BAB I
PENDAHULUAN
Kontribusi kaum musliniin yang
sangat besar terhadap kelangsungan dan perkembangan pemikiran ekonomi pada
khususnya dan peradaban dunia pada umumnya. Telah diabaikan oleh para ilmuwan
barat. Buku - buku teks Ekonomi Barat hampir tidak pemah menyebutkan peranan
kaum muslimin ini.
Sejalan dengan ajaran Islam
tentang pemberdayaan akal pikiran dengan tetap berpegang teguh pada Al-qur’an
dan hadist nabi. Konsep dan teori Ekonomi dalam Islam pada hakikatnya merupakan
respon para cendikiawan muslim terhadap berbagai tantangan ekonomi pada
waktu-waktu tertentu. Ini juga berarti bahasa pemikiran ekonomi Islam sesuai
Islam itu sendiri.
Berbagai Praktik dan Kebijakan
Ekonomi yang berlangsung pada masa Rasulullah dan Al-Khulafa al-Rasyidin
merupakan contobh empiris yang dijadikan pijakan bagi para cendikiawan muslim
dalam melahirkan teori-teori ekonominya.
Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah
terletak pada sistem harga yang adil, Mekanisme Pasar dan Resulasi Harga. Dalam
membahas persoalan yang berkaitan dengan harga, ia menggunakan dua istilah
yakni kompetensi yang setara (I’wadh al-misti) dan hanya yang setara (tsaman
al-misti).
Dalam mekanisme harga Ibnu
Taimiyah memiliki sebuah pemahaman yang jelas tentang bagaimana, dalam suatu
pasar bebas, harga ditentukan oleh kekuatan Pemikiran dan Penawaran.
Dalam resolusi harga Ibnu
Taimiyah melanjutkan pembahasan dengan pemasaran secara detail mengenai konsep
kebijakan pengendalian harga oleh pemerintah. Tujuan Regulasi harga adalah
untuk menegakan keadilan serta memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Secara jelas akan dipaparkan
dalam makalah ini mengenai Pemikiran Ibnu Taimiyah.
BAB II
PEMIKIRAN EKONOMI IBNU TAIMIYAH
(1263 M/661 H - 1328 M/728 H)
A. Riwayat Hidup
Ibnu Taimiyah yang bernama
lengkap Taqayuddin Ahmad bin Abdul Halim lahir di kota Harran pada tanggal 22
Januari 1263 M (10 Rabiul Awwal 661 H). Ia berasal dari keluarga yang
berpendidikan tinggi. Ayah, paman dan kakeknya merupakan ulama besar Mazhab
Hanbali dan penulis sejumlah buku.
Karena kecerdasan dan
kejeniusannya, Ibnu Taimiyah yang berusia masih sangat muda telah mampu
menamatkan sejumlah mata pelajaran, seperti tafsir, hadits, fiqih, matematika,
dan filsafat, serta berhasil menjadi yang terbaik diantara teman-teman
seperguruannya. Guru Ibnu Taimiyah berjumlah 200 orang, diantaranya adalah
Syamsuddin Al-Maqdisi, Ahmad bin Abu Al-Khair, Ibn Abi Al-Yusr, dan Al-Kamal
bin Abdul Majd bin Asakir.
Ketika berusia 17 tahun, Ibnu
Taimiyah telah diberi kepercayaan oleh gurunya, Syamsuddin Al-Maqdisi, untuk
mengeluarkan fatwa. Pada saat yang bersamaan, ia juga memulai kiprahnya sebagai
seorang guru. Kedalamannya ilmu Ibnu Taimiyah memperoleh penghargaan dan
pemenintah pada saat itu dengan menawaninya jabatan kepala kantor pengadilan.
Namun, karena hati nuraninya tidak mampu memenuhi berbagai batasan yang
ditentukan oleh penguasa, ia menolak tawaran tersebut.
Kehidupan Ibnu Taimiyah tidak
hanya terbatas pada dunia buku dan kata-kata. Ketika kondisi menginginkannya,
tanpa ragu-ragu ia turut serta dalam dunia politik dan urusan publik. Dengan
kata lain, keistimewaan din Ibnu Taimiyah tidak hanya terbatas pada
kepiawainnya dalam menulis dan berpidato, tetapi juga mencakup keberaniannya
dalam berlaga di medan perang.[1]
Penghonmatan yang begitu besar
yang diberikan masyarakat dan pemerintah kepada Ibnu Taimiyah membuat sebagian
orang merasa iri dan berusaha untuk menjatuhkan dirinya. Sejarah mencatat bahwa
sepanjang hidupnya, Ibnu Taimiyah telah menjalani masa tahanan sebanyak empat
kali akibat fitnah yang dilontarkan para penentangnya.
Selama dalam tahanan, Ibnu
Taimiyah tidak pernah berhanti untuk menulis dan mengajar. Bahkan, ketika
penguasa mencabut haknya untuk menulis dengan cara mcngambil pena dan
kertasnya, ia tetap menulis dengan menggunakan batu arang. Ibnu Taimiyah
meninggal dunia didalam tahanan pada tanggal 26 September 1328 M (20 Dzul
Qo’dah 728 H) setelah mengalami perlakuan yang sangat kasar selama lima bulan.
B. Pemikiran Ekonomi
Pemikiran Ibnu Taimiyah hanya
diambil dari berbagai karya tulisnya, antara lain Majmu’Fatwa Syaikh al-Islam,
as-Siyasah asy-Syar’iyyah fil Islhlah ar-Ra’i wa ar-Ra’iyah dan al-Hisbah fi
al-Islam.
C. Harga yang Adil
Konsep harga yang adil pada
hakekatnya telah ada dan digunakan sejak awal kehadiran Islam. Al-quran sendiri
sangat menekankan keadilan dalam setiap aspek kehidupan umat manusia. Oleh karena
itu, adalah hal yang wajar jika keadilan juga diwujudkan dalam aktivitas pasar,
khususnya harga. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah saw menggolongkan riba
sebagai penjualan yang terlalu mahal yang melebihi kepercayaan para konsumen.
Istilah harga yang adil juga
telah disebutkan dalam beberapa hadits nabi dalam konteks kompensasi seorang
pemilik, misalnya dalam kasus seorang majikan yang membebaskan budaknya.
Sekalipun penggunaan istilah tersebut sudah ada sejak awal kehadiran Islam,
Ibnu Taimiyah tampaknya orang yang pertama kali menaruh perhatian khusus
terhadap permasalahan harga yang adil. Dalam membahas persoalan yang berkaitan
dengan harga, ia sering kali menggunakan dua istilah, yaitu kompensasi yang
setara (‘iwadh al-mitsl) dan harga yang setara (tsaman al-mitsl).[2]
Ia menyatakan, “kompensasi yang
setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara, dan inilah esensi
keadilan (nafs Al-adl). ditempat lain, ia membedakan antara dua jenis harga,
yakni harga yang tidak adil dan dilarang serta harga yang adil dan disukai.
Ibnu Taimiyah menganggap harga yang setara sebagai harga yang adil. Oleh karena
itu, ia menggunakan kedua istilah ini secara bergantian.
Setara sebagai harga yang adil.
Oleh karena itu, ia menggunakan kedua istilah ini secara bergantian. Konsep
Ibnu Taimiyah mengenai kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl) tidak sama
dengan harga yang adil (tsaman al-mitsl). Persoalan tentang kompensasi yang
adil atau setara (‘iwadh al-mitsl) muncul ketika mengupas persoalan kewajiban
moral dan hukum. Menurutnya, prinsip-prinsip ini terkandung dalam beberapa
kasus berikut.
a) Ketika seseorang harus bertanggung jawab karena membahayakan
orang lain atau merusak harta atau keuntungan.
b) Ketika seseorang mempunyai kewajiban untuk membayar kembali
sejumlah barang atau keuntungan yang setara atau membayar ganti rugi terhadap
luka-luka sebagian orang.
Prinsip umum yang sama berlaku
pada pembayaran iuran, kompensasi dan kewajiban finansial lainnya. Misalnya:
a) Hadiah yang diberikan oleh Gubernur kepada orang-orang muslim,
anak-anak yatim dan wakaf.
b) Kompensasi oleh agen bisnis yang menjadi wakil unuk melakukan
pembayaran kompensasi.
Dalam mendefinisikan kompensasi
yang setara (‘iwadh al-mitsl), Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan kesetaraan adalah jumlah yang sama dan objek khusus dimaksud, dalam
pemakaian yang umum (urf). Hal ini juga terkait dengan tingkat harga (si’r) dan
kebiasaan (‘adah), lebih jauh, ia mengemukakan bahwa evaluasi yang benar
terhadap kompensasi yang adil didasarkan atas analogi dan taksiran dan barang
tersebut dengan barang lain yang setara.
Ibnu Taimiyah membedakan antara
legal-etik dengan aspek ekonomi dan suatu harga yang adil. Ia menggunakan
istilah kompensasi yang setara ketika menelaah dari sisi legal etik dan harga
yang setara ketika meninjau dan aspek ekonomi. Ia menyatakan:
“sering kali terjadi ambiguitas
di kalangan para fuquha dan mereka saling berdebat tentang karakteristik dari
suatu harga yang setara, terutama yang berkaitan dengan jenis (jins) dan
kuantitas (miqdar).”
Tentang perbedaan antara
kompensasi yang setara dengan harga yang adil, ia menjelaskan:
“Jumlah yang tertera dalam
suatu akad ada dua macam. Pertama, jumlah yang telah dikenal baik dikalangan
masyarakat. Jenis ini telah dapat diterima secara umum. Kedua, jenis yang tidak
lazim sebagai akibat dan adanya peningkatan atau penurunan kemauan (righbah)
atau faktor lainnya. Hal ini dinyatakan sebagai harga yang setara.”
Tampak jelas bagi Ibnu Taimiyah
bahwa kompensasi yang setara itu relatif merupakan sebuah fenomena yang dapat
bertahan lama akibat terbentuknya kebiasaan, sedangkan harga yang setara itu
bervaniasi, ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran serta dipengaruhi
oleh kebutuhan dan keinginan masyarakat.
Berbeda halnya dengan konsep
kompensasi yang setara, persoalan harga yang adil muncul ketika menghadapi
harga yang sebenarnya, pembelian dan pertukaran barang. Dalam mendefinisikan
hal ini, ia menyatakan:
“Harga yang setara adalah
harga standar yang berlaku ketika masyarakat menjual barang-barang dagangnnya
dan secara umum dapat diterima sebagai sesuatu yang setara barang-barang
tersebut atau barang-barang yang serupa pada waktu dan tempat yang khusus.”
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa
harga yang setara adalah harya yang dibentuk oleh kekuatan pasar yang berjalan
secara bebas, yakni pertemuan antara kekuatan permintaan dengan penawaran. Ia
menggambarkan perubahan barga sebagai berikut:
“Jika penduduk menjual
barang-barangnya secara normal (al-wajh al-ma’ruf) tanpa menggunakan cara-cara
yang tidak adil kemudian harga tersebut meningkat karena pengaruh kelangkaan
barang (yakni penurunan supply) atau karena peningkatan jumlah penduduk (yakni
peningkatan demand) kenaikan harga-harga tersebut merupakan kehendak Allah swt,
dalam kasus ini, memaksa penjual untuk menjual barang-barang mereka pada harga
tertentu adalah pemaksaan yang salah (ikrah bi ghairi haq)
D. Konsep Upah yang Adil
Pada abad pertengahan, konsep
upah yang adalah dimaksudkan sebagai tingkat upah yang wajib diberikan kepada
para pekerja sehingga mereka dapat hidup secara layak ditengah-tengah
masyarakat. Berkenaan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengacu pada tingkat harga
yang berlaku dipasar tenaga kerja (tas’ir fil a’mal) dan menggunakan istilah
upah yang setara (ujrah al-mitsl). Seperti halnya harga, prinsip dasar yang
menjadi objek observasi dalam menentukan suatu tingkat upah adalah definisi
menyeluruh tentang kualitas dan kuantitas. Harga dan upah, ketika keduanya
tidak pasti dan tidak ditentukan atau tidak dispesifikasikan dan tidak
diketahui jenisnya, merupakan hal yang samar dan penuh dengan spekulasi.
Tentang bagaimana upah yang
setara itu ditentukan, Ibnu Taimiyah menjelaskan, “upah yang setara akan
ditentukan oleh upah yang telah diketahui (musamma’) jika ada, yang dapat
menjadi acuan bagi kedua belah pihak. Seperti halnya dalam kasus jual dan sewa,
harga yang telah diketahui (tsaman musamma’) akan diperlakuan sebagai harga
yang setara.
E. Konsep Laba yang Adil
Menurutnya, para pedagang berhak
memperoleh keuntungan melalui cara-cara yang dapat diterima secara umum tanpa
merusak kepentingan dirinya sendiri dan kepentingan para pelanggannya.
Berdasarkan definisi tentang
harga yang adil, Ibnu Taimiyah mendefinisikan laba yang adil sebagai laba
normal yang secara umum diperoleh dari jenis perdagangan tertentu, tenpa
merugikan orang lain. Ia menentang tingkat keuntungan yang tidak lazim,
bersifat eksplotif dengan memanfaatkan ketidakpedulian masyarakat terbadap
kondisi pasar yang ada. Ia menjelaskan:
“seseorang yang memperoleh
barang untuk mendapatkan pemasukan dan memperdagangkannya dikemudian hari
diizinkan melakukan hal tersebut. Namun, ia tidak boleh mengenakan keuntungan
terhadap orang-orang miskin yang lebih tinggi daripada yang sedang berlaku dan
seharusnya tidak menaikan harga terhadap mereka yang sedang sangat membutuhkan.”
Ibnu Taimiyah memandang laba
sebagai penciptaan tenaga kerja dan modal secara bersamaan. Oleh karena itu,
pemilik kedua faktor produksi tersebut berhak memperoleh bagian keuntungan.
Dalam hal tejadi suatu perselisihan, ia menyatakan bahwa keuntungan dibagi
menurut cara yang dapat diterima secara umum oleh kedua belah pihak, yakni
pihak yang menginvestasikan tenaganya dan pihak yang menginvestasikan uangnya.
Ia menyatakan:
“karena keuntungan merupakan
tambahan yang dihasilkan oleh tenaga disatu pihak dan harta dipihak lain, maka
pembagian keuntungan dilakukan dengan cara yang sama sebagai tambahan yang
diciptakan oleh kedua faktor tersebut.”
F. Relevansi Konsep Harga Adil dan Laba yang Adil bagi
Masyarakat
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah,
adil bagi para pedagang berarti barang-barang dagangan mereka tidak dipaksa
untuk dijual pada tingkat harga yang dapat menghilangkan keuntungan normal
mereka. Menurutnya “setiap individu mempunyai hak pada apa yang mereka miliki.
Tidak ada seorang pun yang bisa mengambilnya, baik sebagian maupun seluruhya,
tanpa izin dan persetujuan mereka.
Penggunaan dan implikasi dan
konsep upah yang adil adalah sama halnya dengan konsep harga yang adil. Tujuan
dasar dan harga yang adil adalah untuk melindungi kepentingan pekerja dan
majikan serta melindungi mereka dari aksi saling mengeksploitasi. Dalam hal ini,
Ibnu Taimiyah menyatakan, “apabila seorang majikan memperkerjakan seseorang
secara zalim dengan membayar pada tingkat upah yang lebih rendah daripada upah
yang adil, yang secara normal tidak ada seorangpun menerimanya, pekerja berhak
meminta upah yang adil.
G. Mekanisme Pasar
Ibnu Taimiyah memiliki sebuah
pemahaman yang jelas tentang bagaimana, dalam suatu pasar bebas, harga
ditentukan oleh kekuatan pennintaan dan penawaran. Ia menyatakan, “naik dan
turunnya harga tidak selalu diakibatkan oleh kezaliman orang-orang tertentu.
Terkadang, hal tersebut disebabkan oleb kekurangan produksi atau penurunan
impor barang-barang yang diminta. Oleh karena itu, apabila permintaan naik dan
penawaran turun, harga-harga naik. Di sisi lain, apabila persediaan barang
meningkat dan permintaan terhadapnya menurun, harga pun turun, kelangkaan atau
kelimpahan ini bukan disebabkan oleh tindakan orang-orang tertentu. Ta bisa
jadi disebabkan oleh sesuatu yang tidak mengandung kezaliman, atau terkadang,
ia juga bisa disebabkan oleh kezaliman. Hai ini adalah kemahakuasaan Allah yang
telah menciptakan keinginan dihati manusia.
Ibnu Taimiyah mencatat beberapa
faktor yang mempengaruhi permintaan serta konsekuensinya terhadap harga, yaitu:
1. Keinginan masyarakat (raghbah) terhadap berbagai jenis barang
yang berbeda dan selalu berubah-ubah. Perubahan ini sesuai dengan langka atau
tidaknya barang-barang yang diminta. Semakin sedikit jumlah suatu barang yang
tersedia akan semakin diminati oleh masyarakat. barang yang diminta. Semakin
sedikit jumlah suatu barang yang tersedia akan semakin diminati oleh
masyarakat.
2. Jumlah para peminat terbadap suatu barang. Jika jumlah
masyarakat yang menginginkan suatu barang semakin banyak, harga barang tersebut
akan semakin meningkat, dan begitu pula sebaliknya.
3. lemah atau kuatnya kebutuhan terhadap suatu barang serta besar
atau kecilnya tingkat dan ukuran kebutuhan. Apabila kebutuhan besar dan kuat harga
akan naik. Sebaliknya, jika kebutuhan kecil dan lemah, harga akan turun.
4. kualitas pembeli. Jika pembeli adalah seseorang yang kaya dan
tcrpercaya dalam membayar utang, harga yang diberikan lebth rendah. Sebaliknya,
harga yang diberikan lebih tinggi jika pembeli adalah seorang yang sedang
bangkrut, suka mengulur-ulur pembayaran utang serta mengingkari utang.
5. jenis uang yang digunakan dalam transaksi. Harga akan lebih
rendah jika pembayaran dilakukan dengan menggunakan uang yang umum dipakai
daripada uang yang jarang dipakai.
6. Tujuan transaksi yang menghendaki adanya kepemilikan resiprokal
diantara kedua belah pihak. Harga suatu barang yang telah tersedia dipasaran
lebih readah daripada harga suatu barang yang belum ada di pasaran. Begitu pula
halnya harga akan lebih rendah jika pembayaran dilakukan secara tunai daripada
pembayaran dilakukan secara angsuran.
7. Besar kecilnya biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen atau penjual
Semakin besar biaya yang dibutuhkan oleh produsen atau penjual untuk menghasilkan
atau memperoleh barang akan semakin tinggi pula harga yang diberikan dan begitu
pula sebaliknya.
H. Regulasi Harga
Tujuan regulasi harga adalah
untuk menegakan keadilan serta rnemenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Ibnu
Taimiyah membedakan dua jenis penetapan harga, yakni penetapan harga yang tidak
adil dan cacat hukum serta penetapan harga yang adil dan sah menurut hukum.
Penerapan harga yang tidak adil dan cacat hukum adalah penetapan harga yang
dilakukan pada saat kenaikan harga-harga terjadi akibat persaingan pasar bebas,
yakni kelangkaan supply atau kenaikan demand. Dalam melakukan penetapan harga,
harus dibedakan antara para pedagang lokal yang memiliki persediaan barang
dengan para importir. Dalam hal ini, para importir tidak boleh dikenakan
kebijakan tersebut. Namun, mereka dapat diminta untuk menjual barang
dagangannya seperti halnya rekanan Importir mereka. Penetapan harga akan
menimbulkan dampak yang merugikan persediaan barang-barang impor mengingat
penetapan hanya tidak diperlukan terhadap barang-barang yang tersedia ditempat
itu, karena akan merugikan para pembeli.
1) Pasar yang Tidak Sempurna
Di samping dalam kondisi
kekeringan dan perang, Ibnu Taimiyah merekomendasikan kepada pemerintah agar
melakukan kebijakan penetapan harga pada saat ketidaksempurnaan melanda pasar. Contoh
nyata dan pasar yang tidak sempurna adalah adanya monopoli terhadap makanan dan
barang-barang kebutuhan dasar lainnya.
Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah
memberikan gambaran tentang prinsip daras untuk menghilangkan kezaliman. Ia
menyatakan:
“Jika penghapusan seluruh
kezaliman tidak mungkin dilakukan, seseorang wajib melenyapkannya semaksimal
mungkin.”
Ibnu Taimiyah melarang para
pedagang dan pembeli membuat perjanjian untuk menjual barang pada harga yang
telah ditetapkan sebelumnya sehingga dapat memperoleh harga yang lebih rendah,
sebuah kasus yang menyerupai monopsoni.
2) Musyawarah untuk menetapkan harga
Sebelum menerapkan kebijakan
penetapan harga, terlebih dahulu pemerintah harus melakukan musyawarah dengan
masyarakat terkait.
Pemikiran Ibnu Taimiyah tentang
regulasi harga ini juga berlaku terhadap berbagai faktor produksi lainnya.
Seperti yang telah disinggung di muka, ia menyatakan bahwa apabila para tenaga
kerja menolak memberikan jasa mereka sementara masyarakat sangat membutuhkannya
atau terjadi ketidaksempurnaan dalam pasar tenaga kerja, pemerintah harus
menetapkan upah para tenaga kerja. Tujuan penetapan harga ini adalah untuk
melindungi para majikan dan pekerja dari aksi saling mengeksplotasi di antara
mereka.
Lebih jauh lagi Ibnu Taimiyah
membatasi keabsahan pemerintah dalam menetapkan
intervensi pemerintah dalam pasar pada empat situasi dan kondisi
berikut:
1. Kebutuhan masyarakat atau hajat orang banyak akan sebuah
komoditas (barang maupun jasa). Para fuqaha sepakat bahwa sesuatu yang menjadi
hajat orang banyak tidak dapat diperjualbelikan kecuali dengan harga yang
sesuai
2. Terjadi kasus monopoli (penipuan), para fuqaha sepakat untuk
memberlakukan hak hajat (ketetapan yang membatasi hak guna dan hak pakai atas
kepemilikan barang) oleh pemerintah
3. Terjadi keadaan al-hasr (pemboikotan) dimana distribusi barang
hanya pada suatu atau pihak tertentu.
4. Terjadi koalisi dan kolusi antar para penjual, dimana sejumlah
pedagang sepakat untuk kolusi antara para penjual, dimana mereka sendiri dengan
harga penjualan yang tentunya di bawah harga pasar. Ketetapan intervensi disni
untuk megnhindari dari kemungkinan terjadi fluktuasi harga barang yang ekstrem
dan dramatis.[3]
BAB III
UANG DAN KEBIJAKAN MONETER
A. Karakteristik dan Fungsi Uang
Secara khusus, Ibnu Taimiyah
menyebutkan dua fungsi utama uang, yakni sebagai pengukur nilai dan media
pertukaran bagi sejumlah barang yang berbeda. Ia menyatakan, “Atsaman
dimaksudkan sebagai pengukur nilai barang-barang dapat diketahui dan uang tidak
pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri.”
Berdasarkan pandangannya
tersebut, Ibnu Taimiyah menentang keras segala bentuk perdagangan uang, karena
hal ini berarti mengalihkan fungsi uang dan tujuan yang sebenarnya.
B. Penurunan Nilai Mata Uang
Ibnu Taimiyah menentang keras terjadinya
penerunan nilai mata uang dan pencetakan mata uang yang sangat banyak. Ia
menyatakan, “penguasa seharusnya mencetak fulus sesuai dengan nilai yang adil
(proposional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap
mereka.
C. Mata Uang yang Buruk akan Menyingkirkan Mata Uang yang baik
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa uang
yang berkualitas buruk akan menyingkirkan mata uang yang berkualitas baik dari
peredaraan. Ia menggambarkan hal ini sebagai berikut, “apabila penguasa
membatalkan penggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang
lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki
uang karena jatuhnya nilai uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti
telah melakukan kezaliman karena menghilangkan nilai tinggi yang semula mereka
miliki. Lebih dari pada itu, apabila nilai intristik mata uang tersebut
berbeda, hal ini akan menjadi sebuah sumber keuntungan bagi penjahat untuk
mengumpulkan mata uang yang buruk dan menukarkannya dengan mata uang yang baik
dan kemudian mereka akan membawanya ke daerah lain dan menukarkannya dengan
mata uang yang buruk didaerah tersebut untuk dibawa kembali kedaerahnya. Dengan
demikian, nilai barang-barang masyarakat akan menjadi hancur.[4]
D. Keuangan Negara dan Zakat
Negara menurut Ibnu Taimiyah bertugas
untuk menghapuskan kemiskinan rakyat. Namun dari sisi lain beliau juga sangat
mendorong meraih kekayaan secara mandiri untuk dapat hidup sejahtera dan mampu
membayar zakat, berinfak dan bersedekah.[5]
Pendapatan Negara yang sesuai
dengan syariah ada tiga macam yaitu gharimah, zakat dan fa’i.
Dalam fa’i antara lain:
a) Gizyah (pajak)
b) Harta tebusan perang
c) Hadiah-hadiah yang dipersembahkan untuk raja
d) Bea masuk atas komoditas milik Negara musuh
e) Denda dan
f) Kharaj, yaitu pajak atas tanah pertanian.
Ibnu Taimiyah juga menjelaskan
bahwa pendapatan Negara harus dibelanjakan untuk kepentingan rakyat berdasarkan
petunjuk Allah.
a) Fakir dan miskin
b) Membiayai perang jihad dan pertahanan
c) Penguatan hukum dan peradilan
d) Dana pension dan gaji pegawai Negara
e) Pembangunan infrastruktur
f) Kesejahteraan umum.
BAB IV
KESIMPULAN
Pemikiran Ibnu Taimiyah banyak di
ambil dari karya tulisnya antara lain Majmu Fatawa Syaikh al-Islam, As-Siyasah Asy-Syariyyah
fi ishlah ar-rai wa ar-Ra’iyah, dan al-Hisbah fi al-Islam.
Harga yang adil, mekanisme pasar
dan resulasi harga
a. Harga yang adil, walaupun konsep harga yang adil pada hakikatnya
telah ada dan digunakan sejak awal kehadiran Islam. Disini Ibnu Taimiyah dalam
membahas persoalan yang berkaitan dengan barga, ia sering kali menggunakan dua
istilah yakni kompensasi yang setara (iwadh al-mitsl) dan harga yang setara
(tsaman al mitsl). Kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal
yang setara dan inilah esensi keadilan dan pemikiran ekonomi harga yang adil ini
Ibnu Taimiyah membuat konsep.
§
Konsep upah yang adil
dimana konsep upah yang adil dimaksudkan sebagai tingkat upah yang wajib
diberikan kepada para pekerja sehingga mereka dapat hidup secara layak
ditengah-tengah masyarakat.
§
Konsep laba yang adil Ibnu Taimiyah
mendefmisikan laba yang adil sebagai laba normal yang secara umum diperoleh dari
jenis perdagangan tertentu tanpa merugikan orang lain.
§
Relevansi konsep harga adil
dan laba yang adil bagi masyarakat dan kedua konsep ini dimaksudkan sebagai
panduan bagi para penguasa untuk melindungi masyarakat dan berbagai tindakan
eksploitatif.
b. Mekanisme Pasar
Ibnu Taimiyah memiliki sebuah pemahaman yang jelas tentang bagaimana,
dalam suatu pasar bebas, hanya ditentukan oleh kekuatan permintaan dan
penawaran.
c. Regulasi Harga
Dimana
regulasi harga ini adalah untuk menegakkan keadilan serta memenuhi kebutuhan
dasar masyarakat.
Uang dan Kebijakan Moneter
a) Karakteristik dan fungsi uang
Fungsi utama uang yakni sebagai pengukur nilai dan media pertukatan bagi
sejumlah barang yang berbeda.
b) Penurunan nilai mata uang
Ibnu Taimiyah menentang keras terjadinya penurunan nilai mata uang dan
percetakan mata uang yang sangat banyak.
Mata uang yang buruk akan menyingkirkan mata uang yang baik Ibnu Taimiyah
menyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk akan menyingkirkan mata uang yang
berkualitas baik dari peredaran.
DAFTAR PUSTAKA
Karim, Adiwarman Azwar, Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004
Nasution, Mustafa Edwin, Pengenalan Ekslusif
Ekonomi Islam, Jakarta: Kencan, 2010
Purwataatmadja, Karen A., Jejak Rekam Ekonomi
Islam, Jakarta: Citero Design, 2008
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR ............................................................................... i
DAFTAR
ISI .............................................................................................. ii
BAB
I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
BAB
II PEMIKIRAN EKONOMI IBNU TAIMIYAH .......................... 2
A. Riwayat Hidup ..................................................................... 2
B. Pemikiran Ekonomi .............................................................. 3
C. Harga yang Adil ................................................................... 3
D. Konsep Upah yang Adil ....................................................... 6
E. Konsep Laba yang Adil ....................................................... 6
F. Relevansi Konsep Harga yang Adil dan Laba yang Adil Bagi
Masyarakat 7
G. Mekanisme Pasar .................................................................. 8
H. Regulasi Harga ..................................................................... 9
BAB
III UANG DAN KEBIJAKAN MONETER ................................... 12
A. Karakteristik dan Fungsi Uang ............................................ 12
B. Penurunan Nilai Mata Uang ................................................. 12
C. Mata uang yang Buruk akan Menyingkirkan Mata Uang
yang Baik ............................................................................. 12
D. Keuangan Negara dan Zakat ................................................ 13
BAB
IV KESIMPULAN ........................................................................... 14
DAFTAR
PUSTAKA ................................................................................
[1]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 351
[2] Ibid,
h. 352
[3]
Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam,
(Jakarta: Kencan, 2010), h. 162
[4]
Adi Warman Karim,op. cit, h. 574
[5]
Karen A. Purwataatmadja, Jejak Rekam Ekonomi Islam, (Jakarta:
Citero Design, 2008), h. 158
Tidak ada komentar:
Posting Komentar