inilah, maka
Mu’adz bin Jabal berkata:
اِنْ لَمْ اَجِدْ فىِ كِتَابِ اللهِ
حُكْمَ مَااَقْضِىْ بِهِ قَضَيْتُ بِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ.
Artinya:
“Jika saya
tidak menemukan di dalam kitab Allah hukum yang akan saya pergunakan untuk
memutuskan, maka saya memutuskan hukum berdasarkan sunnah Rasulullah “.
Kemudian
setelah Rasulullah saw. wafat, para sahabat apabila tidak menemukan hukum
sesuatu yang terjadi pada mereka di dalam kitab Allah, maka mereka kembali
kepada sunnah Rasulullah.
Abu Bakar ra. ketika tidak hafal
sunnah mengenai suatu kejadian, maka ia keluar untuk bertanya kepada kaum
muslimin: “Apakah di antara kamu ada yang hafal sunnah dan nabi kita mengenai
persoalan ini?”. Demikian pula Umar dan lainnya dan orang-orang yang menghadapi
fatwa dan tabi’it- tabi’in yang menempuh jalan mereka. Ternyata tidak diketahui
bahwa salah seorang di antara mereka dianggap menyalahi tentang bahwa sunnah
Rasulullah saw. apabila benar periwayatannya, maka wajib diikuti.
Ketiga: Bahwasanya Allah dalam
Al-Qur’an telah rnewajibkan kepada manusia sejumlah kewajiban secara global,
tanpa penjelasan, hukum-hukumnya dan cara pelaksanaannya tidak diterangkan
dalam Al-Qur’an. Allah SWT. berfirman:
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¢9$#
Artinya:
“Dirikanlah shalat dan terimakanlah zakat”.(QS. An-Nisa: 77)
Juga berfirman:
|=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$#
Artinya:
“...diwajibkan atas kamu berpuasa...”(QS. Al-Baqarah: 183)
Juga berfirman:
3 ¬!ur n?tã
Ĩ$¨Z9$# kÏm Ï
Artinya:
“...Mengerjakan
hajji adalah kewajiban manusia terhadap Allah....”(Q.S.Ali Imran:97).
Akan tetapi
Allah tidak menjelaskan, bagaimanakah shalat itu dilakukan, zakat ditunaikan,
puasa dan hajji dilaksanakan. Keglobalan ini telah diterangkan oleh Rasulullah
saw. melalui sunnahnya, baik yang qauliyyah (berbentuk perkataan) dan
amaliyyah. Karena sebenarnya Allah SWT telah menganugerahkan kepadanya.
otoritas untuk memberikan penjelasan mi melalui firman Allah mengenai hal ini:
3 !$uZø9tRr&ur
y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9
Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î)
Artinya:
“Dan Kami
turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka.” (Q.S. An-Nahl: 44).
Kalau sekiranya
As-Sunnah yang menjelaskan itu bukan menjadi hujjah atas ummat Islam dan tidak
pula menjadi undang-undang yang wajib diikuti, maka tidaklah mungkin untuk
melaksanakan kewajiban-kewajiban A1-Qur’an maupun mengikuti hukum-hukumnya.
As-Sunnah yang menjelaskan itu wajib diikuti hanyalah dan sisi bahwa ia keluar
dan Rasul saw., diriwayatkan dan beliau dengan cara yang rnenunjukkan
pengertian yang pasti kedatangannya dart beliau atau dugaan yang kuat datang
dan beliau.
Setiap As-Sunnah yang membentuk
hukum Islam yang terhitung shahih dan beliau adalah hujjah yang wajib diikuti,
baik As-Sunnah itu menjelaskan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun
membentuk hukum yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an. karena semua As-Sunnah
sumbemya adalah Rasululluh saw yang ma’shum yang telah dianugerahi oleh Allah
otoritas menjelaskan dan membentuk hukum Islam.
B.
Hubungan As-Sunnah
dengan Al-Qur’an.
Adapun hubungan As-Sunnah dengan
Al-Qur’an dan segi penggunaannya sebagai hujjah dan referensi bagi istimbath
hukum syara maka ia berada pada urutan setelah Al-Qur’an, di mana seorang
mujtahid dalam mengkaji suatu kasus tidak akan mengacu kepada As-Sunnah kecuali
apabila ia tidak menemukan hukum sesuatu yang ingin diketahui hukumnya di dalam
Al-Qur’an, karena sebenarnya Al-Quran merupakan sumber pokok dalam pembentukan
bukum Islam dan sumber pertamanya. Maka apabila Al-Quran menyebutkan nash
terhadap suatu hukum, maka ia wajib diikuti, dan apabila tidak menyebutkan nash
mengenai hukum suatu kasus, maka ia kembali kepada sunnah. Jika ia menemukan
hukumnya dalam sunnah, maka ia pun mengikutinya.
Adapun hubungan sunnah dengan
Al-Qur’an dan segi hukum yang datang di dalamnya, maka sebenarnya sunnah tidak
melampaui salah satu dan tiga hal:
- Ada kalanya As-Sunnah itu
menetapkan atau mengukuhkan hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an. Jadi,
hukum tersebut mempunyai dun sumber dan dua dalil, yaitu:
a.
Dalil yang menetapkan dan
ayat-ayat Al-Qur’an, dan
b.
Dalil yang mengukuhkan
berupa Sunnah Rasul.
Di antara hukum-hukum dalam
kategori ini adalah perintah untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa
Ramadhan, melaksanakan hajji di Baitullah, larangan menyekutukan dengan Allah,
persaksian palsu, durhaka terhadap dua orang tua, membunuh jiwa seseorang tanpa
hak, clan berbagai hal yang diperintahkan maupun yang dilarang lainnya, yang
telah ditunjuk oleh Al-Qur’an dan dikukuhkan oleh sunnah Rasulullah saw., dan
dalil atas hukum itu dikemukakan dan kedua-duanya.
- Ada kalanya As-Sunnah itu
memeninci dan menafsirkan tenhadap sesuatu yang datang dalam Al-Qur’an
secara global, membatasi terhadap hal-hal yang datang dalam Al-Qur’an
secana mutlak, atau mentakhshish sesuatu yang datang di dalamnya secara
urnum.
Penafsiran, atau pembatasan,
ataupun pentakhshishan yang didatangkan oleh sunnah merupakan penjelasan maksud
terhadap sesuatu yang datang dalam Al-Qur’an. Karena sebenarnya Allah SWT.
telah memberikan kepada Rasul-Nya otoritas untuk menjelaskan terhadap nash-nash
Al-Qur’an melalui firman-Nya berkenaan dengannya:
3 !$uZø9tRr&ur
y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9
Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) ö
Artinya:
“Dan Kami
turunkan kepadamu A1-Qur’an agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka.” (Q.S. An-Nahl: 44).
Di antara
kategori ini adalah Sunnah-sunnah yang menjelaskan tentang mendirikan shalat, menunaikan
zakat, dan hajji di Baitullah. Karena sebenarnya Al-Qur’an telah memerintahkan
untuk mendirikan shalat, menunaik zakat, dan melaksanakan hajji di Baitullah,
namun tidak menjelaskan jumlah raka’at shalat, kadar-kadar zakat, maupun
manasik hajji. Sunnah amaliyyah dan qauliyyah yang menjelaskan keglobalan ini.
Demikian pula
Allah menghalalkan jual beli dan mengharankan riba. Sunnahlah yang menjelaskan
jual beli yang sah dan yang fasid, macam-macamnya riba yang diharamkan.
Allah
mengharamkan bangkai, dan sunnahlah yang menjelaskan maksud dan bangkai itu,
yaitu selain bangkai lautan; dan lain sebagainya yang termasuk sunnah yang
menjelaskan kemujmalan Al-Qur’an, kemutlakannya dan keumumannya As-Sunnah yang
demikian dikategorikan sebagai yang melengkapi Al-Quran dan menambahkan kepada
Al-Qur’an.
3. Ada kalanya sunnah itu menetapkan dan membentuk hukum yang tidak
terdapat di dalam Al-Qur’an. Hukum ini ditetapkan berdasarkan sunnah dan nash
Al-Qur’an tidak menunjukinya.
Di antara
sunnah dalam kategori ini ialah pengharaman mengumpulkan (mengawini) seorang
wanita dan bibinya (saudara perempuan ayahnya atau saudara perempuan ibunya),
pengharaman binatang buas yang bertaring dan jenis burung yang bercakar tajam,
dan pengharaman mengenakan kain sutera, dan memakai cincin bagi kaum laki-laki,
serta apa yang datang dalam hadits:
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَايَحْرُمُ
مِنَ النَّسَبِ.
Artinya:
“Haram
lantaran Susuan apa yang haram karena keturunan (nasab)“.
Dan
hukum-hukum lainnya yang disyari’atkan berdasarkan sunnah belaka, dan sumbernya
adalah ilham Allah kepada Rasul-Nya, atau ijtihad Rasul sendiri.
Imam Asy.’Syafi’i
dalam kitab “Risalah“nya yang berkenaan dengan ilmu ushul berkata: “Saya tidak
mengetahui dan ilmuwan yang berbeda pendapat mengena bahwa sunnah Nabi saw. itu
terdiri dan tiga aspek, yaitu:
Pertama:
Sesuatu yang telah diturunkan nash kitab oleh Allah mengenainya,, kemudian
Rasulullah saw. menetapkan sunnah seperti sesuatu yang telah terdapat dalam
nash kitab Al-Qur’an
Kedua:
Sesuatu yang telah diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Agung di
dalam Al-Quran secara global. Kemudian beliau menerangkan pengertian yang
dimaksud dan Allah.
Ketiga:
Sesuatu yang disunnahkan oleh Rasulullah saw. yang tidak ada nashnya dalam
kitab Al-Quran.
Sesuatu hal
yang pantas diingat bahwasanya ijtihad Rasulullah saw mengenai pembentukan
hukum Islam, asasnya adalah Al-Qur’an dan rul tasyri’ dan dasar-dasarnya yang
tersebar di dalam dirinya. Dalam pembentukan hukum Islam, beliau bersandar
kepada qiyas atas apa yang terdapat di dalam Al-Quran, atau kepada penerapan
prinsip-prinsip umum bagi pembentukan hukum Islam. Dengan demikian acuan dan
hukum-hukum sunnah adalah kepada hukum hukum Al-Qur’an
Kesimpulan dan
apa yang telah kami kemukakan adalah: bahwasanya hukum yang terdapat dalam As-Sunnah
itu ada kalanya merupakan hukum-hukum yang menetapkan terhadap hukum Al-Qur’an,
ada kalanya merupakan hukum-hukum yang menjelaskannya, dan ada pula kalanya
merupakan hukum yang tidak disinggung :oleh Al-Qur’an yang dikembangkan
berdasarkan qiyas atas sesuatu yang terdapat di dalamnya, atau dengan
menerapkan prinsip-prinsip dan pokok-pokoknya yang bersifat umum. Dengan
demikian jelaslah bahwasanya tidak mungkin terjadi pertentangan atau
kontradiksi antara hukum-hukum Al-Quran dan As-Sunnah.
C.
Pembahagian
As-Sunnah Berdasarkan Sanadnya
As Sunnah ditinjau dan perawi
perawinya dan Rasulullah saw dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1.
Sunnah Mitawatirah,
2.
Sunnah Masyhurah, dan
3.
Sunnah Ahad.
Sunnah Mutawatirah adalah sunnah
yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. oleh sekumpulan perawi yang menurut
kebiasaannya, individu-individunya itu tidak mungkin sepakat untuk berbohong,
disebabkan jumlah mereka yang banyak, sikap amanah mereka, dan berlainannya orientasi
dan lingkungan mereka, kemudian dari kelompok perawi ini, sejumlah perawi yang
sepadan dengannya meriwayatkan sunnah itu, sehingga sunnah itu sampai kepada
kita dengan sanad masing-masing tingkatan dan para perawinya yang merupakan
sekumpulan orang yang tidak mungkin mengadakan kesepakatan untuk berdusta, mulai
dan penerimaan sunnah itu dan Rasul sampai datang kepada kita.
Di antara kategori sunnah mutawatirah
ini ialah sunnah ‘amaliyyah dalam melaksanakan shalat, mengenai puasa, hajji,
adzan dan lain sebagainya yang termasuk kategori syiar agama yang diterima oleh
kaum muslimin dan Rasulullah melalui penyaksian langsung, atau pendengaran,
kelompok dan kelompok, tanpa adanya pertentangan dan masa ke masa, atau dan
daerah ke daerah. Sedangkan dalam sunnah qauliyyah jarang sekali ditemukan hadits
mutawatir ini.
Sunnah masyhurah adalah sunnah
yang diriwayatkan dan Rasulullah saw. oleh seorang, atau dua orang, atau tiga
orang sahabatnya yang tidak mencapai jumlah tawatur (perawi hadits mutawatir),
kemudian dari perawi atau para perawi ini sekumpulan orang yang mencapai
tawatur meriwayatkannya; kemudian sekelompok perawi yang sepadan dengannya meriwayatkannya
dan mereka, dan dari kelompok perawi ini sekelompok perawi lainnya yang
sepadan. dengan mereka meriwayatkan sunnah itu sehingga sunnah itu sampai
kepada kita dengan suatu sanad, di mana tingkatan pertama dalam sanad itu yang
mendengar perkataan Rasulullah atau yang menyaksikan tindakan beliau hanya satu
orang, atau dua orang, atau beberapa orang, yang tidak mencapai jumlah
kemutawatiran, sedangkan tingkatan-tingkatan sanadnya merupakan jumlah perawi
yang mutawatir.
Di antara kategori hadits ini
ialah sebagian hadits yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin Khattab, atau ‘Abdullab
bin Mas’ud, atau Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Rasulullah saw. Kemudian dan salah
seorang dari mereka itu sejumlah perawi yang tidak mungkin individu-individunya
bersekongkol untuk berdusta meriwayatkan sunnah itu. Misalnya ialah hadits:
اِنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Artinya:
“Amal-Amal itu hanyalah sah
dengan niat”.
بُنِىَ اْلاِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ
Artinya:
“Agama Islam dibangun atas lima sendi....”
لاَضَرَرَ وَلاَضِرَارَ
Artinya:
“Tidak ada
madharrat dan tidak ada membuat madharrat terhadap orang lain”
Dengan
demikian, maka perbedaan antara sunnah mutawatirah dan sunnah masyhurah adalah;
bahwasanya sunnah mutawatirah, seluruh tingkatan dalam silsilah sanadnya merupakan
sekelompok orang yang mencapai kemutawatiran, mulai dan permulaan penerimaannya
dan Rasulullah saw. sampai kepada kita. Adapun sunnah masyhurah, maka tingkatan
pertama di dalam sanadnya bukan merupakan suatu kelompok yang mencapai
kemutawatiran, akan tetapi hanya satu orang, atau dua orang, atau sejumlah
orang yang tidak mencapai tingkat kemutawatiran yang menerimanya dari Rasulullah
saw sampai kepada kita. Adapun sunnah masyhurah, maka tingakatan pertama di
dalam sanadnya bukan merupakan suatu kelompok mencapai kemutawatiran, akan
tetapi hanya satu orang, atau dua orang, atau sejumlah orang yang tidak
mencapai tingkat kemutawatiran yang menerimanya dari Rasulallah saw. Sedangkan
tingkatan-tingkatan lainnya merupakan kelompok perawi yang mencapai
kemutawatiran.
Sunnah Ahad adalah sunnah yang
diriwayatkan dari Rasulullah saw. oleh perseorangan yang tidak mencapai jumlah
kemutawatiran. Misalnya hadits itu diriwayatkan dari Rasulullah saw. oleh satu
orang saja, atau dua orang saja, atau perawi ini perawi yang sepadannya meriwayatkan
sunnah itu. Demikian seterusnya sehingga sampai kepada kita dengan suatu sanad
yang seluruh tingkatannya adalah perseorangan, bukan kelompok yang mutawatir.
Di antara kategori sunnah ini adalah kebanyakan hadits yang dihimpun di dalam
kitab-kitab sunnah, dan disebut dengan khabar wahid.
D.
As-Sunnah Yang
Qath’i dan Zhanni.
Adapun sunnah ditinjau dari segi
kedatangannya, maka sunah mutawatiran merupakan sunnah yang pasti kedatangannya
dari Rasulullah saw (Qath iyyatul wurud) karena kemutawatiran periwayatan
menunjukkan kepastian mengenai kebenaran bentanya sebagaimana telah kami
kemukakan Sedangkan sunnah masyhurah merupakan sunnah yang pasti datangnya
(Qath’iyyatul wurud) dan shahabi atau sahabat yang menerimanya dari Rasulullah
saw., karena kemutawatiran periwayatan dari mereka, Akan tetapi sunnah ini
tidak pasti kedatangannya dari Rasulullah saw., karena orang yang pertama kali
menerimanya dari beliau bukanlah kelompok perawi mutawatir Oleh karena inilah,
maka ulama Hanafiyyah menjadikan sunnah masyhurah ini dalam hukum sunnah
mutawatirah. Jadi ia dapat mentakhshiahkan keumuman Al-Qur’an, membatasi
kemutlakannya, karena sunnah ini dipastikan kedatangannya dari sahabat.
Sedangkan sahabat adalah hujjah dan dapat dipercayai dalam periwayatannya dan
Rasulullah saw. Oleh karena inilah, maka dalam mazhab mereka tingkatan sunnah
masyhurah adalah berada di antara hadits mutawatir dan khabar wahid.
Sunnah Ahad adalah zhanniyyah
(bersifat dugaan kuat) datangnya dan Rasulullah saw., karena sanadnya tidak
menunjukkan kepastian. Adapun dari segi dalalahnya (pengertiannya), maka
setiap. sunnah dan beberapa bahagian ini, maka kadangkala ada yang dalalahnya
qath’i apabila nashnya tidak memungkinkan pentakwilan, dan ada kalanya
dalalahnya zhanni apabila nashnya mengandung kemungkinan takwil.
Dari perbandingan antara
nash-nash Al-Qur’an dan nash-nash sunnah ditinjau dan segi qath’i dan zhanni
diperoleh kesimpulan, bahwasanya nash- nash Al-Qur’an Karim adalah qath’iyyah
wurud seluruhnya, lalu di antaranya ada yang dalalahnya qathi dan ada pula yang
dalalahnya zhanni. Adapun As-Sunnah, maka ada kalanya yang kedatangannya qath’i
dan adapula yang kedatangannya zhanni. Kemudian masing-masing dan kedua macam
itu, ada kalanya dalalahnya qathi, dan ada pula yang dalalahnya zhanni.
Setiap As-Sunnah dan tiga macam
sunnah itu, yaitu sunnah mutawatirah, sunnah masyhurah, dan sunnah ahad, adalah
hujjah yang wajib diikuti dan wajib diamalkan. Adapun sunnah mutawatirah, maka
disebabkan bahwa sunnah itu dipastikan kemunculannya dan kedatangannya dari
Rasulullah saw., sedangkan sunnah masyhurah dan sunnah ahad, maka sebenarnya
meskipun sunnah itu kedatangannya zhanni dan Rasulullah saw., hanya saja dugaan
itu dimenangkan dengan terpenuhinya beberapa syarat dalam diri para rawi, yaitu
keadilannya, sempurna kedhabitannya dan keitqanannya. Keunggulan dugaan ini
cukup untuk mewajibkan diamalkan. Oleh karena inilah, seorang qadhi memutuskan dengan
persaksian saksi, padahal persaksian inmi hanyalah menunjukkan dugaan terhadap
sesuatu yang disaksikannya. Shalat juga sah dengan kecermatan dalam menghadap
kiblat, padahal ini juga, hanya menunjukkan zhann (dugaan) yang kuat. Dan masih
banyak. lagi hukum yang didasarkan atas dugaan kuat. Kalau sekiranya diharuskan
kepastian dan keyakinan di dalam segala persoalan amal perbuatan, niscaya
manusia akan mendapat kesulitan.
E.
Di Antara Sabda Dan
Perbuatan Rasul Ada Sesuatu Yang Bukan Pembinaan Hukum.
Sabda dan perbuatan yang keluar dari
Rasulullah saw. merupakan hujjah atas ummat Islam, yang wajib diikuti hanyalah
apabila Ia keluar dari beliau dalam fungsinya sebagai Rasulallah dan hal itu
dimaksudkan untuk membentuk hukum secara umum dan sebagai tuntunan.
Hal ini disebabkan bahwa
Rasulullah saw. juga merupakan seorang manusia sebagaimana manusia-manusia
lainnya, beliau dipilih oleh Allah untuk menjadi Rasul kepada mereka,
sebagaimana Allah SWT. berfirman:
ö@è% !$yJ¯RÎ)
O$tRr&
×|³o0
ö/ä3è=÷WÏiB #Óyrqã ¥n<Î)
Artinya:
“Katakanlah,
sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu yang diwahyukan
kepadaku...” (Q.S. Al-Kahfi: 110).
1. Hal-hal yang keluar dari Rasulullah saw. yang bersifat naluri
kemanusiaan, seperti berdiri, duduk, berjalan, tidur, makan, minum, adalah
bukan syari’at, karena hal ini bukanlah bersumber kepada risalahnya, akan
tetapi sumbernya adalah kenmanusiaannya. Akan tetapi apabila suatu perbuatan
yang bersifat kemanusiaan keluar dari beliau, dan dalil menunjukkan bahwa yang
dimaksud dari perbuatannya itu merupakan tasyri, berdasarkan dalil ini.
2. Hal-hal yang keluar dari Rasulullah yang berkenaan dengan
pengalaman. kemanusiaan, kecerdasan, dan percobaan dalam berbagai urusan
keduniawiaan, seperti hal sewa-menyewa, pertanian, pengaturan pasukan, strategi
peperangan, resep obat bagi suatu penyakit, atau semisal hal-hal ini, maka ini
juga bukan tasyri’ (penetapan hukum Islam). Karena hal itu tidaklah keluar dari
misi kerasulannya. Ia hanyalah keluar dari pengalamannya yang bersifat duniawiyah,
dan perkiraannya secara pribadi. Oleh karena inilah dalam sebagian
peperangannya, beliau ketika berpendapat untuk menurunkan tentara pada suatu
tempat tertentu, maka sebagian sahabatnya berkata kepadanya: “Apakah ini tempat
di mana Allah menurunkan kamu di sana ataukah ini merupakan pendapat,
peperangan, dan tipu daya”.
Beliau menjawab: Justru itu
adalah pendapat, peperangan dan tipu daya’.
Sahabat berkata: “Kalau begitu, ini
bukan tempatnya”. Lalu sahabat itu menunjukkan untuk menurunkan tentara di
tempat lainnya, karena beberapa sebab peperangan yang telah dijelaskannya
kepada Rasulullah saw.
Selanjutnya ketika Rasulullah
saw. melihat penduduk Madinah mengawinkan pohon kurma. maka beliau
memberitahukan kepada mereka untuk tidak usah mengawinkan pohon kurma, kemudian
mereka tidak mengawinkannya, dan rusaklah buah-buahnya, kemudian beliau
bersabda kepada mereka:
اَبِّرُوْا اَنْتُمْ اَعْلَمُ
بَاُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ
Artinya:
“Kawinkanlah, kamu adalah lebih
tahu mengenai urusan duniamu.”
3. Hal-hal yang keluar dan Rasulullah saw. dan dalil menunjukkan
bahwa hal itu adalah khusus bagi beliau, dan bukan pula merupakan tuntunan,
maka hal itu bukanlah hukum syari’at Islam secara umum, sebagaimana beliau menikah
dengan lebih dari empat orang istri, karena sesungguhnya firman Allah SWT.:
(#qßsÅ3R$$sù $tB
z>$sÛ Nä3s9
z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur
Artinya:
“...Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat...” (Q.S. An-Nisa’
: 3).
Ayat itu menunjukkan
bahwa batas maksimum jumlah istri adalah empat orang. Juga seperti beliau mencukupkan
kesaksian Khuzaimah seorang diri saja dalam membuktikan dakwaan, karena
sebenarnya nash adalah sharih bahwa bukti adalah dua saksi Di samping itu harus
diperhatikan bahwa putusan Rasulullah dalam berbagai sengketanya mengandung dua
hal:
a.
Beliau menetapkan
kejadian-kejadian itu, dan
b.
Putusan hukumnya di
dasarkan atas penentuan tetapnya ke jadian-kejadian itu.
Penetapan beliau terhadap kejadian
merupakan suatu perkiraannya saja, bukan suatu penetapan hukum Islam, sedangkan
putusan hukumnya Setelah menentukan suatu kepastian suatu kejadian, maka hal
itu merupakan suatu penetapan hukum Islam. Oleh karena inilah, maka Imam Al-Bukhari
dan Muslim meriwayatkan dari Ummu Salamah ra.:
اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ سَمِعَ خُصُوْمَةً
بِبَابِ حُجْرَتِهِ فَخَرَجَ اِلَيْهِمِ وَقَالَ اِنَّمَا اَنَابَشَرٌ وَاِنَّهُ
يَأْتِيْنِى اْلخُصُوْمُ فَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ اَنْ يَكُوْنَ اَبْلَغَ مِنْ بَعْضٍ
فَاَحْسَبُهُ اَنَّهُ صَادِقٌ فَاَقْضِىْ لَهُ بِذَلِكَ. فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ
بِحَقٍّ مُسْلِمٍ فَإِنَّمَا هِىَ قِطْعَةٌ مِنَ النَّارِ فَلْيَأْخُذْهَا
اَوْلِيَتْرُكْهَا.
Artinya:
“Bahwasanya
Rasulullah mendengar percekcokan di pintu kamarnya maka beliau keluar kepada
mereka dan berkata; “Sesungguhnya saya hanyalah manusia dan sesungguhnya orang-orang
yang bersengketa datang kepadaku. Maka boleh jadi sebagian dari kamu tebih
petah daripada sebagian yang lain, sehingga saya mengira bahwa ia jujur. lalu
saya memutuskan hal itu untuknya. Maka barang siapa yang telah kuputuskan untuknya
terhadap hak seorang muslim, maka sesungguhnya hal itu adalah sebahagian dari
api neraka maka hendaklah Ia mengambilnya atau meninggalkannya”.
Kesimpulannya
ialah bahwa sesuatu yang keluar dari Rasulullah saw, baik berupa ucapan, maupun
perbuatan dalam salah satu dan tiga kondisi yang telah kami jelaskan maka
itulah termasuk sunnah beliau akan tetapi bukan merupakan suatu penetapan hukum
Islam dan bukan pula merupakan undang undang yang wajib diikuti Adapun sesuatu
yang keluar dari beliau baik ucapan maupun perbuatan dalam fungsinya sebagai
seorang rasul dan dimaksudkan sebagai suatu pembentukan hukum Islam secara umum
dan menjadi tuntunan bagi ummat Islam maka ia merupakan hujjah atas kaum
muslimin dan undang-undang yang wajib diikuti.
Jadi sunnah itu jika dimaksudkan
sebagai suatu perjalanan Rasulullah saw dan hal hal yang dilakukannya semasa hidupnya
maka ia adalah segala sesuatu yang keluar dari beliau; baik ucapan, perbuatan
maupun penetapan. yang dimaksudkan untuk membentuk hukum syara’ dan menjadi tuntunan
manusia untuk menunjukkan mereka.
F.
Kedudukan Sunah
terhadap Al-Quran
Sunah merupakan sumber kedua
setelah Al-Quran. Karena Sunah merupakan penjelas dan Al-Quran, maka yang
dijelaskan berkedudukan lebih tinggi dari pada yang menjelaskan. Namun
demikian, kedudukan Sunah terhadap Al-Quran sekurang-kurangnya ada tiga hal
berikut ini.
1.
Sunah sebagai ta’kid
(penguat) Al-Quran
Hukum Islam disandarkan kepada
dua sumber, yaitu Al-Quran dan Sunah. Tidak heran kalau banyak sekali sunah
yang menerangkan tentang kewajiban shalat, zakat, puasa, larangan musyrik, dan
lain-lain.
2.
Sunah sebagai
penjelas Al-Quran
Sunah adalah penjelas (bayanu
tasyri) sesuai dengan firman Allah surat An-Nahl ayat 44:
3 !$uZø9tRr&ur
y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9
Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur
crã©3xÿtGt ÇÍÍÈ
Artinya:
“Dan kami
turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
Telah diturunkan kepada mereka[829] dan supaya mereka memikirkan,” (QS.
An-Nahi : 44)
Diakui bahwa
sebagian umat Islam tidak mau menerima Sunah, padahal dari mana mereka mengetahui
babwa shalat Zhuhur itu empat raka’at, Magrib tiga raka’at, dan sebagainya kalau
bukan dari sunah.
Maka jelaslah bahwa sunah itu
berperan penting dalam menjelaskan maksud-maksud yang terkandung dalam Al-Quran,
sehingga dapat menghilangkan kekeliruan dalam memahami Al-Quran.
Penjelasan sunah terhdap Al-Quran
dapat dikategorikan menjadi tiga bagian
1. Penjelasan terhadap hal yang global, seperti diperintahkannya
shalat dalam Al-Quran tidak diiringi penjelasan mengenai rukun, syarat dan
ketentuan-ketentuan shalat lainnya. Maka hal itu dijelaskan oleh sunah sebagaimana
sabda Rasulullah SAW.:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنىِ
أُصّلِّى
Artinya:
“Shalatlah kamu senua, sebagaimana kamu telah melihat saya shalat.”
2. Penguat secara mutlaq, Sunah merupakan penguat terhadap
dalil-dalil umum yang ada dalam Al-Quran.
3. Sunah sebagai takhsis terhadap dalil-dalil Al-Quran yang masih
umum.
3.
Sebagai Musyar ‘i
(Pembuat Syari’at)
Sunah tidak diragukan lagi
merupakan pembuat syari’at dan yang tidak ada dalam Al-Quran, misalnya
diwajibkannya zakat fitrah, disunahkan aqiqah, dan lain-lain. Dalam hal ini
para ulama berbeda pendapat:
1. Sunah itu memuat hal-hal baru yang belum ada dalam Al-Quran.
2. Sunah tidak memuat hal-hal baru yang tidak dalam Al-Quran,
tetapi hanya memuat hal-hal yang ada landasannya dalam Al-Quran.”